Menuju konten utama
30 Juli 1980

Sejarah Vanuatu dan Dukungannya terhadap Kemerdekaan Papua

Sejarah Vanuatu lekat dengan penjajahan bangsa Eropa. Kini, Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua/Papua Barat dari Indonesia.

Sejarah Vanuatu dan Dukungannya terhadap Kemerdekaan Papua
Header Mozaik Kemerdekaan Vanuatu. tirto.id/Tino

tirto.id - Vanuatu merayakan kemerdekaan atas pendudukan Prancis dan Inggris pada 30 Juli 1980, tepat hari ini 42 tahun lalu. Sejarah negara kepulauan yang terletak di Pasifik Selatan itu memang sempat lekat dengan penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Vanuatu juga mendukung Papua Barat merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Negara ini luasnya hanya 12 ribu kilometer persegi dengan populasi penduduk sebanyak 270 ribu jiwa dan beribukota di Port Villa. Vanuatu berada di sebelah timur Australia, sebelah barat Fiji, serta sisi selatan Kepulauan Solomon.

Penduduk asli Vanuatu adalah orang Melanesia, satu rumpun dengan orang-orang Papua di Indonesia, Aborigin di Australia, sebagian warga Timor Leste dan Papua Nugini, serta masyarakat asli negara-negara di kawasan Pasifik Selatan lainnya seperti Fiji, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, hingga Samoa.

Istilah Melanesia digunakan pertama kali pada abad ke-19 oleh penjelajah Eropa sebagai rujukan untuk menamakan sebuah kelompok etnik dan penggolongan pulau-pulau di Pasifik Selatan dan sekitarnya. Namun, dikutip dari Journal of Pacific History (2003), kini klasifikasi dengan sudut pandang rasial itu dianggap tidak tepat sehingga Melanesia hanya dipakai dalam konteks geografis.

Wilayah teritori Vanuatu hanya hampir seluas Kepulauan Maluku di Indonesia, dengan memiliki 843 pulau. Negara ini termasuk kawasan rawan gempa karena berdekatan dengan lempeng tektonik. Pada 20 November 2017 dan 5 Desember 2018, misalnya, Vanuatu diguncang gempa berskala 7 dan 7,5 Skala Richter (SR).

Selain itu, deretan gunung berapi atau ring of fire juga melintasi Vanuatu sehingga negara ini memiliki banyak gunung api yang masih aktif. Pada 2018 lalu, salah satu gunung api di Vanuatu, Gunung Manaro, meletus sehingga lebih 11 ribu warga harus dievakuasi ke tempat yang lebih aman.

Sejarah Kolonial di Vanuatu

Orang Eropa pertama yang menemukan Vanuatu adalah Fernandez de Quiros, penjelajah asal Portugis yang bekerja untuk Kerajaan Spanyol. Dikutip dari buku A Loose Canon: Essays on History, Modernity and Tradition (2007) karya Brian J. Coman, pada 4 Mei 1606, De Quiros berlabuh di sebuah pulau yang sekarang menjadi wilayah dari Vanuatu.

Wilayah tersebut lantas dijadikan koloni oleh Kerajaan Spanyol yang kala itu masih bersatu dengan Portugis (sejak 1580 hingga 1640). Hingga kemudian, Vanuatu jatuh ke tangan Prancis dan Britania Raya atau Inggris pada 1880.

Menjelang akhir 1906, tulis Felix Speiser dalam Ethnology of Vanuatu (1999), Prancis dan Britania sepakat untuk membentuk pemerintahan bersama atau kondominium yang diberi nama Hebrides Baru (New Hebrides).

Ketika sebagian besar bangsa-bangsa di Asia merdeka setelah Perang Dunia II usai, Vanuatu masih berada dalam jajahan Prancis dan Inggris. Gerakan kemerdekaan di Vanuatu baru muncul pada 1970.

Hingga akhirnya, tanggal 30 Juli 1980, Vanuatu memperoleh kemerdekaan kendati masih termasuk negara Persemakmuran Inggris yang terhubung dengan Britania Raya, sekaligus menjadi anggota Francophonie, yakni organisasi yang terdiri dari negara-negara yang menggunakan bahasa Prancis.

Mendukung Papua Merdeka

Perdana Menteri Vanuatu pertama, Walter Hadye Lini (1980-1991), menyatakan bahwa kemerdekaan Vanuatu belumlah sempurna hingga seluruh bangsa dan wilayah Melanesia terbebas dari kolonialisme. Inilah asal muasal dan alasan Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua Barat.

Bernard Narokobi dalam The Melanesian Way (1983) menyebut bahwa Melanisa mencakup Papua atau Papua Barat, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Kaledonia Baru, juga Fiji. Dengan dasar inilah Vanuatu terus mendorong Papua/Papua Barat untuk merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hingga saat ini, pemerintah Vanuatu tidak jarang membawa masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di forum-forum internasional, termasuk dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Infografik Mozaik Kemerdekaan Vanuatu

Infografik Mozaik Kemerdekaan Vanuatu. tirto.id/Tino

“Selama setengah abad, masyarakat internasional telah menyaksikan penyiksaan, pembunuhan, eksploitasi, kekerasan seksual, dan penahanan sewenang-wenang terhadap warga negara Papua Barat, yang dilakukan oleh Indonesia,” seru Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, di forum PBB pada 2017 lalu.

“Namun, masyarakat internasional tuli, menolak permintaan bantuan (Papua) tersebut. Kami mendesak Dewan HAM PBB menyelidiki kasus-kasus ini,” imbuhnya seperti dikutip dari Papuanews.id.

Salwai mengulangi tuntutannya dalam Sidang Umum PBB ke-73 yang digelar pada Oktober 2018. Pernyataan ini kemudian dibalas oleh Wakil Presiden RI kala itu, Jusuf Kalla (JK).

Meskipun tidak menyinggung nama Salwai maupun Vanuatu secara langsung, namun JK menyebut “sikap permusuhan” yang “tidak memiliki tempat dalam sistem PBB” dan “merupakan tindak pelanggaran terhadap prinsip-prinsip PBB”.

“Indonesia tidak akan membiarkan negara mana pun merusak integritas teritorialnya,” imbuh JK dengan tegas, sebagaimana diberitakan The Guardian.

“Seperti negara berdaulat lainnya, Indonesia akan dengan kuat mempertahankan integritas teritorialnya,” imbuh JK.

==========

Artikel ini terbit pertama kali pada 30 Juli 2019. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait VANUATU atau tulisan lainnya dari Wisnu Amri Hidayat & Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Wisnu Amri Hidayat
Penulis: Wisnu Amri Hidayat & Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz & Irfan Teguh Pribadi