Menuju konten utama

Sejarah Isi Perjanjian Hudaibiyah serta Latar Belakang & Hikmahnya

Berikut ini isi perjanjian Hudaibiyah, sejarah latar belakang perjanjian Hudaibiyah, hingga dampak dan hikmahnya.

Sejarah Isi Perjanjian Hudaibiyah serta Latar Belakang & Hikmahnya
Ilustrasi musafir timur tengah. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Isi perjanjian Hudaibiyah disepakati oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy Makkah pada bulan Dzulqa'dah, tahun ke-6 Hijriyah, atau sekitar bulan Maret 628 M. Salah satu poin isi perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum Quraisy selama 10 tahun.

Poin itulah yang kemudian dilanggar oleh kaum Quraisy, saat sekutu mereka Kabilah Bani Bakr menyerang Kabilah Khuza’ah yang beraliansi dengan umat Islam. Pelanggaran tersebut memicu peristiwa akbar dalam sejarah Islam di masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW, yakni Fathul Makkah.

Menyitir catatan Mahdi Rizqullah Ahmad, dalam terjemahan karyanya, Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik (2017:631), Hudaibiyah sebenarnya nama sebuah sumber air. Lokasi Hudaibiyah berjarak sekitar 22 km arah barat laut dari Kota Makkah. Di sekitar sumber air itu, tumbuh banyak taman dan berdiri masjid bernama Ar-Ridhwan.

Persitiwa terbentuknya Perjanjian Hudaibiyah terjadi setelah meletup rentetan bentrok militer antara umat Islam dengan kaum Quraisy, termasuk perang Badar, Uhud, hingga Khandaq. Sebelum perjanjian itu diteken, hubungan Madinah-Makkah dalam situasi menegangkan sehigga kedua kubu saling bersiaga.

Latar Belakang Perjanjian Hudaibiyah

Rangkaian peristiwa yang berujung pada perjanjian Hudaibiyah berawal dari mimpi Rasulullah SAW pada tahun ke-6 setelah beliau hijrah ke Madinah. Dalam mimpinya itu, Rasulullah SAW bersama para sahabat memasuki Makkah dengan aman, menginjakkan kaki di Masjidil Haram, mengambil kunci Ka'bah, dan melaksanakan ibadah umrah.

Rasulullah SAW lantas menceritakan mimpi itu kepada para sahabatnya. Nabi Muhammad SAW pun bilang ke para sahabat soal rencananya menunaikan ibadah umrah ke Makkah. Para sahabat setuju dan segera bersiap melakoni perjalanan yang penuh risiko itu.

Maka itu, pada awal bulan Dzulqa'dah tahun ke 6 Hijriyah, Rasulullah SAW bersama 1500-an sahabat berangkat ke Makkah. Adapun kepemimpinan di Madinah dipasrahkan untuk sementara kepada Abdullah bin Ummi Maktum.

Menyitir catatan Amin Iskandar dalam "Hikmah di Balik Perjanjian Hudaibiyah" yang termuat di Jurnal Studi Hadis Nusantara (Vol. 1, No. 1, 2019), Nabi Muhammad dan semua sahabatnya yang berangkat ke Makkah sama sekali tidak membawa senjata, kecuali pedang dan sarungnya sebagaimana para musafir di masa itu.

Dalam rombongan Rasulullah SAW, juga ada puluhan unta dengan tanda di lambung kanannya sebagai petunjuk bahwa hewan-hewan itu untuk kurban, bukan kendaraan perang. Pesan terang benderang ditunjukkan Rasulullah SAW bahwa kedatangannya ke Makkah bukan untuk bertempur dengan kaum Qurays.

Bahkan saat sampai di tempat bernama Dzul Hulaifah, Rasulullah SAW meminta para sahabatnya segera memakai pakain ihram, berniat melaksanakan umrah, dan membaca talbiah sepanjang perjalanan.

Meskipun begitu, kaum Qurays di Makkah tetap curiga dan bahkan berusaha menghalangi rombongan Rasulullah SAW agar tidak bisa masuk ke Kota Makkah. Mereka pun sempat mengirim pasukan di bawah pimpinan Khalid bin Walid untuk melakukan pengadangan, tapi Rasulullah SAW memutuskan untuk melewati jalur berbeda agar tidak terjadi konfrontasi.

Peristiwa itu, seperti dikutip dari buku SKI (Kemenag, 2019), terjadi beberapa bulan setelah berlangsung perang Khandaq yang terjadi pada tahun ke-5 Hijriyah. Artinya, situasi tegang antara kedua kubu belum mereda. Banyak kaum Qurays menganggap kedatangan Rasulullah SAW sebagai serbuan mendadak, meski ada sinyal jelas bahwa rombongan dari Madinah berniat menjalankan ibadah.

Sementara itu, di tengah perjalanan menuju Makkah, Rasulullah SAW meminta rombongannya untuk berhenti dan berkemah di sebuah lembah yang lantas jadi lokasi perundingan Hudaibiyah. Di tempat itu pula, Nabi Muhammad SAW menerima beberapa utusan dari kaum Qurays.

Utusan-utusan itu dikirim oleh kaum Qurays untuk mengonfimasi maksud rombongan Rasulullah SAW datang ke Kota Makkah. Ada 4 utusan yang dikirim secara bergilir oleh kaum Qurays, yaitu Badil bin Warqa (Bani Khuzaah), Makraz bin Haf, Hulais (Kabilah Ahabsy), Urwah bin Mas’ud as-Saqaf. Namun, kaum Qurays masih tidak percaya bahwa rombongan Nabi Muhammad SAW datang ke Makkah untuk umrah.

