Menuju konten utama

Sejarah Karier Luhut Panjaitan: Suram di Era Orba, Moncer Kemudian

Luhut Panjaitan adalah jenderal yang tak pernah jadi panglima. Di zaman Orba, kariernya sempat redup.

Sejarah Karier Luhut Panjaitan: Suram di Era Orba, Moncer Kemudian
Luhut Binsar Panjaitan. [ANTARA FOTO/Reno Esnir]

tirto.id - Sabtu pagi, 6 Desember 1975, di Bandara Halim Perdanakusumah. Luhut Binsar Panjaitan masih berpangkat letnan. Jabatannya Komandan Kompi A Detasemen Tempur (Denpur) 1 Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), yang dipimpin Mayor Atang Sutisna. Luhut melihat ada seorang mayor jenderal di sana. Berbaju safari warna coklat, sang mayjen bicara pada Luhut dan lainnya.

“Saya percaya kalian akan bisa merebut Dili. Tetapi saya juga sadar, di antara kalian pasti akan ada yang gugur dalam pertempuran,” kata sang mayjen seperti ditulis Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang loyalis (2007: 196). Sang mayjen itu tak lain adalah Benny Moerdani.

Dili berhasil direbut dan memang banyak anggota ABRI yang terbunuh. Namun Luhut tidak termasuk yang terbunuh. Kariernya tetap berlanjut di baret merah. Setelah dilatih di GSG 9 Jerman Barat bersama Prabowo Subianto Djojohadikusumo, pada 1981 Luhut mendirikan Detasemen 81 Anti Teroris Kopassus. Di situ dia, yang berpangkat mayor, menjadi komandan dan Kapten Prabowo Subianto menjadi wakilnya.

Di masa menjadi Komandan Detasemen 81, seperti dicatat Hendro Subroto dalam biografi Letnan Jenderal Sintong Panjaitan, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009: 450-455), Luhut punya cerita dengan Prabowo. Disebutkan bahwa Kapten Prabowo menggerakkan pasukan Detasemen 81 pada Maret 1983 untuk “mengamankan” Benny Moerdani dan beberapa jenderal lain. Katanya Benny mau mengudeta Soeharto. Mayor Luhut tidak percaya isu kudeta tersebut.

Antara Benny dan Prabowo

Setelah peristiwa 1983 itu, hubungan Luhut dan Prabowo tidak baik. Namun, menurut Kivlan Zen dalam Konflik dan Integrasi TNI AD (2004), hubungan itu sempat akrab ketika ada kepentingan bisnis setelah Luhut dan Prabowo tak di militer dan asyik di dunia usaha. Mereka berdua pernah bersama di PT Kiani Kertas (hlm. 98).

Pada pertengahan 1980-an Prabowo terpental dari baret merah. Kala itu Benny adalah orang paling kuat di ABRI. Menurut Kivlan Zen, Luhut termasuk perwira muda yang dicap sebagai “orangnya Benny” (hlm. 72).

Luhut sendiri, dalam biografi Sintong, mengaku dirinya banyak belajar dari sang patron. Katanya, "Pak Benny juga banyak memberikan kesempatan kepada saya untuk berkarya." Lebih lanjut Luhut mengaku pula bahwa M. Jusuf, Panglima ABRI yang sering berseberangan dengan Benny, sering mengajaknya pergi berkeliling, termasuk ke Timor Timur (hlm. 463).

Suatu kali Luhut punya gagasan untuk membangun intelijen teknik di Detasemen 81 agar dapat menyusup pertahanan lawan. Semula gagasan itu disampaikan kepada Benny, namun karena Benny tidak lagi jadi Panglima ABRI gagasan tersebut diajukan ke Panglima ABRI baru, Try Sutrisno. Ide itu disetujui dan jadilah proyek bernama Charlie. “Proyek Charlie berhasil dibangun dengan menggunakan bekas proyek Rajawali jauh sebelum zamannya Benny,” kata Luhut seperti dicatat Hendro Subroto (hlm. 461).

Dan karena proyek inilah Luhut dituduh hendak mengudeta Soeharto. Hendro Subroto menyebut, “Luhut dilaporkan macam-macam kepada Soeharto sehingga ia menjadi pemegang kartu mati.” Karier Luhut pun suram.

Setelah pengaruh Benny Moerdani mulai memudar di militer, karier Prabowo makin cerah dengan kembali ke baret merah. Bahkan pada 1996, Prabowo menjadi komandan jenderalnya. Ini berkebalikan dengan karier Luhut. Ketika Prabowo berjaya, Luhut ditempatkan di Pusat Kesenjataan Infanteri.

Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 160), Luhut “ikut menjadi korban de-benny-sasi.” Puncak karier Luhut di baret merah pun tidak sebanding dengan Prabowo. Luhut tak pernah menduduki jabatan Danjen, dia hanya pernah menjadi Komandan Grup 3 Sandi Yudha dan Komandan Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus).

Luhut juga termasuk jenderal yang tidak pernah jadi panglima. “Jangankan jabatan Pangdam (Panglima KODAM), jabatan Kasdam (Kepala Staf KODAM) pun tak pernah saya alami,” aku Luhut seperti dikutip Hendro Subroto (hlm. 462).

Jabatan teritorial tertinggi yang pernah diraihnya adalah Komandan Korem Madiun 081/Dhirotsaha Jaya pada 1995. Menurut Sintong Panjaitan, Luhut pernah jadi Komandan Korem terbaik dalam rapat teritorial. Meski jabatannya tak menonjol, sebagai tentara Luhut harus menerima perintah apapun yang diberikan atasannya. Semua prajurit ABRI tahu, pantang membantah perintah atasan. Mempertanyakan perintah atau jabatan adalah haram.

Infografik Luhut Binsar Panjaitan

undefined

Berjaya di Luar Militer

Setelah tenggelam di masa Orde Baru—meski dia salah satu perwira cemerlang—kejayaan Luhut tampaknya terjadi di luar dunia militer. Lulusan Akabri Magelang 1970 ini akhirnya ditarik Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie untuk menjadi duta besar di Singapura, lalu Menteri Perindustrian di era Presiden Abdurrahman Wahid. Kini, kakak dari diplomat Kartini Panjaitan ini adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.

Belakangan, Luhut menjadi orang penting dalam pengusulan ditempatkannya perwira TNI di institusi sipil atau kementerian—yang sedianya bisa diampu kalangan sipil. Hingga orang-orang pun jadi teringat Dwifungsi ABRI zaman Orde Baru, kala Luhut tidak berjaya sebagai perwira. Namun, bagi Luhut, penempatan perwira TNI di jabatan sipil zaman Jokowi bukanlah Dwifungsi.

Surplus kolonel dan jenderal tentu bikin pusing pemerintah. Menempatkan mereka di jawatan sipil pun tampak jadi solusi. Seperti kebanyakan tentara, Luhut dan kawan-kawan militernya meyakini bahwa mereka bisa mengerjakan apa saja, termasuk pekerjaan orang-orang sipil.

Di dalam keluarganya, Luhut bukan satu-satunya yang pernah di baret merah. Anak laki-lakinya, Paulus, adalah mayor TNI berbaret merah. Sementara menantunya, Mayor Jenderal Maruli Simanjuntak, juga pernah di baret merah dan kini menjadi Komandan Paspampres.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MILITER atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan