Menuju konten utama

Sejarah Kerajaan Majapahit: Kekuatan Militer dan Persenjataan

Sejarah mencatat, Kerajaan Majapahit pernah berjaya di nusantara dan memiliki armada laut dengan bala tentara yang disegani negeri-negeri seberang.

Sejarah Kerajaan Majapahit: Kekuatan Militer dan Persenjataan
Lambang Kerajaan Majapahit. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Dalam sejarah, Majapahit tercatat sebagai salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di nusantara. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya pada sekitar abad ke-12 Masehi di Jawa Timur, dan mencapai puncak keemasan saat masa kepemimpinan Raja Hayam Wuruk pada tahun 1350 hingga 1389.

Dalam 700 Tahun Majapahit: Suatu Bunga Rampai (1993), Sartono Kartodirdjo menjelaskan, pada masa keemasannya, wilayah Majapahit mencapai Semenanjung Melayu dan Tumasik (Singapura).

Padahal, berdasarkan riwayat dari kitab Negarakretagama, pada awalnya wilayah Majapahit hanya merupakan sebuah desa kecil bernama Tarik, tempat yang kini menjadi bagian kawasan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Ekspansi awalnya pun hanya mencapai wilayah-wilayah bekas Kerajaan Singhasari.

Namun, berkat kekuatan yang dibangun oleh Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, kerajaan Majapahit meluas pengaruhnya. Sartono menulis, kekuasaan Majapahit tidak hanya terbatas dari segi luas wilayah, tapi juga pengaruh ajaran Hindu yang semakin besar pula.

Dalam Negarakertagama, seperti dikutip dari buku Dinamika Islam Filipina, Burma, dan Thailand karya Choirul Fuad Yusuf (2013), disebutkan ada tidak kurang dari 98 kerajaan yang bernaung di bawah kuasa Majapahit pada era pemerintahan Hayam Wuruk bersama Gajah Mada.

Pengaruh Majapahit bahkan sampai ke negeri-negeri seberang, dari Semenanjung Malaya (saat ini wilayah Malaysia dan Brunei), Tumasik (Singapura), hingga sebagian Thailand dan Filipina.

Pada masa kejayaannya, angkatan laut Majapahit dikisahkan begitu digdaya sehingga kerajaan ini disebut sebagai Talasokrasi atau Kemaharajaan Bahari.

Selain penataan birokrasi pemerintahan, sistem hukum, dan nilai-nilai tradisi besar, menurut Yusak Farchan dan Firdaus Syam Dalam "Tafsir Kekuasaan Menurut Gajah Mada" (2015) di Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan (Vol 11, No 1: 2015) terbitan Universitas Nasional, kekuatan militer memang jadi modal penting bagi Majapahit untuk memperluas pengaruh kekuasaannya.

Yusak dan Firdaus menulis bahwa: "penaklukan dan persekutuan kekuatan militer merupakan cara yang diterapkan untuk mengukuhkan kedaulatan, melindungi rakyat setempat, dan mendapatkan pengakuan dari kekuatan politik pesaingnya."

Selain itu, mereka berasumsi, Majapahit menjalin hubungan intensif dengan Kekaisaran Cina yang kala itu menjadi kekuatan politik utama di Asia, dengan pengaruh besar dalam bidang kemiliteran di wilayah nusantara.

Namun, mengutip karya Agus Aris Munandar bertajuk "Majapahit dan Negeri-negeri Sezaman: Interaksi dan Pandangan" di Jurnal Berkala Arkeologi (Vol 40, No 1, 2020), Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama tidak menyebut Cina sebagai salah satu Mitra Satata (negara sahabat) Majapahit.

Meski begitu, tidak bisa dibantah banyak peninggalan yang menunjukkan pengaruh budaya Cina di situs Trowulan, bekas ibu kota Majapahit. Prapanca memang menyebutkan bahwa Cina merupakan salah satu negara asal para pedagang mancanegara yang berniaga di pusat Majapahit, selain juga India.

Masih mengutip penjelasan Agus Aris Munandar, kekuatan militer Majapahit setidaknya tergambar dari cara pandang orang-orang Cina masa lalu terhadap Jawa (Majapahit).

Selain dinilai sebagai salah satu kerajaan tangguh karena tidak bisa ditaklukkan pasukan kiriman Kekaisaran Kubilai Khan, Jawa (Majapahit) dianggap oleh orang-orang Cina sebagai negeri pemilik prajurit terbaik yang patut disegani.

Sejumlah sumber tertulis memang menunjukkan Majapahit memperluas pengaruh kekuasaannya memakai kekuatan militer besar, terutama pada masa Raja Hayam Wuruk (1350-1389).

Dalam Kitab Pararaton, seperti dijelaskan Munandar, tercatat Majapahit mengirimkan armadanya bersama bala tentara untuk menaklukkan Dompo (Padompo) di Pulau Sumbawa pada tahun 1357 M (1279 Saka).

Selain itu, Babad Arya Kutawaringin (Bali) mengisahkan bala tentara Majapahit yang kuat di bawah pimpinan Patih Gajah Mada menyerang Bali untuk menaklukkan Pasung Grigis.

Serangan Gajah Mada itu dilakukan melalui pendaratan dari pantai utara, pantai selatan, dan timur Pulau Bali. Hal itu memperlihatkan besarnya kapasitas militer Majapahit.

Sejumlah berita Cina era Dinasti Ming memperlihatkan, kekuatan militer Majapahit diperhitungkan. Misalnya, ada berita Cina yang menceritakan bahwa, pada paruh kedua abad ke-14, penyerangan dilakukan Majapahit terhadap Suwarnabhumi.

Serangan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk tetapi sesudah Gajah Mada mangkat (1377) itu dipicu oleh langkah Raja Suwarnabhumi mengirimkan utusan ke Cina, 5 tahun sebelumnya. Yang menjadi masalah, pengiriman utusan itu tanpa sepengetahuan Raja Majapahit.

Setelah penyerangan pada 1377, sebagaimana ditulis Munandar, putra mahkota Suwarnabhumi tak berani mengumumkan dirinya sebagai raja baru. Sang putra mahkota lantas mengirim utusan yang meminta bantuan dan persetujuan kepada kaisar Cina.

Kaisar Cina memang mengirimkan surat persetujuan pengangkatan putra mahkota Suwarnabhumi sebagai raja baru. Namun, kapal utusan Cina dihancurkan armada Majapahit saat berlayar menuju Suwarnabhumi. Menariknya, Kaisar Cina tidak melancarkan balasan, meski tahu bahwa utusannya dibunuh oleh tentara Majapahit.

Baru pada awal abad ke-15, saat kekuatan Majapahit mulai mengalami kemunduran, armada dari Cina yang dipimpin Laksamana Cheng-ho menyambangi Jawa (Majapahit). Armada Cheng-ho yang besar tercatat 7 kali berlayar ke negeri-negeri selatan, dan 6 kali singgah di Pulau Jawa.

"Kedatangan Laksamana Cheng-ho yang diutus kaisar Cina ke Jawa membuktikan, peran Majapahit masih penting," tulis Munandar.

Mengenal Cetbang, Senapan Tentara Majapahit

Dalam urusan persenjataan, militer Majapahit sudah memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang dipelajari dari Cina. Salah satu senjata tentara Majapahit yang terkenal adalah Cetbang.

Cetbang, pada awalnya dikenal sebagai warastra. Dalam Keris and Other Malay Weapons (1936), Gerald Gardner menyebut bahwa di Jawa, istilah cetbang juga dikenal sebagai “bedil”, yang dalam bahasa Tamil berarti “wedil” atau “wediyal”.

Cetbang pertama kali diciptakan dengan bahan perunggu, dan kemudian mulai diproduksi dengan menggunakan besi pada awal abad ke-16. Ia memiliki panjang yang bervariasi, mulai dari 1 hingga 3 meter.

Cetbang 3 meter biasanya digunakan pada kapal-kapal perang (jong) Majapahit, sementara yang panjangnya 1 meter dipanggul perseorangan seperti bazooka zaman sekarang.

Teknologi senjata bubuk mesiu ini, diperkirakan mulai dikenal pasukan Raden Wijaya (raja pendiri Majapahit), saat invasi tentara Kubilai Khan dari Tiongkok di bawah pimpinan Ike Mese, ke Jawa pada tahun 1293. Kala itu, tentara Mongol menggunakan meriam untuk menyerang pasukan Daha.

Selanjutnya, Majapahit mulai mengembangkan keahlian dan teknologi unik menempa perunggu, untuk produksi massal Cetbang melalui industri rumahan yang digabungkan ke gudang senjata utama.

Dalam catatannya yang terkenal, The History of Java, Stamford Raffles menulis, meriam telah banyak digunakan di Jawa, sejak era Majapahit. Dengan teknologi ini, kemudian kerajaan-kerajaan kecil di Jawa pun berbondong meminta perlindungan kepada Majapahit.

Panglima angkatan laut Majapahit yang paling terkenal dengan meriam cetbang-nya adalah Mpu Nala. Dalam kitab Negarakretagama, sosok Mpu Nala disebut sebagai Rakryan Tumenggung (panglima perang) yang bergelar "Wiramandalika". Gelar ini disematkan karena jasanya kepada perluasan wilayah Majapahit.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MAJAPAHIT atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Addi M Idhom