Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno, Lokasi, & Nama Raja-Raja di Jawa

Letak Kerajaan Mataram Kuno berpindah-pindah berdasarkan ibu kota pemerintahannya. Berikut sejarah singkat Kerajaan Mataram Kuno.

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno, Lokasi, & Nama Raja-Raja di Jawa
Candi Prambanan di Yogyakarta, salah satu peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.

tirto.id - Sejarah Kerajaan Mataram Kuno cukup panjang yang dimulai sejak abad ke-6 M. Kerajaan Mataram Kuno atau sering juga disebut dengan Kerajaan Mataram Hindu atau Kerajaan Medang merupakan kerajaan penerus dari Kerajaan Kalingga di Jawa yang diperkirakan eksis pada abad ke-8 hingga 10 Masehi.

Mataram Kuno yang bercorak Hindu (dan Buddha) biasanya disebut untuk membedakan dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri sekitar abad ke 16 M. Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya, di daerah inilah diperkirakan Kerajaan Mataram Kuno pertama berdiri.

Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno berasal dari prasasti, candi, kitab Carita Parahyangan (Sejarah Pasundan), dan berita dari Cina. Kerajaan yang didirikan oleh Sanjaya bergelar Rakai Mataram ini beberapa kali berpindah pusat pemerintahan.

Lokasi Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno memiliki dua periode berdasarkan lokasi atau ibu kota pemerintahannya. Pertama adalah periode awal Kerajaan Medang yaitu di Jawa Tengah di bawah Wangsa Sanjaya dan Sailendra (732-929 M), serta yang kedua ketika pindah ke Jawa Timur dan dikuasai oleh Wangsa Isyana (929-1016 M).

Pada 929 M, Kerajaan Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Menurut George Coedes dalam The Indianized states of Southeast Asia (1968), ada beberapa faktor kemungkinan yang mendorong perpindahan tersebut.

Pertama adalah faktor politik, yakni sering terjadinya perebutan kekuasaan yang berimbas terhadap terancamnya kesatuan wilayah kerajaan ini. Kedua adalah faktor bencana alam, yaitu peristiwa meletusnya Gunung Merapi.

Faktor ketiga adalah adanya potensi ancaman dari kerajaan lain, termasuk serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Sedangkan faktor keempat adalah motif keagamaan dan ekonomi, termasuk ketiadaan pelabuhan yang membuat Kerajaan Mataram Kuno sulit menjalin kerja sama dengan kerajaan lain.

Lokasi tepatnya pusat Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Tengah diperkirakan berada di Bhumi Mataram atau Yogyakarta pada masa awal berdirinya di bawah pemerintahan Rakai Mataram Sang Sanjaya.

Kemudian, lokasi ibu kota kerajaan ini sempat berpindah-pindah, antara lain ke Mamrati pada masa Rakai Pikatan, pada era Dyah Balitung (Rakai Watukura) dipindahkan ke Poh Pitu, dan sempat kembali lagi ke Bhumi Mataram pada masa Dyah Wawa (Rakai Sumba).

Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan berada di antara wilayah Yogyakarta hingga Jawa Tengah bagian selatan (Magelang atau Kedu).

Kerajaan Mataram Kuno punya banyak peninggalan yang berupa candi-candi megah, termasuk Candi Borobudur di Magelang, Candi Prambanan, Candi Kalasan, dan Candi Sewu di Yogyakarta, serta beberapa candi lainnya.

Setelah dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok yang kemudian bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa (929-947), Kerajaan Mataram Kuno menempati pusat pemerintahan di daerah yang disebut Tamwlang.

Masa-masa berikutnya terjadi lagi perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur atau era Dinasti Isyana, yakni dipindahkan ke Watugaluh. Dikutiip dari buku Antologi Sejarah Candi Boyolangu (2016) tulisan Lailatul Mahfudhoh, Tamwlang maupun Watugaluh diperkirakan terletak di sekitar Jombang, Jawa Timur.

Setelah Kerajaan Medang runtuh pada awal abad ke-9 M, selanjutnya muncul kerajaan-kerajaan penerus Wangsa Mataram, dari Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singhasari, Majapahit, Demak, Jipang, Giri, Kalinyamat, Pajang, hingga era Mataram Islam yang memunculkan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, serta Pakualaman.

Toleransi Beragama Masa Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno terkenal dengan toleransi beragama yang kuat antara umat Hindu dengan Buddha, seperti terlihat dalam pembangunan Candi Borobudur, Candi Kalasan, Candi Prambanan, dan lainnya. Hal ini tidak terlepas dari peran para pemimpinnya yang mengajarkan toleransi.

Pada masa kekuasaan Mataram Kuno raja-raja dan rakyat yang memiliki perbedaan agama merupakan hal yang biasa. Antara raja dengan rakyat tidak harus beragama sama. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya sisa-sisa candi Syiwa (Hindu) di sekitar Candi Borobudur (Buddha), demikian dikutip dari jurnal terbitan Departemen Arkeolog FIB Universitas Indonesia.

Salah satu contohnya adalah pernikahan antara Pramodawardhani putri Rakai Garung alias Samaratungga dari Dinasti Sailendra yang memeluk agama Buddha-Mahayana, dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu-Syiwa.

Rakai Pikatan dan Maharatu Pramodawardhani bersama-sama memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada periode 840-856 M, dan menghasilkan banyak candi-candi megah di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Raja-Raja Mataram Kuno

Periode Jawa Tengah

Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)

Rakai Panangkaran (760-780 M)

Rakai Panunggalan alias Dharanindra (780-800 M)

Rakai Warak alias Samaragrawira (800-820 M)

Rakai Garung alias Samaratungga (820-840 M)

Rakai Pikatan dan Maharatu Pramodawardhani (840-856 M)

Rakai Kayuwani alias Dyah Lokapala (856-882 M)

Rakai Watuhumalang (882-899 M)

Rakai Watukura Dyah Balitung (898-915 M)

Mpu Daksa (915-919 M)

Rakai Layang Dyah Tulodong (919-924 M)

Rakai Sumba Dyah Wawa (924 M)

Periode Jawa Timur

Rakai Hino Sri Isana alias Mpu Sindok (929-947 M)

Sri Lokapala dan Ratu Sri Isanatunggawijaya (sejak 947 M)

Makutawangsawardhana (hingga 985 M)

Dharmawangsa Teguh (985-1007 M)

Baca juga artikel terkait SEJARAH KERAJAAN atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Iswara N Raditya