Karena itu, Rasulullah SAW kemudian mengutus Khurasy bin Umayyah al-Khuza’i untuk menegaskan keterangan ke kaum Qurays bahwa tidak ada niat perang. Akan tetapi, unta yang dikendarai Khurasy dibunuh dan ia sendiri nyaris kehilangan nyawa.

Setelah insiden tersebut, dikutip dari situs Kemenag, Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan pesan kepada kaum Qurays terkait niat rombongan dari Madinah yang hendak melaksanakan umrah. Utsman jadi pilihan, terutama karena dia dikenal memiliki sikap yang lunak dan banyak kerabat berpengaruh di kalangan kaum Qurays Makkah.

Ketika tiba di Makkah, Utsman segera menemui perundingan yang alot. Sekalipun banyak pembesar kaum Qurays, seperti Abu Sufyan, adalah kerabat Utsman, izin bagi rombongan Rasulullah SAW untuk masuk Makkah tetap tidak diberikan. Akibat perundingan yang alot itu, Utsman terpaksa tinggal lebih lama di Makkah dari rencana semula.

Di tengah situasi yang demikian meresahkan para sahabat, tersiar isu bahwa Utsman dibunuh oleh kaum Quraisy. Mendengar kabar itu, Rasulullah SAW segera memerintahkan para sahabat untuk berkumpul dan menyampaikan sumpah setia, bahwa mereka tidak akan pulang sebelum memerangi kaum Qurays.

Maka, seluruh sahabat kemudian berikrar akan memerangi kaum Qurays. Usai baiat itu berlangsung, Utsman baru datang kembali dari Makkah, dan segera ikut berbaiat. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Bai’at ar-Ridwan itu diabadikan dalam firman Allah SWT QS Al-Fath ayat 48.

Menyadari situasi semakin genting, Kaum Quraisy mengutus Suhail bin Amr untuk membahas perjanjian damai dengan Rasulullah SAW. Perundingan Suhail dengan Nabi Muhammad yang disaksikan oleh para sahabat tersebut berlangsung lama. Apalagi, Suhail ngotot menyodorkan poin yang tidak bisa ditawar, seperti rombongan Rasulullah SAW harus kembali ke Madinah, dan baru boleh datang ke Makkah untuk umrah pada tahun berikutnya.

Akhirnya, dalam perundingan tersebut, muncul kesepakatan yang disebut dengan Perjanjian Hudaibiyah.

Isi Perjanjian Hudaibiyah

Sebenarnya, banyak sahabat yang keberatan dengan sejumlah poin dalam Perjanjian Hudaibiyah. Meski demikian, Rasulullah SAW berbesar hati untuk menyetujuinya, demi tercipta perdamaian.

Bahkan, mengutip buku SKI (Kemenag, 2014), Rasulullah SAW tidak menolak saat Suhail meminta teks perjanjian Hudaibiyah tidak diawali kata Bismillaahirrahmanirrahiim, melainkan Bismika Allahumma (atas nama ya Allah).

Suhail juga menolak pencantuman nama "Muhammad Rasulullah" dan memintanya dengan diganti Muhammad bin Abdullah. Usul yang terakhir ini juga diterima oleh Rasulullah SAW, sekalipun banyak sahabat keberatan.

Dikutip dari buku SKI (Kemenag, 2014), isi perjanjian Hudaibiyah adalah sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun

2. Setiap orang diberi kebebasan bergabung dan mengadakan perjanjian dengan Nabi Muhammad, atau dengan Kaum Quraisy.

3. Setiap orang Quraisy yang menyeberang ke kubu Nabi Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan, sedangkan jika pengikut Nabi Muhammad bergabung dengan Quraisy tidak dikembalikan.

4. Nabi Muhammad dan sahabatnya harus kembali ke Madinah dan tidak boleh masuk Makkah, dengan ketentuan bisa kembali pada tahun berikutnya. Mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama 3 hari di Makkah dan tidak dibenarkan membawa senjata kecuali pedang tersarung.

Hikmah Perjanjian Hudaibiyah

Awalnya sempat timbul kekhawatiran di kalangan para sahabat mengenai perjanjian Hudaibiyah. Mereka mengira perjanjian ini hanya menguntungkan kaum Quraisy dan merugikan umat Islam.

Namun, Rasulullah SAW menyikapi perjanjian ini dengan arif. Nabi Muhammad memanfaatkan situasi aman dan damai setelah perjanjian Hudaibiyah untuk semakin memperluas dakwah Islam.

Duta-duta Islam dikirim ke negara tetangga untuk mengajak mereka mengikuti seruan Nabi Muhammad. Ajakan itu diterima oleh beberapa penguasa negeri tetangga, meski ditolak oleh sebagian lainnya. Jumlah umat Islam pun segera bertambah banyak setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati.

Setidaknya ada 2 hikmah di balik perjanjian Hudaibiyah.

Pertama, pemerintahan Islam di Madinah mendapatkan legitimasi. Perjanjian Hudabiyah secara tidak langsung mengakui status Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat Islam dan Kota Madinah. Artinya, perjanjian itu mencerminkan pengakuan kaum Qurays terhadap pemerintahan Islam di Madinah.

Kedua, salah satu kesepakatan di perjanjian Hudaibiyah adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Kesepakatan ini memberi peluang kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya untuk makin memperluas dakwah Islam tanpa harus disibukkan dengan urusan perang.

Baca juga artikel terkait SEJARAH ISLAM atau tulisan lainnya dari Nurul Azizah

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Nurul Azizah
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Addi M Idhom