Menuju konten utama

Sejarah Kekuasaan dan Ekspresi Seksualitas di Asia Tenggara

Untuk memuaskan seksualitas perempuan di Asia Tenggara pada abad ke-15 dan ke-16, para lelaki berlomba "mendandani" kelaminnya.

Sejarah Kekuasaan dan Ekspresi Seksualitas di Asia Tenggara
Sebuah adegan pasar di Bali, 1961. (AP Photo)

tirto.id - Tomé Pires, penjelajah Portugis yang hidup pada abad ke-16 hanya bisa mengerutkan dahi ketika melihat gaya berpakaian penduduk Kerajaan Pegu di Myanmar. Menurut pengamatannya, Pegu dihuni orang-orang dengan gaya busana eksotis dan cukup mencolok bagi kebanyakan orang-orang Eropa kala itu. Para perempuannya tidak malu bertelanjang dada, sementara para laki-lakinya melilitkan kain lebar di seputar paha. Dari balik “celana” kaum lelaki, samar-samar Pires mendengar suara gemerencing bunyi lonceng yang tengah beradu.

“Menurut tradisi, semua penguasa Pegu dan orang-orang kaya yang tinggal di sana harus mengenakan lonceng kecil berbentuk bulat di daerah intimnya. […] Mereka yang miskin sehingga tidak mampu memiliki lonceng emas dan perak akan mengenakan lonceng fruseleira,” tulis Pires dalam catatan perjalanannya yang disunting Armando Cortesão ke dalam Suma Oriental (2014: 140).

Sepanjang abad ke-16, para penjelajah dan pedagang Eropa tidak henti menuangkan rasa heran mereka terhadap tradisi unik itu ke dalam berlembar-lembar arsip kolonial. Seorang pelaut sekaligus penyair Portugis bernama Luís de Camões juga pernah menyinggung aksesori lonceng kaum lelaki Pegu dalam kumpulan syair karangannya, Os Lusíadas (1572). Menurutnya, melalui cara ini Ratu Pegu ingin memastikan agar suami mereka dapat memberi kepuasan seksual setiap saat.

“Di sini terdengar bunyi logam dari bagian tubuh mereka yang tidak terlihat. Lonceng tersebut dimasukkan, suatu trik yang diperkenalkan oleh Sang Ratu. Melalui cara ini ia mendapatkan keinginannya, yakni agar kesalahan terkutuk tidak terulang lagi,” tulis Camões.

Otoritas Seks Perempuan

Otoritas yang dimiliki perempuan Asia Tenggara pramodern di bidang ekonomi dan politik ternyata berkaitan pula dengan kemampuan mereka mengekspresikan seksualitas. Seiring pencapaian mereka di puncak kehidupan niaga, perempuan Asia Tenggara--begitu pula dengan para laki-lakinya--kerap dideskripsikan sebagai sosok yang penuh berahi. Hal ini bertolak belakang dengan kepercayaan yang menyebut perempuan Asia pramodern sangat pemalu.

Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I (2011: 169) menjelaskan bahwa kesusastraan klasik Asia Tenggara abad ke-15 sampai abad ke-18, banyak memperlihatkan peran aktif perempuan dalam bercumbu dan bercinta. Menurutnya, secara umum perempuan “mengharapkan pasangannya bersikap adil dalam hal kepuasan seksual dan emosional.”

Kesusastraan Asia Tenggara klasik banyak bercerita tentang daya tarik jasmani para pahlawan legendaris bagi kaum perempuan, sama halnya ketika laki-laki membicarakan tubuh lawan jenisnya. Hikayat Panji yang diperkirakan berasal dari Jawa abad ke-13 merupakan salah satu cerita rakyat yang paling awal memperlihatkan hal tersebut.

Menurut Harun Mat Piah dalam Traditional Malay Literature (2002: 2013), kisah cinta Pangeran Panji menjadi amat terkenal di semua lapisan masyarakat Asia Tenggara ketika Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan pada abad ke-15. Popularitasnya kemudian memengaruhi penciptaan karya agung Melayu yang berjudul Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah. Baik Panji maupun Hang Tuah sama-sama digambarkan memiliki daya tarik seksual yang bisa membuat lemas lutut para perempuan.

“Jika Hang Tuah lewat, para perempuan serta-merta berlari dari pelukan para suami sehingga mereka bisa keluar dan melihatnya,” tulis Reid mengutip salah satu bagian dalam Sejarah Melayu.

Otoritas seks perempuan di kawasan Asia Tenggara abad ke-15 dan ke-16 semakin tinggi tatkala titik perdagangan utama seperti Pegu, Pasai, Patani, Kelantan, dan Solor mulai mengangkat raja perempuan sebagai dampak meningkatnya kegiatan perniagaan internasional. Pada periode itulah praktik menanamkan alat seks pada organ vital laki-laki semakin banyak ditemukan di kawasan pesisir sepanjang daratan Indocina hingga Nusantara.

Kesaksian paling awal tentang hal ini datang dari catatan perjalanan ahli bahasa bernama Ma Huan saat dirinya menemani Laksamana Cheng Ho dalam ekspedisi laut antara tahun 1405 sampai 1433. Ketika kapal Cheng Ho merapat di Siam, Huan mendapati para suami di negeri itu senantiasa mengizinkan istri-istri mereka tidur dengan orang-orang dari ibu kota karena dianggap sebagai bentuk negosiasi untuk melancarkan urusan dagang.

“Jika perempuan yang sudah menikah bermesraan dengan orang dari ibu kota, minuman dan makanan segera dihidangkan lalu mereka duduk dan tidur bersama. Sang suami terlihat tenang dan tidak menunjukkan penolakan,” tulis Huan dalam Ying-Yai Sheng-Lan: ‘The Overall Survey of the Ocean's Shores’ (1433: 104).

