Menuju konten utama

Sejarah Jukebox, Leluhur Gawai Pemutar Musik dari Abad ke-19

Pada masa jayanya, jukebox jadi solusi untuk memperlambat pembajakan karya musik. Tersingkir oleh gawai yang lebih ringkas dan intim.

Sejarah Jukebox, Leluhur Gawai Pemutar Musik dari Abad ke-19
Ilustrasi Mozaik Jukebox. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada suatu hari di 1877, Thomas Alva Edison yang berumur 30 tahun tengah mengutak-atik beberapa peralatan ilmiah untuk mencari tahu bagaimana manusia melafalkan ucapan. Siapa sangka Edison kemudian justru menemukan fonograf, suatu alat untuk merekam dan mereproduksi suara secara mekanis.

Bagi Edison, fonograf bukanlah mainan. Alat temuannya itu memang bisa digunakan untuk mereproduksi musik. Kerry Segrave dalam bukunya Jukeboxes: An American Social History (2002) menyebut bahwa Edison kemudian menjual paten temuannya ini senilai $10.000. Dengan paten itu, dia bakal dapat royalti 20 persen dari hasil penjualan fonograf.

Meski laku 500 unit dengan cepat, kemampuan fonograf mereproduksi suara sebenarnya biasa-biasa saja. Ia belum benar-benar bisa diandalkan karena teknologinya belum sempurna.

Lalu, alat yang disebut-sebut sebagai versi mutakhir fonograf muncul pada 1883. Chichester A. Bell—sepupu Alexander Graham Bell—dan Charles Summer, para penciptanya, menyebut alat itu grafofon alias mesin berbicara.

Penemuan itu lantas memunculkan persaingan di antara keduanya. Edison yang tidak ingin malu mengembangkan lebih jauh fonografnya. Tidak ingin kalah, Bell dan Summer juga memacu kemampuan grafofon. Terlepas dari persaingan itu, pada akhirnya mereka sama-sama berhasil meningkatkan kualitas temuannya untuk mereproduksi musik.

Pertarungan teknologi antara fonograf dan grafofon itu rupanya dilirik seorang pebisnis bernama Louis T. Glass dan rekannya, William S. Arnold. Glass dan Arnold kemudian melahirkan alat baru yang dinamai jukebox. Cara kerja “kotak musik” itu sederhana: ia akan memutar musik jika seseorang memasukkan koin. Kira-kira mirip seperti cara penggunaan telepon umum.

Pada 23 November 1889—tepat hari ini 131 tahun silam, jukebox pertama di dunia dipasang di Palais Royale Saloon yang berlokasi di 303 Sutter Street, San Francisco, Amerika Serikat. Jukebox itu digadang sebagai perangkat pemutar musik on-demand pertama di dunia. Bahkan, ada yang menganggapnya sebagai leluhur Spotify.

Memperlambat Pembajakan

Tony Long dalam artikelnya untuk Wired menyebut bahwa sebelum jukebox lahir, pengelola restoran atau kafe biasa menyewa pemain piano untuk memanjakan orang-orang yang datang. Setelah jukebox lahir, pengunjung restoran tinggal memasukkan koin ke jukebox yang seukuran kulkas satu pintu dan musik kesukaan mereka pun akan diputar.

Jukebox versi awal sanggup memainkan hingga 12 lagu berbeda. Dengan adanya jukebox, pemilik restoran bisa mengurangi pengeluaran untuk menyewa pemain piano atau band lengkap. Karena kepraktisan itu, jukebox pun dengan cepat jadi populer.

“Alat itu menjadi sensasi dalam semalam. Popularitasnya lantas menyebar ke seluruh dunia,” tulis Tony Long.

Dalam pemberitaan The New York Times dari medio Juli 1982, jukebox mengalami masa jaya pada dekade 1950-an. Saat itu, paling tidak ada 700.000 jukebox yang tersebar di seluruh Amerika.

Paul Goldstein dalam bukunya Copyright's Highway: From Gutenberg to the Celestial Jukebox menyebut bahwa jukebox merupakan salah satu solusi untuk masalah distribusi musik yang berkaitan dengan copyright.

Goldstein mendefinisikan copyright secara sederhana sebagai, "hak pemilik karya untuk men-copy (menyalin, memperbanyak) ciptaannya dan hak untuk melarang yang bukan pemilik untuk men-copy." Dalam definisi lain, copyright merupakan, “hak untuk mengomersialkan suatu karya cipta."

Pada abad ke-19, suatu karya musik sukar dilindungi copyright dan sangat mudah dibajak. Sebab, sukar sekali mendeteksi lagu apa yang sedang dimainkan oleh pemain piano, band, atau kelompok orkes. Keberadaan jukebox mengatasi masalah ini. Untuk pertama kalinya, karya musik bisa dikomersialkan selain melalui vinyl dan siara radio. Karya musik pun jadi lebih sukar dibajak.

Menurut Goldstein, industri musik sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh berniat melawan pembajakan. Alasannya sesederhana karena pembajakan memang sukar dilawan. Tapi, industri musik bisa mempersulit pembajakan.

“Analoginya seperti cara kerja gundukan polisi tidur. Anda tidak memasang gundukan polisi tidur untuk mencegah pengendara melewati jalanan, kan? Gundukan hanya sebatas membuat mereka melambat. Industri musik menciptakan sebuah gundukan yang akan membuat frustrasi orang yang ingin menyalin secara ilegal," kata Profesor Edward William Felten dari Princeton University yang diwawancarai Goldstein.

Jukebox adalah “gundukan” yang dibuat industri musik tersebut. Tidak hanya itu, jukebox sekaligus membuat masyarakat mudah mengakses musik. Jika akses lebih mudah, konsumen tidak perlu repot-repot cari yang ilegal.

Robert Burnett dalam bukunya The Global Jukebox: The International Music Industry menyatakan bahwa jukebox tak ubahnya medium promosi bagi industri musik. Burnett juga menganggap jukebox merupakan salah satu tonggak penting lahirnya "industri budaya". Ia membuat masyarakat lebih mudah mendengarkan musik, alih-alih melalui radio atau vinyl yang harganya jauh lebih mahal.

Infografik Mozaik Jukebox

Infografik Mozaik Jukebox. tirto.id/Sabit

Tergantikan

Meski sempat jadi terobosan penting pada masanya, tak bisa dipungkiri, jukebox semakin usang seiring perkembangan teknologi. Terlebih, harga radio semakin murah seiring waktu. Ia semakin tersingkir kala kaset dan CD menginvasi dunia.

Usai menikmati masa jaya pada dekade 1950-an, penggunaan jukebox mulai menurun pada dekade berikutnya. Pada dekade 1980-an, jumlah unit jukebox yang beroperasi di seantero Amerika menyusut hingga sekitar 300.000 unit.

Meski kini tinggal kenangan, semangat komersialisasi musik ala jukebox masih terasa. Seturut Goldstein, semenjak 1995, muncul konsep calestial jukebox dalam distribusi musik. Cara kerjanya adalah mendistribusikan musik melalui satelit yang mengangkasa di atas Bumi. Satelit itu akan "menembakkan" musik pada perangkat khusus yang dimiliki masyarakat, seperti komputer. Konsep ini sesungguhnya mirip dengan Spotify kini.

Namun, perlu diingat, penikmat jukebox menyusut tidak hanya karena teknologi berkembang, tapi juga karena cara masyarakat menikmati musik berubah. Awalnya, musik dinikmati secara komunal, seperti melalui konser. Perlahan, musik akhirnya dinikmati secara individual dan lebih intim.

Maka itu, muncullah perangkat pemutar musik ringkas, seperti walkman. Kelahiran walkman dimulai tatkala Co-Founder Sony Ibuka Masaru yang sering membawa perangkat TC-D5 kala melakukan perjalanan bisnis. TC-D5 adalah alat perekam sekaligus pemutar kaset buatan Sony yang dijual ke pasaran pada 1978.

TC-D5 diproduksi bagi kalangan profesional, terutama jurnalis atau sekretaris, untuk merekam perbincangan bisnis. Sementara itu, TC-D5 menjadi terlalu merepotkan bagi orang awam karena ukurannya yang cukup besar.

Di luar keperluan bisnis, Ibuka sering menggunakan TC-D5 untuk memutar musik. Tapi, dia sering merasa kurang nyaman karena perangkat itu tidak ringkas. Dia lantas meminta Ohga Norio, bawahannya di Sony, untuk menciptakan versi portabel dari TC-D5. Ohga lalu melucuti fungsi perekaman pada TC-D5.

Pada 1 Juli 1979, Sony merilis pemutar kaset portabel TPS-L2 yang memiliki dua buah lubang jack 3,5 mm untuk menghubungkannya pada headphone atau earphone. Perangkat berbentuk kotak rancangan Kihara Nobutoshi itulah yang disebut walkman. Di luar Jepang, seperti Amerika, ia dinamai sound-about.

Kehadiran walkman membuat pola mendengarkan musik di masyarakat berubah. Musik tidak lagi hanya didengarkan di konser, radio, atau perangkat audio lain yang memutarnya keras-keras, tapi langsung melekat pada telinga manusia. Sangat intim.

Pada 1986, kata “walkman” masuk ke dalam Oxford English Dictionary. Rebecca Tuhus-Dubrow dalam bukunya Personal Stereo mengatakan secara tersirat bahwa walkman telah menjadi kata generik: alat pemutar kaset portabel dengan headphone.

Baca juga artikel terkait JUKEBOX atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi