Menuju konten utama

Sejarah Karier Gusti Randa: Televisi, Kontroversi, Hingga PSSI

Dekade 90an, orang lebih mengenal Gusti Randa sebagai penghias layar televisi. Kini ia jadi sosok tak main-main di sepak bola nasional.

Sejarah Karier Gusti Randa: Televisi, Kontroversi, Hingga PSSI
Ilustrasi Gusti Randa. tirto.id/Lugas

tirto.id - Gusti Randa ditunjuk Joko Driyono sebagai Plt Ketua Umum PSSI per Selasa (19/3/2019). Dia diberi kepercayaan menahkodai federasi sampai digelarnya Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang belum jelas kapan.

Jabatan baru ini membuat Gusti layak disebut sebagai orang berkarier moncer di dunia sepak bola nasional. Maklum, belum lama ini dia juga ditetapkan sebagai Komisaris Sementara PT Liga Indonesia Baru (LIB), operator yang menaungi Liga 1 dan Liga 2.

Gusti Randa Malik bukan orang baru. Di kepengurusan sepak bola nasional, setidaknya dia sudah 10 tahun makan asam garam.

Kiprah Gusti dimulai tahun 2009, saat jadi inisiator terbentuknya Persatuan Olahraga Futsal Indonesia (POFI) bersama legenda sepak bola nasional, Ronny Pattinasarani. Keberadaan organisasi ini sempat disoroti pengurus PSSI era Nurdin Halid, namun toh akhirnya justru ia diberikan tempat.

Lewat Kongres PSSI, Gusti akhirnya ditarik untuk memimpin organisasi futsal yang langsung menginduk kepada federasi, yakni Badan Futsal Nasional (BFN). Berkat posisi di BFN pula, suara Gusti di PSSI semakin lantang terdengar. Tahun 2011 misal, dia menjadi anggota tim verifikasi calon Ketua Umum PSSI.

Gusti juga mengadvokasi Persija Jakarta versi Ferry Paulus, yang dekat dengan Nirwan Bakrie, saat tim ini terpecah jadi tiga. Soal advokasi ini, segalanya tidak luput dari jabatan lain yang disandang Gusti. Kemudia dalam periode 2013-2017, dia tercatat sebagai Ketua Umum Asprov PSSI Jakarta.

Saat kisruh yang melibatkan PSSI dan Kemenpora mencuat, Gusti Randa bergabung dalam kubu Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Dia bahkan sempat mencalonkan diri sebagai Ketua Umum KPSI, namun akhirnya kalah dari La Nyalla Mataliti dalam pemungutan suara. La Nyalla diketahui mendapat 79 dukungan dari 81 voters.

Setahun berselang KPSI bubar, federasi berantakan dan publik menuntut adanya Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI. Tuntutan ini sempat membuat Gusti yang mendapat banyak tekanan mundur dari federasi.

"Yang jelas saya sudah rangkap jabatan, dan tidak mau terjadi kegaduhan yang lebih lanjut," ungkap Gusti kala itu, seperti diwartakan Antara.

Namun, waktu akhirnya membuktikan bahwa kepergian Gusti cuma sementara. Tidak sampai setahun sejak mundur, Gusti kembali ditarik PSSI era Edy Rahmayadi untuk jadi anggota Exco Bidang Hukum dan Status pemain. Kepercayaan ini pula yang kemudian mengantarkannya ke jabatan yang jauh lebih tinggi: Komisaris PT LIB serta Plt Ketua Umum PSSI.

Awalnya Jauh dari Bola

Gusti memang sudah lama berkecimpung di sepak bola nasional, namun masyarakat Indonesia yang lahir sebelum era reformasi barangkali lebih mengenalnya dengan profesi sebagai aktor.

Gusti muda memang lebih kerap menghiasi layar televisi dengan perannya di sinetron dan film. Sempat belajar sebagai koreografer, pria kelahiran 15 Agustus 1965 itu kemudian memutuskan terjun di dunia olah peran dalam film Cinta di Balik Noda (1984). Kemudian berturut-turut dia juga membintangi film Yang Masih di Bawah Umur (1985), juga Peluk Daku dan Lepaskan (1992).

Di dunia sinetron, karier Gusti tak kalah moncer. Beberapa judul yang pernah dia geluti antara lain Mahkota Mayangkara, Mahkota Majapahit, Wajah dalam Cermin, Istana Impian, Singgasana Brama Kumbara, Tiga Bidadari, sampai yang paling populer: Siti Nurbaya.

Serangkaian kesuksesan di atas bahkan membuat Gusti sempat membuktikan bakat lainnya di dunia tarik suara. Sebagai penyanyi, salah satu lagunya yang paling terkenal berjudul "Ingin Kembali" ciptaan Yongky R.M.

Dunia hiburan sepintas tidak linear dengan jenjang karier yang digeluti Gusti saat ini. Namun jangan salah, justru dari lagu, film, dan sinetron pula, Gusti punya jalur masuk ke persepakbolaan nasional.

Keberadaan Gusti Randa di POFI, BFN, dan Asprov PSSI DKI Jakarta tidak terpisahkan dari perannya sebagai pendiri Selebritis FC tahun 2003. Selebritis FC merupakan klub amatir yang menjadi wadah bermain bagi sejumlah pesohor sinetron dan televisi yang gandrung dengan lapangan hijau.

Hingga kini, klub tersebut bahkan masih eksis. Gusti juga masih bersinggungan di dalamnya.

Politik dan Kontroversi

Olah raga, olah peran, dan olah suara bukan titik batas seorang Gusti Randa. Menyandang gelar Sarjana Hukum, dia beberapa kali menceburkan diri ke dunia politik.

Pada 2014, Gusti yang menyandang gelar Ketua DPP Partai Hanura sempat mencalonkan diri di Pemilu Legislatif Dapil Kalimantan Selatatan II. Sebelum masuk ke PSSI, pada 2009 Gusti juga pernah nyaleg di Dapil Sumatera Barat.

Dua kali mencalonkan diri, dua kali pula Gusti Randa kalah dalam perebutan kursi legislatif. Kekalahan ini tidak luput dari kontroversi yang kerap dihadirkan sosok Gusti sendiri.

Misalnya, seperti diwartakan Kompas, saat nyaleg tahun 2014, Gusti diketahui tidak melaporkan dana kampanye.

"Caleg artis yang tidak diketahui laporan dana kampanyenya antara lain Anang, Primus, dan Gusti Randa. Dalam laporan partai mereka masing-masing, tiga artis ini, laporan dana kampanyenya kosong," ujar Manajer Program Jaringan Pendidikan Pemillih untuk Rakyat (JPPR) Ahmad Sunanto saat itu.

Sebelum itu, pada 2006 Gusti juga sempat "bikin gaduh" dunia politik lantaran terlibat perselisihan pribadi dengan Ketua Umum PAN, Sutrisno Bachir.

Puncaknya, prahara juga menyeret Gusti saat sidang sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, 24 Juni 2009. Ketua MK saat itu, Mahfud MD, bahkan sampai mengusir Gusti untuk keluar dari persidangan lantaran melakukan penghinaan terhadap pengadilan dengan menyebut MK tidak fair.

"Kalau [Gusti Randa] mau ngomong itu, silakan di media. Jangan di ruang sidang. Bukti yang diajukannya kacau-balau sendiri. Pengacara saling lempar. Kalau ngomong ke koran boleh, tapi di depan sidang tidak boleh," keluh Mahfud usai perisitiwa itu.

Di dunia sepak bola pun, hingga detik ini, Gusti belum bisa memisahkan diri dari stigma negatif. Selain ribut-ributnya dalam dualisme PSSI, Gusti sempat menuai kritik tajam setelah setelah menjalankan tugas sebagai Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian suporter akibat kerusuhan laga Persib vs Persija tahun lalu. Banyak suporter menilai keputusan Komdis PSSI menjatuhkan sanksi berat kepada Persib tidak lepas dari kinerja tak maksimal tim yang dipimpin Gusti.

Gusti menolak tegas hal itu. Dia bilang, TPF hanya memberikan temuan dari lapangan dan tidak punya sangkut paut dengan seberapa berat sanksi yang dijatuhkan federasi.

"Bagi mereka yang tidak puas, itu wajar. Merasa tidak adil dan seterusnya, silakan banding. Yang dahulu bagaimana? Tentu pengalaman-pengalaman itu akan menjadi pembelajaran," ujarnya.

Sanksi itu akhirnya dicabut belum lama ini, namun toh itu belum meredakan ketegangan yang ada.

Gusti juga sempat membikin geleng-geleng pencinta sepak bola lantaran pernyataan kontroversialnya dalam program Mata Najwa: PSSI Bisa Apa Jilid 2. Saat itu, di tengah konteks praktik pengaturan skor yang menyeret sejumlah petinggi PSSI jadi tersangka, Gusti mengatakan tidak tahu menahu aturan FIFA yang melarang praktik match fixing.

Setelah berlalunya semua itu, dalam wawancara dengan reporter Tirto beberapa pekan lalu, Gusti malah sama sekali tidak merasa punya stigma negatif.

"Saya juga melihat. Tapi, berita-berita saya di internet lebih banyak diangkat dari para haters. Tidak ada buktinya. Jadi, apalagi di zaman sekarang, semua orang bisa menjadi wartawan dalam tanda petik. Semua orang bisa jadi produser atas konten di internet," katanya.

Baca juga artikel terkait PSSI atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mufti Sholih