Menuju konten utama

Sejarah Intelkam Polri dan Peran Oemargatab Bapaknya Indro Warkop

Oemargatab dianggap sebagai kepala intelijen kepolisian yang pertama. Ada arsip yang menuduhnya pernah jadi kaki-tangan Belanda.

Sejarah Intelkam Polri dan Peran Oemargatab Bapaknya Indro Warkop
Lambang Intelkam.

tirto.id - Ketika Jepang masuk ke Indonesia, para polisi yang dulu bekerja kepada pemerintah kolonial Belanda tetap dipekerjakan. Begitupun pada masa Revolusi ketika Belanda menduduki suatu daerah, polisi-polisi yang dulu bekerja pada Republik tetap dipekerjakan. Dalam sejarah, itu memang hal yang biasa.

Di manapun, pegawai negeri, seperti juga polisi, harus tunduk kepada pemerintah yang berkuasa. Siapa pun pemerintahnya, seorang polisi tetap bertugas menjaga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Tak terkecuali seorang polisi bernama Oemargatab.

Setelah Indonesia merdeka, Oemargatab adalah polisi yang sudah berpengalaman. Majalah Kan Po terbitan 1943 menyebut, pada zaman Jepang, Oemargatab berpangkat inspektur dan bertugas di daerah Banyumas.

Oemargatab Kepala Bagian PAM

Entah ada berapa perwira polisi bernama Oemargatab di daerah Banyumas. Namun, Oemargatab yang banyak disebut dalam arsip-arsip periode Revolusi merujuk kepada seorang polisi berpangkat komisaris kelas satu yang memimpin bagian intelijen khusus di kepolisian.

Sekitar 1948, Raden Moehammad Oemargatab sudah menjadi Kepala Bagian Pengawas Aliran Masyarakat (PAM), yang berkedudukan di ibu kota Yogyakarta. Dalam artikel berjudul "Intelijen Negara dan Intelijen Keamanan" yang termuat di buku Negara, Intel, dan Ketakutan (2006: 71), Muradi menyebut Oemargatab sebagai pemimpin pertama PAM.

Menurut buku 20 Tahun Perkembangan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (1967), PAM didirikan untuk menggantikan Polisi Bagian Politik. “[PAM] mempunyai tugas mengawasi aliran-aliran yang membahayakan negara dan bekerjasama dengan masyarakat,” catat buku itu (hlm. 242).

Tentu saja pihak Republik Indonesia tak ingin menyamakan PAM dengan polisi politik di zaman kolonial, Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Meski dulunya PID juga mengawasi aliran kaum pergerakan yang dianggap membahayakan pemerintah Hindia Belanda.

"[PAM] bukanlah PID berbaju baru seperti apa yang pernah dituduhkan oleh golongan yang tiada mengerti akan kedudukan bahagian ini,” tulis buku Republik Indonesia, Volume 5 (1957) yang disusun Kementerian Penerangan (hlm. 244).

Diakui atau tidak, nyatanya PID dan PAM sama-sama bertugas mengintai golongan yang membahayakan pemerintah.

Beberapa bulan sebelum pecah Peristiwa Madiun, Oemargatab, selaku kepala bagian PAM, sudah mencium adanya pertentangan antara sayap kiri dengan sayap kanan di awal 1948. Ada kekhawatiran dari Oemargatab soal perseteruan itu.

“Pihak musuh akan mempergunakan kekeruhan-kekeruhan di dalam negeri, untuk melakukan siasat pengacauan atau penyerbuan yang akan menguntungkan mereka,” tulis Oemargatab, seperti tercantum dalam "Arsip Djogja Documenten nomor 334: Laporan Djawatan Kepolisian Indonesia Bagian PAM Perihal Bahaya Perang Saudara 27 Februari 1948".

Tak hanya terkait Peristiwa Madiun, PAM juga turut serta dalam penanggulangan gerakan separatis di Indonesia lainnya. Pada laporan-laporan kepada pemerintah tentang gerakan separatis seperti APRA Westerling, ada tanda tangan Oemargatab di dalamnya.

