Menuju konten utama

Sejarah Jugun Ianfu pada Masa Penjajahan Jepang di Indonesia

Sejarah jugun ianfu di Indonesia saat masa penjajahan Jepang.

Sejarah Jugun Ianfu pada Masa Penjajahan Jepang di Indonesia
Ilustrasi Jugun ianfu. Foto/crazydreamer.blog.uns.ac.id

tirto.id - Istilah jugun ianfu merujuk pada perbudakan seks pada masa penjajahan Jepang saat Perang Dunia Kedua. Jepang mengumpulkan perempuan-perempuan dari wilayah jajahan untuk memaksa mereka menjadi jugun ianfu.

Mengutip penelitian berjudul Sejarah Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang di Asia, Jepang sudah mengenal istilah geisha dan karayuki-san, yang sama-sama berarti perempuan penghibur.

Berbeda dengan jugun ianfu, secara literatur, geisha merupakan gambaran perempuan penghibur sekaligus seniman. Mereka tidak hanya memuaskan secara seksual, tetapi juga menghibur dengan menyanyi, melukis, dan kegiatan seni lainnya.

Jugun ianfu merupakan salah satu sistem yang dibuat Pemerintahan Jepang untuk mengatur tentaranya agar mendapat hiburan yang layak, sehingga meningkatkan moral dan kinerja.

Pemerintah Jepang juga berharap, jugun ianfu bisa mengendalikan penyebaran penyakit kelamin di antara para tentara Jepang dan meminimalisir izin istirahat.

Untuk mendukung rencana itu, pemerintah Jepang membangun pusat-pusat hiburan dan menempatkan jugun ianfu di sana. Pusat hiburan ini hampir ada di semua wilayah jajahan Jepang.

Jugun Ianfu di Indonesia

Dari penelitian Upaya Masyarakat Indonesia dalam Memperjuangkan Keadilan Jugun Ianfu Tahun 1997-1997 Universitas Jember, pemerintah Jepang sudah menerapkan praktik jugun ianfu di seluruh kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia pada 1942-1945.

Pada masa itu, Indonesia dalam kondisi yang sangat miskin, hingga masyarakat sulit makan. Awal penjajahan Jepang di Indonesia, kehidupan para jugun ianfu sebenarnya sudah terjamin, mulai dari makanan bergizi, obat-obatan, dan lain-lain.

Pada 1943, persediaan makanan menurun dan menyebabkan pemerintah Jepang melakukan penjatahan yang cukup ketat untuk jugun ianfu Indonesia. Hal ini mengakibatkan penyiksaan terhadap para jugun ianfu, baik secara fisik maupun psikologis.

Diperkirakan ada lebih dari 40 rumah hiburan yang didirikan oleh Jepang di Indonesia, dan perempuan jugun ianfu Indonesia ini dikumpulkan dengan penjagaan militer yang cukup ketat.

Para jugun ianfu harus menunggu tamu dan dipaksa menjadi budak seks. Meski melayani hampir setiap hari, para jugun ianfu tidak pernah dibayar. Banyak tamu yang memperlakukan jugun ianfu dengan kasar dan tidak manusiawi.

Banyak jugun ianfu yang akhirnya sakit baik secara fisik maupun mental. Mereka harus melakukan pemeriksaan rutin di rumah sakit dan menjalani pengobatan. Jika ada jugun ianfu yang hamil, maka mereka harus menggugurkan kandungannya.

Pada 1945, seusai Jepang angkat kaki dari Indonesia, mereka melepaskan para jugun ianfu. Ada beberapa yang dikembalikan ke wilayah asalnya masing-masing, namun tidak sedikit pula yang berada jauh dari tempat asal mereka.

Jugun ianfu ditelantarkan dalam keadaan menyedihkan. Terdapat beberapa catatan, yang merangkum banyaknya masalah yang dirasakan oleh para jugun ianfu, yang dikemukakan oleh Eka Hindra dan Koichi Kimura:

1. Jugun ianfu, memiliki kesehatan yang benar-benar buruk. Hal itu terjadi karena adanya kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang mereka alami. Sebagian jugun ianfu juga meninggal karena tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai.

2. Trauma berat akibat perbudakan seks yang dilakukan oleh Jepang, yang harus mereka jalani pada usia yang masih benar-benar muda.

3. Adanya tekanan sosial karena masyarakat menganggap mereka bekas pelacur.

4. Tertekan secara psikis.

5. Sebagian besar perempuan jugun ianfu hidup dalam kondisi miskin, karena ditolak bekerja dengan alasan bekas pelacur.

Baca juga artikel terkait JUGUN IANFU atau tulisan lainnya dari Marhamah Ika Putri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Marhamah Ika Putri
Penulis: Marhamah Ika Putri
Editor: Dipna Videlia Putsanra