Menuju konten utama

Sejarah Kerajaan Kahuripan, Lokasi, & Peninggalan Raja Airlangga

Sejarah Kerajaan Kahuripan tidak terlepas dari peran Raja Airlangga jika dilihat dari berbagai prasasti peninggalannya.

Sejarah Kerajaan Kahuripan, Lokasi, & Peninggalan Raja Airlangga
Patung Airlangga, Raja Kahuripan. wikimedia commons/free share

tirto.id - Kerajaan Kahuripan merupakan lanjutan dari Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur (Kerajaan Medang). Sejarah berdirinya kerajaan Hindu-Buddha ini tidak terlepas dari peran Raja Airlangga jika dilihat dari berbagai prasasti peninggalannya.

Lokasi pusat pemerintahan Kerajaan Kahuripan diperkirakan berada di wilayah Sidoarjo atau dekat Surabaya, Jawa Timur. Berdirinya Kahuripan sebagai sebuah kerajaan tidak terlepas dari berbagai faktor yang terjadi pada sekitar abad ke-10 Masehi.

Pemimpin masyhur Kerajaan Kahuripan adalah Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Airlangga (1009-1042) merupakan pendiri sekaligus raja terakhir sebelum Kerajaan Kahuripan terbelah.

Latar Belakang Sejarah

Pada abad 10, Kerajaan Mataram Kuno dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Perpindahan tersebut yang terjadi pada era kepemimpinan Mpu Sindok atau Rakai Hino Sri Isana (929-947 M).

Menurut George Coedes dalam The Indianized States of Southeast Asia (1968), ada beberapa faktor kemungkinan yang mendorong perpindahan tersebut.

Pertama adalah faktor politik, yakni sering terjadinya perebutan kekuasaan yang berimbas terhadap terancamnya kesatuan wilayah kerajaan ini. Kedua adalah faktor bencana alam, yaitu peristiwa meletusnya Gunung Merapi.

Adapun faktor ketiga adalah adanya potensi ancaman dari kerajaan lain, termasuk serangan dari Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan.

Faktor keempat adalah motif ekonomi, termasuk ketiadaan pelabuhan sehingga sulit menjalin kerja sama dengan kerajaan/bangsa lain, juga mulai kurang produktifnya sawah penghasil padi lantaran tenaga pria difokuskan untuk membangun candi-candi besar.

Soeroto dalam buku Mataram I (1975) menyebutkan, Kerajaan Mataram Kuno yang juga dikenal dengan nama Kerajaan Medang ini mencapai masa kejayaan ketika dipimpin oleh Dharmawangsa Teguh (985-1007).

Dharmawangsa Teguh adalah raja keempat Mataram Kuno periode Jawa Timur setelah Mpu Sindok (929-947), Sri Lokapala dan Ratu Sri Isanatunggawijaya yang memerintah sejak 947, lalu Makutawangsawardhana yang bertakhta hingga 985 Masehi.

Selain membawa Kerajaan Mataram Kuno alias Medang ke puncak keemasan, Dharmawangsa Teguh juga menjadi raja terakhir kerajaan yang beribukota di Watan ini.

Tahun 1006, Watan diserang mendadak oleh pasukan Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) ketika sedang menggelar pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas. Adapun keponakannya yang bernama Airlangga lolos dalam serangan itu.

Airlangga adalah putra Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni, saudara perempuan Dharmawangsa Teguh, yang menikah dengan Udayana, Raja Bali. Nantinya, Airlangga melanjutkan kuasa Mataram atau Medang melalui Kerajaan Kahuripan.

Pengaruh Airlangga

Setelah melarikan diri, Airlangga dan sejumlah pengikutnya bersemayam di Gunung Wanagiri untuk menyepi atau bersemedi. Tiga tahun berselang, tepatnya pada 1009 M, datang utusan rakyat dan pendeta dari Medang yang meminta Airlangga untuk melanjutkan takhta Dharmawangsa Teguh.

Disebutkan Muhammad Fikri lewat tulisan berjudul "Pengaruh Airlangga terhadap Kemajuan Kerajaan Medang Kamulan" dalam Jambura History and Culture Journal (Volume 1, 2019), Airlangga menerima pengukuhan sebagai raja dengan gelar Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Wilayah kekuasaannya saat itu masih meliputi daerah Sidoarjo, Pasuruan, dan sebagian Mojokerto saja karena banyak wilayah taklukan Medang yang melepaskan diri sepeninggal Dharmawangsa Teguh.

Melemahnya Kerajaan Sriwijya pada 1025 membuat Airlangga semakin leluasa memperluas dan memperkuat pengaruhnya. Beberapa kerajaan di berbagai wilayah pun bisa ditaklukkan.

Tahun 1037, Airlangga membangun istana dan ibu kota baru di Kahuripan (termasuk wilayah Sidoarjo sekarang). Sejak saat itu, kerajaan yang dipimpin Airlangga lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Banyak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Kahuripan di bawah pimpinan Airlangga, seperti pembangunan berbagai bangunan, bendungan, pelabuhan, jalan-jalan yang menghubungkan wilayah pesisir dengan ibu kota, dan masih banyak lagi.

Airlangga juga menggemari seni sastra. Ia meminta Mpu Kanwa, pujangga kerajaan, untuk menyusun kitab Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata.

Akhir Riwayat Kahuripan

Sebelum turun takhta, Airlangga sempat memindahkan ibu kota kerajaan ke Daha (termasuk wilayah Kediri sekarang). Tahun 1042, Airlangga meletakkan kekuasannya untuk menjadi pertapa.

Airlangga punya dua putra yang bernama Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Ia tidak mau anak-anaknya berebut takhta. Maka, Airlangga membagi dua wilayah kerajaannya.

Sri Samarawijaya mendapatkan wilayah di bagian barat yang kemudian bernama Kerajaan Kadiri, berpusat di Daha. Sedangkan wilayah bagian timur diberikan kepada Mapanji Garasakan, yaitu Kerajaan Janggala yang berpusat di Kahuripan.

Airlangga pun kemudian bertapa menjadi seorang resi atau pendeta hingga akhir hayatnya. Hingga kini, belum diketahui dengan pasti kapan tepatnya Airlangga wafat.

Peninggalan Kerajaan Kahuripan

  • Candi Belahan, terletak di lereng timur Gunung Penanggungan.
  • Candi Semar Jalatunda, terletak di bagian utara lereng Gunung Penanggungan.
  • Goa Selomangleng, terletak di Kecamatan Mojoroto, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
  • Prasasti Kamalgnyan (1037 M).
  • Prasasti Pucangan atau Prasasti Calcuta (1042 M).
  • Prasasti Cane (1021 M).
  • Prasasti Baru (1030 M).
  • Prasasti Terep (1032 M).
  • Petilasan di Sendang Made, Kudu, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KERAJAAN atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya