Menuju konten utama

Sejarah Kebiri: dari Bentuk Hukuman hingga Bisnis Kontroversial

Praktik kebiri terus eksis di setiap kebudayaan dan di setiap masa. Alasannya bisa beragam, mulai dari hukuman hingga wujud ketundukan.

Sejarah Kebiri: dari Bentuk Hukuman hingga Bisnis Kontroversial
Ilustrasi kebiri kimia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Orang yang hancur buah pelirnya atau yang terpotong kemaluannya, janganlah masuk jemaah Allah,'' demikian tertulis dalam kitab suci Katolik bagian Ulangan bab 23 ayat 1. Dalam agama Katolik, seksualitas dan perkelaminan memang menjadi salah satu isu penting. Demi menjamin ketaatan kepada Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, berbagai aturan terkait pun diberlakukan oleh para pemimpin gereja sejak Abad Pertengahan.

Namun, seiring perkembangannya, aturan-aturan itu seringkali justru tampak tak konsisten.

Pada abad ke-16, gereja melarang perempuan menyanyi dalam paduan suara gereja atau di panggung. Sementara itu, pengebirian anak laki-laki untuk melestarikan suara soprannya adalah praktik yang biasa di Eropa. Di Italia, bocah laki-laki yang dikebiri untuk menyanyi disebut castrati dan merekalah yang menggantikan posisi para penyanyi perempuan.

Para castrati dikebiri sebelum mencapai pubertas sehingga tubuhnya tidak menghasilkan cukup hormon testosteron. Kekuarangan hormon ini membuat laring mereka tidak berubah sebagaimana laki-laki lainnya. Karena itulah, suara tingginya pun tetap bertahan.

Profesor Kriminologi dari Utrecht University Dina Siegel dalam bunga rampai Crime and Music (2021) menyebut, pada mulanya, gereja tidak menyetujui segala macam praktik kebiri. Tapi, pada 1589, Paus Sixtus V mengizinkan perekrutan castrati untuk Cappella Giulia. Pada 1599, Paus Klemens VIII bahkan menguduskan para castrati yang masuk ke paduan suara gereja.

Praktik ini makin populer sepanjang abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa Paus Innosensius XI (1676-1689), misalnya, ribuan bocah laki-laki di Italia sengaja dikebiri oleh pejabat Vatikan yang mempekerjakan mereka dalam kelompok paduan suara gereja.

Tak hanya gereja, kelompok opera pun memanfaatkan para castrati untuk bisnis. Di berbagai wilayah di Eropa, banyak keluarga miskin yang sengaja mengebiri anak laki-lakinya untuk diarahkan jadi penyanyi opera. Banyak dari castrati miskin itu yang kemudian menjadi semacam selebriti. Mereka menyanyi di gedung-gedung opera megah dan bahkan diundang tampil di hadapan raja-raja di Eropa.

“Dalam pertunjukan opera di abad ke-18, mayoritas penyanyi prianya adalah seorang castrati. Castrati Italia paling terkenal adalah Carlo Broschi yang punya nama panggung Farinelli,” tulis Ensikopedia Britannica.

Farinelli terlahir dalam keluarga musisi yang cukup kaya, berbeda dengan para castrati lain yang umumnya miskin. Sejak kecil, dia diarahkan dan dilatih menjadi penyanyi opera. Kemungkinan dia dikebiri setelah ayahnya mati muda dan segera setelah itu jadi tumpuan ekonomi keluarganya.

Praktik castrati ini dilarang oleh Paus Leo XIII pada 1878, meski dia sendiri baru membubarkan castrati di Kapel Sistin pada 1902.

Kebiri di Tiongkok Kuno

Adakah yang lebih kontroversial dari kasus castrati? Cobalah tengok komunitas sekte Skoptsy yang berasosiasi dengan Katolik Ortodoks di Rusia. Pada 1757, si pemimpin sekte Andre Ivanov beserta 13 orang muridnya mengebiri diri mereka sendiri untuk ritual. Otoritas hukum di Rusia lalu menangkap dan mengasingkan Ivanov beserta asistennya ke Siberia. Namun, ritual kebiri itu tetap dilanjutkan oleh para muridnya.

Selivanov, seorang asisten Ivanov, berhasil kabur dari Siberia dan kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai "Anak Tuhan" di St. Petersburg. Dalam perkembangannya, sekte ini juga mengangkat payudara para anggota perempuannya. Sekte Skoptsy sendiri baru dilarang pada masa Stalin berkuasa. Meski begitu, beberapa komunitas antiseksual yang berasosiasi dengan Skoptsy diketahui masih tetap eksis di Rusia.

Meski kontroversial, tindakan memutilasi dan rekayasa alat kelamin memang eksis di berbagai kebudayaan di dunia. Alasan untuk melakukannya juga beragam. Selain etika dan terkait ritual keagamaan, ada pula yang menjadikannya simbol sosial atau menempatkannya sebagai wujud hukuman. Ada pula beberapa komunitas yang sengaja melakukannya untuk meredam hasrat seksual.

Selain itu, sejarah praktik kebiri sebenarnya sudah sangat tua. Praktiknya yang paling awal bisa dilacak hingga zaman Cina kuno. Pada 2281 SM, di era pemerintahan Kaisar Shun dan Yu, kebiri diberlakukan sebagai hukuman. Para kriminal bisa diganjar hukuman kebiri jika melanggar aturan tertentu.

Menurut para sejarawan, hukuman kebiri adalah salah satu dari lima alternatif sanksi fisik resmi kekaisaran bagi para kriminal. Pada era Dinasti Zhou (1066-221 SM), ia menjadi alternatif pengganti hukuman mati. Keluarga para kriminal yang dikebiri dijadikan budak.

Selain itu, para kaisar Tiongkok juga biasa mempekerjakan para kasim. Mereka adalah para lelaki yang dikebiri untuk bekerja di lingkungan istana. Pengebirian mereka adalah simbol ketundukannya kepada kaisar. Lain itu, kebiri juga dilakukan untuk mencegah mereka berhubungan seks dengan anggota keluarga kekaisaran.

“Kebiri awalnya dilakukan kepada para kriminal dan orang-orang yang melawan kaisar. Tetapi, dalam perkembangannya, para budak belian, tawanan perang, dan kasim juga dikebiri. Selain itu, anak laki-laki sengaja dikebiri oleh orang tuanya dengan harapan bisa bekerja secara langsung di lingkungan kekaisaran,” tulis Ernst Faber dalam China in the Light of History (1897, hlm. 18).

Dokumen sejarah mencatat, Dinasti Shang melakukan pengebirian terhadap para tawanan perang pada 1700 hingga 1050 SM. Meski terhitung lebih lunak dari hukuman mati, kebiri pada masa itu dilakukan dengan cara memutilasi keseluruhan alat kelamin pria—termasuk bagian testis saja. Tidak heran jika banyak dari mereka meninggal gara-gara proses yang brutal itu.

Di era Dinasti Qin (221-206 SM), kebiri juga dilakukan pada mereka yang diberi perintah atau tugas khusus dari kerajaan, seperti para tentara. Pada masa Dinasti Han (206 SM–220 M), seorang sejarawan bernama Sima Qian dianggap bersalah dan dihukum kebiri semata karena berbeda pendapat dengan raja. Kebiri sebagai hukuman bahkan masih berlaku hingga masa Dinasti Tang pada abad ke-7.

Infografik Sejarah Kebiri

Infografik Sejarah Kebiri. tirto.id/Fuad

Kebiri di Turki Usmani

Kekaisaran Cina bukan satu-satunya yang mempekerjakan para kasim. Khilafah Usmaniyah Turki juga melakukannya. Untuk menjaga keamanan khalifah, orang-orang yang akan dipekerjakan di lingkungan istana dikebiri terlebih dahulu. Mereka biasanya adalah para budak yang berasal dari berbagai latar belakang seperti Kristen, orang Afrika, dan beberapa kulit putih.

Pengebirian ini adalah bagian dari rangkaian inisiasi. Mereka juga diharuskan belajar bahasa Turki, agama Islam, dan kebudayaan. Beberapa kasim terkadang dapat menduduki posisi-posisi penting dalam hierarki kekhalifahan. Praktik ini bertahan hingga abad ke-18.

Di masa modern awal, peradaban manusia mulai menganggap penting efek samping dari kebiri. Ensiklopedia Britannica mencatat, organ seks akan berhenti berkembang jika kebiri dilakukan sebelum seseorang mencapai masa pubertas. Sementara itu, fungsi organ seks akan menyusut jika dilakukan setelah pubertas.

Antropolog Robert D. Martin dalam artikel “Unmanned: An Unnatural History of Human Castration” menyebut, seseorang akan kehilangan gairah seksual jika dia dikebiri setelah pubertas.

“Setelah puber, mereka yang dikebiri kemungkinan besar akan mengalami juga perubahan fisik dan psikologis. Massa otot, kekuatan fisik, dan rambut tubuh biasanya berkurang. Kasim biasanya tidak berjanggut. Pembesaran payudara juga sering terjadi,” tulis Martin.

Baca juga artikel terkait KEBIRI atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Fadrik Aziz Firdausi