Ma Huan menambahkan, setiap laki-laki di negeri itu diharuskan menjalani pembedahan alat kelamin. Jika orang itu adalah raja atau orang yang sangat kaya, pembedahan diikuti dengan memasukkan manik-manik emas atau perak yang bisa menghasilkan suara gesekan yang berirama. Praktik ini biasa dilakukan oleh para dukun sunat kepada yang sudah menginjak usia 20 tahun dan siap menikah.

Seperti orang-orang Portugis yang terheran-heran terhadap aksesori lonceng dari Pegu, Ma Huan pun menyebut hal ini sebagai “hal yang aneh.” Kendati demikian, Huan tidak bisa menyangkal bahwa para perempuan Siam, seperti halnya di Pegu, sangat menyukainya karena suaranya yang merdu.

Tindik Alat Kelamin Laki-Laki

Di beberapa kawasan di Asia Tenggara sebelum Islam, di samping tradisi sunat klitoris pada perempuan, kaum laki-laki juga harus mengalami pembedahan yang sama. Pada laki-laki, pembedahan dilakukan dengan memasukkan manik-manik atau peniti logam yang kedua ujungnya dilengkapi roda, taji atau kancing. Menurut Anthony Reid, tradisi menyakitkan ini mengalami fase penyebaran yang sangat mencolok dan tidak ditemukan di bagian dunia lainnya.

Penjelajah asal Venesia, Antonio Pigafetta, pertama kali menyaksikan praktik yang janggal bagi orang-orang Eropa itu ketika berpatisipasi dalam penjelajahan yang dilakukan Ferdinand Magellan di Filipina. Usai kembali ke negerinya, Pigafetta mendeskripsikan temuannya itu ke dalam karya klasik berjudul The First Voyage Around the World, 1519-1522 (2007: 54) sebagai pengalaman yang tidak bisa dia lupakan.

“Orang-orang itu telanjang hanya mengenakan selembar daun palem untuk menutupi bagian alat vital. Para laki-laki, tua atau muda, terlihat menindik bagian ujung kepala kemaluan mereka dengan menggunakan mur emas atau timah sebesar bulu angsa,” ujar Pigafetta.

Infografik Seks di Abad Perdagangan Laut pra-modern

Infografik Seks di Abad Perdagangan Laut pra-modern. tirto.id/QUita

Tom Harrison, seorang polimatik asal Inggris, mengungkapkan praktik semacam ini sebenarnya sudah ditemukan di daratan Cina kuno sebelum akhirnya semakin kuat di bawah pengaruh bangsa Mongol pada abad ke-13. Menurutnya, tradisi ini dipertahankan orang-orang Mongol dengan berpegang pada praktik seksual Tantra yang berkembang dari India pada permulaan milenium.

“Orang Mongol sangat menjunjung konsep ‘energi perempuan.’ Kubilai Khan bahkan mengelilingi dirinya dengan ajaran Buddha Tantra yang mengembangkan aspek seks tertentu ke tingkat yang mencengangkan,” paparnya.

Temuan yang dikemukakan Harrison dalam “The ‘palang’: It’s History and Protohistory in West Borneo and the Philippines” juga menyebut bahwa pembedahan seks pada alat kelamin laki-laki diikuti dengan penanaman sebuah alat berbahan logam. Perangkat serupa banyak dipakai di Borneo bagian barat dan sangat populer di kalangan suku Kayan, Kenyah, Kalabit, Iban, dan lainnya. Mereka menyebutnya sebagai palang atau utang atau peniti penis.

Pada 1609, sejarawan dan penjelajah asal Spanyol, Antonio de Marga, menemukan kesamaan palang dengan peniti penis yang dia temukan di Filipina. Dia bilang, orang-orang dari Pulau Pintados (Pulau Visayan), khususnya para perempuan, sangat tertarik pada seks. Demi memuaskan para perempuan, maka kaum laki-laki harus rela mengiris membrum virile mereka untuk kemudian ditanam sebuah peniti logam bernama sagras.

“Menggunakan alat ini mereka bisa bersenggama dengan para perempuan dalam waktu yang lama tanpa dapat menarik kemaluannya. Mereka sangat kecanduan dan senang dengan cara ini, meskipun ada kalanya menimbulkan cedera, tetapi mereka mengabaikannya,” tulis de Marga seperti dikutip oleh Tom Harrison dalam tulisannya yang terbit di Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (1964: 170).

Tindik pada alat kelamin laki-laki menunjukkan betapa kuat kedudukan perempuan Asia Tenggara dalam soal seks. Praktik ini dinilai memiliki pola yang berlawanan dengan praktik pembedahan di Afrika yang mementingkan kenikmatan seksual laki-laki. Seperti diterangkan oleh para penjelajah Eropa dan Cina, tindik alat kelamin laki-laki yang menyebar dari Myanmar, Vietnam, Filipina, Borneo, hingga Makassar semata-mata ditujukan untuk meningkatkan kenikmatan seksual pada perempuan.

Ada kalanya, tradisi ini berubah menjadi sebuah kompetisi atau sekadar menunjukkan status sosial. Baik di Pegu maupun Siam, para laki-laki berlomba-lomba memakai lebih banyak lonceng atau manik-manik agar mereka lebih disukai oleh perempuan. Mereka percaya bahwa hubungan seksual tanpa alat demikian masih kalah nikmat dibandingkan masturbasi.

“Para laki-laki bilang perempuan-perempuan mereka menginginkannya dan jika tidak dipatuhi dapat dipastikan tidak akan ada perempuan yang mau berhubungan dengan mereka,” ungkap Pigafetta.

Baca juga artikel terkait SEJARAH ASIA TENGGARA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh