Menuju konten utama

Sejarah Kementerian Agama: Bukan Penerus Lembaga Kolonial

Kementerian Agama bukan kelanjutan dari Departeman Urusan Pribumi dan Islam era kolonial. Dibentuk dengan semangat revolusi.

Sejarah Kementerian Agama: Bukan Penerus Lembaga Kolonial
Sejumlah pegawai di lingkungan Kementerian Agama mengikuti Doa dan Zikir Untuk Bangsa di Kementerian Agama, Jumat (5/1/2017). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Agama definitif pada 3 Januari 1946. Mohammad Rasjidi lantas ditunjuk oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir untuk duduk sebagai menteri agama yang pertama. Meski begitu, Rasjidi baru mulai bertugas pada 12 Maret 1946 dengan berkantor di ibu kota revolusi Yogyakarta.

Semula, Kementerian Agama berkantor di Jalan Bintaran nomor 9. Lalu, per Mei 1946, kantor pusatnya pindah ke Jalan Malioboro nomor 10.

Di awal menjabat, Menag Rasjidi disibukkan dengan kegiatan penerangan terkait alasan pembentukan lembaga yang dipimpinnya. Sebagaimana diuraikan Rasjidi dalam Konperensi Kementerian Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta pada 17-18 Maret 1947, Kementerian Agama eksis untuk merealisasikan pasal 28 UUD 1945. Lain itu, Kementerian Agama juga diharap bisa mengakhiri ekses perpecahan umat beragama di Indonesia tinggalan era penjajahan.

Langkah penting yang dilakukan Rasjidi adalah memulai konsolidasi internal serta mendefinisikan tugas dan wewenang lembaga baru itu. Seturut sejarawan Azyumardi Azra dalam bunga rampai Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (1998, hlm. 9), Kementerian Agama dimulai dengan mengambilalih tugas-tugas keagamaan yang terserak di beberapa kemeterian.

“Pertama, dari Kementerian Dalam Negeri tugas dan urusan yang berkenaan dengan masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan, dan urusan haji; kedua, dari Kementerian Kehakiman tugas dan wewenang yang berkenaan dengan Mahkamah Islam Tinggi (MIT); ketiga, dari Kementerian P&K, berkenaan dengan pengajaran agama di sekolah-sekolah,” tulis Azyumardi.

Untuk memperlancar usahanya itu, Rasjidi merekrut mantan pegawai Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Departemen Urusan Pribumi [Islam]) era kolonial Belanda dan mantan pegawai Shumubu (semacam Kantor Urusan Agama) era pendudukan Jepang. Rasjidi juga mengambil alih bekas Shumuka dan menjadikannya Jawatan Agama Daerah.

Het Kantoor voor Inlandsche Zaken dan Shumubu acap kali disebut sebagai “nenek moyang” Kementerian Agama. Kedua lembaga itu kerap dianggap sebagai preseden dari perlunya pendirian Kementerian Agama. Secara fungsional, sepintas Kementerian Agama memang mirip dengan kedua lembaga itu. Tapi, lembaga-lembaga itu pada dasarnya punya “ideologi” berbeda.

Mengurus Agama di Era Kolonial

Di era kolonial, pernah ada jabatan adviseur voor inlandsche zaken alias penasihat urusan pribumi. Tak hanya urusan pribumi secara umum, ia juga mencakup persoalan orang-orang Islam. Alasannya pragmatis saja, Islam adalah agama mayoritas di Hindia Belanda.

Lain itu, ada pula lembaga Kantoor Adviseur voor Inlandsche en Mohammedaansche Zaken. Buku Amal bakti Departemen Agama RI: 3 Januari 1946-3 Januari 1996 (1996, hlm. 9-10) mencatat Kantoor Adviseur voor Inlandsche en Mohammedaansche Zaken memiliki beberapa tugas, di antaranya memberi nasehat kepada pemerintah kolonial terkait Islam di Hindia Belanda, menjalankan penyelidikan dan pengawasan terhadap kegiatan politik pergerakan Islam, hingga mengawasi para haji yang pulang dari Mekah.

Salah satu tokoh terkenal yang pernah memimpin lembaga itu adalah Christian Snouck Hurgronje. Pada masanya, Hurgronje memang punya reputasi sebagai ilmuwan sekaligus birokrat paling cakap soal Islam di Hindia Belanda.

Di balik fungsi publiknya mengatur urusan keagamaan, Kantoor Adviseur voor Inlandsche en Mohammedaansche Zaken dibuat untuk mengontrol pergerakan Islam dan menegakkan ideologi ketertiban ala kolonialis Belanda. Maka eksistensi lembaga ini pada dasarnya cenderung berdimensi politik daripada pelayanan umum.

Lagi pula, tidak semua urusan yang berkaitan dengan umat beragama ditangani langsung oleh Kantoor Adviseur voor Inlandsche en Mohammedaansche Zaken. Beberapa urusan peribadatan diurus melalui beberapa departemen terpisah.

Segala urusan yang berkaitan dengan perjalanan haji, perkawinan, dan pengajaran agama dikelola oleh Departement van Binnenlandsche Bestuur (Pemerintahan Dalam Negeri). Urusan pengadilan Islam dimasukkan dalam lingkup Departement van Justitie. Sementara itu, soal peribadatan umum diurus oleh Departement van Onderwijs, Eredients en Nijverheid (Departemen Pengajaran, Ibadah, dan Industri Kerajinan).

Agama dan Propaganda era Pendudukan Jepang

Setelah Hindia Belanda runtuh, otoritas Jepang menerapkan pola birokrasi baru di Indonesia. Begitupun dalam urusan keagamaan. Kali ini, birokrasi keagamaan dibuat bukan sekadar untuk mengatur, tapi juga untuk menebar propaganda.

Otoritas Jepang tentu tidak bisa mengabaikan begitu saja umat Islam yang mayoritas. Demi kepentingan perangnya, otoritas Jepang mendekati dan coba menarik simpati orang-orang Islam sejak awal kedatangan mereka di Indonesia.

Sekitar 12 Maret 1942, seperti diceritakan Harry Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit (1980, hlm. 142), beberapa perwira Jepang tampak rajin berkunjung ke masjid-masjid di Jakarta. Beberapa perwira itu ternyata juga beragama Islam. Misalnya, ada Kolonel Tokomuzu Horie bersama Muhammad Abdul Mun’im Inada yang berkunjung dan sempat berpidato di Masjid Kwitang.

Otoritas Jepang kemudian mendirikan Shumubu pada akhir Maret 1942. Lembaga ini menjadi bagian dari Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang). Jepang juga membentuk Shumuka di daerah-daerah untuk memperlancar urusan birokrasi keagamaan.

Pemimpin pertamanya tak lain adalah Tokomuzu Horie. Kebijakan pertama Horie di Shumubu adalah menandai rumah-rumah ibadah Islam dan menempatkannya di bawah pengawasan militer Jepang.

Pada Juli 1943, Shumubu memulai program merangkul para ulama untuk propaganda. Para ulama itu mendapat pelatihan dan direkrut ke dalam Shumubu. Tahun itu juga menjadi tahun penting kala otoritas Jepang menyerahkan kepemimpinan Shumubu kepada orang Indonesia.

Pada 1 Oktober, Dr. Hoesein Djajadiningrat dilantik menggantikan Kolonel Horie sebagai pimpinan Shumubu. Di zaman Hindia Belanda, Hoesein termasuk dalam barisan penasihat pemerintah kolonial soal Islam. Dia juga punya relasi intelektual dengan Snouck Hurgronje di masa mudanya.

“Ini adalah posisi tinggi pertama di pusat pemerintahan militer Jepang yang diduduki seorang bukan Jepang,” tulis Benda (hlm. 170).

Pengangkatan Hoesein rupanya tidak memuaskan kelompok Islam. Meski paham Islam, mereka menilai Hoesein tidak cocok jadi representasi kaum religius karena bukan berasal dari kalangan ulama.

Belum sampai setahun bertugas, Hoesein pun memilih menarik diri. Otoritas Jepang kemudian memilih pemimpin Shumubu dari kalangan yang bisa memuaskan kelompok Islam.

“Pada Agustus 1944, Hoesein Djajadiningrat—salah seorang priyayi Jawa barat yang paling terkemuka—digantikan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama oleh Hasjim Asj’ari,” tulis Marlee Ricklef dalam Mengislamkan Jawa (2013, hlm. 122).

Hasjim Asj’ari adalah tokoh kharismatik Nahdatul Ulama (NU). Dia adalah pendiri pesantren Tebuireng, Jombang dan Ketua Masyumi. Namun, catat Benda, pemimpin de facto Shumubu adalah Wahid Hasyim dan Abdul kahar Muzakkir.

Merintis Kementerian Agama

Usai Proklamasi, pemerintah Indonesia yang baru terbentuk tidak membuat departemen atau kementerian khusus yang mengurusi masalah agama. Meski begitu, seturut buku Amal Bakti Departemen Agama RI (hlm. 11), ada Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim dari NU yang ditunjuk jadi menteri negara dengan tugas “mengurus urusan politik, terutama yang berhubungan dengan Islam dan Umat Islam.”

Usul pembentukan Kementerian Agama sebenarnya sudah muncul dalam perancangan kabinet pada 19 Agustus 1945. Namun, usul itu tidak direalisasikan karena penolakan anggota PPKI dari Maluku Johannes Latuharhary.

Sejarawan Azyumardi Azra menyebut aspirasi pembentukan Kementerian Agama muncul lagi pada 11 November 1945. Usulan itu datang dari anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dari Banyumas, yaitu Abudardiri, Saleh Su’aidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro. Pada intinya mereka ingin urusan keagamaan tidak dikelola secara sambil-lalu dan terpisah oleh beberapa kementerian.

Usulan ini mendapat dukungan dari Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki Mahdi, dan Kartosudarmo yang semuanya juga merupakan anggota KNIP untuk kemudian memperoleh persetujuan BP-KNIP,” tulis Azyumardi (hlm. 5).

Usulan itu kemudian dibicarakan lagi dalam Sidang Pleno BP-KNIP pada 25-28 November di Jakarta. Kali ini, usulan itu mendapat lampu hijau. Pemerintah lantas membentuk Kementerian Agama definitif dengan menerbitkan Penetapan Pemerintah Nomor I/S.D. pada 3 Januari 1946.

Meski mengambilalih fungsi dari lembaga-lembaga presedennya di era kolonial dan pendudukan Jepang, Kementerian Agama kini dilambari ideologi baru sebagai kementerian revolusi. Dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka yang rujuk Azyumardi, pemerintah tegas menyatakan bahwa Kementerian Agama yang baru “tidak ada hubungannya dengan zaman penjajahan.”

Kementerian Agama yang baru dibentuk itu bukan lagi pengabdi kolonialisme, tapi “berfungsi sebagai pembimbing dan penjamin azas kemerdekaan beragama.”

Baca juga artikel terkait KEMENTERIAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi