Menuju konten utama

Sejarah Kadipaten Mangkunegaran Setelah Indonesia Merdeka

Keraton Mangkunegaran tak sejaya dan seberpengaruh di zaman kolonial setelah Indonesia merdeka. Statusnya sekadar simbol kultural.

Sejarah Kadipaten Mangkunegaran Setelah Indonesia Merdeka
Puro Mangkunegaran. FOTO/puromangkunegaran.com/

tirto.id - Hamidjojo Saroso harus pulang kembali ke Surakarta setelah tentara Jepang memasuki Indonesia. Latihan perwira cadangan—Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO)—yang diikutinya di Bandung tak berguna untuk menghalau tentara Nippon. Karena belum jadi perwira di Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) alias tentara Kerajaan Belanda, militer Jepang merestuinya menjadi chudancho (komandan kompi) tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA).

Waktu Jepang berkuasa, Legiun Mangkunegaran di keratonnya Mangkunegara VII—yang tak lain merupakan ayahnya—dibubarkan.

Hamidjojo Saroso tak lama berkarier di PETA karena harus menggantikan ayahnya yang menjabat sejak 1916. Menurut majalah yang diterbitkan oleh tentara Jepang Kan Po nomor 48-2604 (1944:16), Mangkunegara VII atau Raden Mas Soerjo Soeparto meninggal pada 19 Juli 1944 setelah lama sakit. Netherlands News volume 10 (edisi 27 Juli/10 Agustus 1944) mencatat Hamidjojo Saroso ditunjuk oleh militer Jepang. Saat menjabat, Hamidjojo Saroso diberi titel Kanjeng Pangeran Adipati Mangkunegara VIII.

Hamidjojo bukan anak tertua Mangkunegara VII. Anak pertamanya adalah seorang perempuan, Gusti Raden Ayu Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani atau Gusti Noeroel. Gusti Noeroel meninggal dunia pada 2015 lalu.

Pada zaman Hindia Belanda, Kadipaten Praja Mangkunegaran adalah monarki elite dan kaya raya. Ia merupakan satu dari empat kerajaan pecahan Mataram yang otonom di Jawa. Namun di zaman Jepang semua berubah. Militer Jepang bikin macet perekonomian karena memusatkan semua untuk berperang.

Kemacetan ekonomi berlanjut setelah Jepang menyerah kepada tentara sekutu dan Republik menyatakan kemerdekaan. Mangkunegara VIII mewarisi kesulitan ekonomi tersebut, sekaligus juga persoalan politik yang pelik.

Ketika Indonesia merdeka, Mangkunegara VIII mengambil sikap cepat. Lewat maklumat nomor 1 tanggal 1 September 1945, ia menyatakan bergabung dengan Republik. Isi maklumatnya sebagai berikut:

“Bahwa Kerajaan Mangkunegaran adalah sebuah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Bahwa semua urusan pemerintahan dalam Kerajaan Mangkunegaran kini ditetapkan dan dipimpin oleh Pemerintah Mangkunegaran sendiri dengan mengingat peraturan pemerintah Republik Indonesia. Bahwa perhubungan pemerintah Kerajaan Mangkunegaran dengan Pemerintah RI bersifat langsung.”

Lewat dua pejabat, Sartono dan Alex Maramis, pemerintah pusat menjamin status dan eksistensi kerajaan di sekitar Surakarta dan Yogyakarta, termasuk Mangkunegaran. Status Kadipaten Mangkunegaran berada dalam lingkup Daerah Istimewa Surakarta, setidaknya hingga Juli 1946. Wilayah Kadipaten Mangkunegaran sendiri juga meliputi Wonogiri dan Karanganyar.

Republik kala itu tampak meniru Kerajaan Belanda dalam memperlakukan keraton-keraton. Sudah jadi tradisi bahwa raja lokal mendapat pangkat hingga jenderal mayor tituler. Maksudnya, itu sekadar pangkat meski yang bersangkutan tidak menjalankan tugas layaknya tentara sungguhan. Jika pun memimpin pasukan, barangkali itu sisa-sisa Legiun Mangkunegaran yang habis masanya sejak 1942.

Lain pemerintah, lain pula sikap golongan rakyat. Kelompok antiswapraja berkeyakinan bahwa kerajaan, keraton, monarki, atau apa pun namanya selama itu bentuk kekuasaan berdasarkan pada keturunan tak patut dipertahankan di negara modern yang berasaskan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Tuntutan kelompok antiswapraja jelas: bubarkan kerajaan dan aset Mangkunegaran dan Kesunanan dimasyarakatkan atau dikuasai rakyat.

Kasunanan Surakarta yang menguasai sepertiga Solo bernasib sial. Susuhunan Pakubuwono XII diculik oposisi bernama Barisan Banteng. Alhasil, pada 30 April 1946, Pakubuwono XII membubarkan daerah swapraja.

Mangkunegara VIII tak seapes Susuhunan Pakubuwono XII yang harus mengalami penculikan. Ia lebih gigih mempertahankan pengaruh dan kuasa tradisionalnya di alam kemerdekaan. Mangkunegara VIII berjuang mempertahankan warisan leluhurnya, Raden Mas Said—yang dulu melawan Belanda hingga diakui sebagai penguasa Mangkunegara I. Misalnya, pada 1 Mei 1946, Mangkunegara VIII menerapkan Undang-Undang Dasar Kerajaan Mangkunegaran yang menetapkan Mangkunegaran sebagai daerah istimewa di bawah Presiden Republik Indonesia.

Mangkunegara VIII, menurut Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (2016:420), juga secara tidak langsung berharap bantuan dan perlindungan dari Presiden Sukarno dan pemerintah pusat yang saat itu terpaksa berkantor di Yogyakarta.

Pemerintah memang enggan memenuhi tuntutan sosialisasi aset kerajaan dari kelompok antiswapraja. Diduga, seperti kata Ben Anderson (2016:420), “awak pemerintahan tidak akan senang melihat sumber-sumber pendapatan dan patronase ini jatuh selamanya ke tangan-tangan yang berseberangan dengan mereka.” Namun itu semua tak bertahan lama.

Tentara Republik menghilang dari kota saat Solo dan sekitarnya diduduki oleh tentara Belanda setelah Desember 1948. Ketika itu, buku Republik Indonesia Djawa Tengah (1953:54) menyebutkan bahwa Kasunanan dan Mangkunegaran mengaktifkan lagi pemerintahan mereka dengan sokongan Belanda. Keputusan tersebut keliru belaka. Kerja sama dengan penjajah membuat Mangkunegaran dan Kesunanan makin tak disukai rakyat yang kebanyakan bersikap antiswapraja.

Meski dekat dengan Belanda pasca 1945, namun beberapa kerabat Kasunanan dan Mangkunegaran ada yang ikut serta dalam ketentaraan Republik.

Pemerintah akhirnya tak membiarkan Mangkunegaran dan Kesunanan terus hidup sebagai penguasa politik. Daerah Istimewa Surakarta dibekukan pada Juli 1946 dan diganti dengan Pemerintahan Karesidenan Surakarta. Setelah pengakuan kedaulatan Desember 1949, daerah ini dihapus. Hanya tersisa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang awet hingga kini.

Penguasa DIY Hamengkubuwono IX tentu jauh lebih baik nasibnya dibanding dua penguasa Surakarta, yang menurut Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008:468) “tidak berhasil memanfaatkan kesempatan untuk memainkan peranan positif dalam revolusi.”

Infografik Mangkunegaran Setelah Indonesia Merdeka

Infografik Mangkunegaran Setelah Indonesia Merdeka. tirto.id/Fuad

Mangkunegaran memang tetap ada sebagai kerajaan, namun tanpa kekuasaan layaknya pemerintah. Sementara Mangkunegara VIII dilibatkan dalam kehidupan politik, tapi hanya sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) era 1970-an. Ringkasan Riwayat Hidup dan Riwayat Perjuangan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 (1978:838) menyebut dia adalah anggota Golongan Karya (Golkar).

Mangkunegara VIII terus menjadi penguasa kultural hingga tutup usia pada 2 Agustus 1987. Penggantinya adalah Raden Mas Soedjiwo Koesoemo yang menjabat Mangkunegara IX. Dia pernah menikah dengan putri dari mendiang Sukarno, Sukmawati Sukarnoputri. Dari perkawinan itu, Mangkunegara IX dikaruniai seorang putra, yaitu Gusti Pangeran Haryo Pundrakarna Jiwo Suryonegoro.

Mangkunegara IX wafat pada 13 Agustus 2021 lalu dan penggantinya masih belum ditetapkan.

Baca juga artikel terkait MANGKUNEGARAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Rio Apinino