Dari PAM ke Intelkam

Pada 1951, PAM bersalin nama menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah No. Pol: 4/2/28/UM tanggal 13 Maret 1951. “Keselamatan negara di sini juga keselamatan bangsa yang tidak menyinggung aliran-aliran masyarakat,” tulis buku 20 Tahun Perkembangan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (hlm. 243).

Oemargatab tetap memimpin badan di bawah kepolisian tersebut. Seperti PAM, DPKN juga memantau gerakan-gerakan yang dianggap membahayakan negara yang berkembang pada 1950-an.

Sebagai orang penting di intelijen kepolisian, seperti dicatat Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007), Oemargatab termasuk anggota penting Badan Koordinasi Intelejen (BKI) ketika dibentuk pada 5 Desember 1958. Ia bertindak sebagai wakil kepolisian di lembaga itu (hlm. 19).

Oemargatab tak menjabat kepala DPKN lagi ketika Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo lengser sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia pada 1959. Menurut Muradi, “Pergantian ini juga bernuansa sangat politis.”

DPKN kemudian bersalin nama. Buku 20 Tahun Perkembangan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (1967) menyebut, lembaga ini berubah menjadi Korps Polisi Security pada 1961, lalu menjadi Korps Intelidjen di tahun 1962. Pada 1964, namanya berubah lagi menjadi Direktorat Intelidjen dan Security (hlm. 244). Di masa itu, Angkatan Kepolisian Republik Indonesia termasuk dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namanya kemudian diganti lagi menjadi Direktorat Intelijen dan Keamanan.

Sekitar 2002, ketika Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) berubah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN), Direktorat Intelijen dan Keamanan Polri berganti pula menjadi Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam). Tapi namanya tetap dikenal sebagai Intelkam.

Pernah Jadi Antek Belanda?

Sikut-sikutan antar birokrat sudah biasa terjadi. Saling lapor keburukan antar rekan sekerja atau antar lembaga sudah ada di masa Revolusi. Ada sebuah arsip yang isinya cukup memojokkan Oemargatab, yaitu "Arsip Kepolisian Negara nomor: 85 Laporan Tanggal 29 September 1947, 13 November 1948 tentang Oemargatab Kepala kepolisian Banyumas" (koleksi ANRI). Disebutkan dalam arsip itu bahwa Markas Besar Polisi Tentara Laut (MBPTL) menuduh “Raden Oemargatab, ketika zaman Belanda menjabat sebagai Asisten Wedana PID.”

Bagi kaum pergerakan, PID adalah momok tersendiri. Lembaga ini sangat represif dan getol memata-matai aktivitas politik mereka. Karena itu, ketika Indonesia merdeka, apa saja yang berkaitan dengan PID selalu dinilai negatif. PID memang sudah digantikan badan lain bernama Algemeene Recherche Dienst (ARD), tapi para pengintai kaum pergerakan nasional itu tetap saja disebut PID.

Jika pun benar Oemargatab adalah anggota PID, maka dia bukan satu-satunya. Anak tokoh emansipasi perempuan Indonesia, R.A. Kartini, yang bernama Soesalit, menurut Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi (1982: 406) juga pernah menjadi mantri PID.

Bila menjadi anggota PID di zaman kolonial adalah hal yang biasa saja, maka MBPTL juga menuduh bahwa Oemargatab pernah bekerjasama dengan Belanda. Laporan tanggal 29 September 1947 itu menyebut: “Di Jalan Pakuningratan (Yogyakarta), kemarin, hari Minggu tanggal 28 September 1947, lebih kurang jam 12 siang, dapat diketahui seorang yang bernama: Oemargatab, Kepala Jawatan Polisi Purwokerto, Daerah Banyumas, yang terhadap dirinya telah diterimanya laporan, bahwa sejak masuknya Belanda di Purwokerto menjadi kaki-tangannya (Belanda).”

Menurut laporan itu, Oemargatab terlihat membawa mobil “Tjap Bintang”, warna abu-abu dengan 5 kursi penumpang, melaju ke arah Magelang. "Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 1756: Laporan Kementerian Pertahanan Bagian B tanpa tanggal tentang kegiatan rahasia Belanda" menyebut juga soal para polisi di daerah Banyumas yang telah bekerja untuk Belanda.

Lepas dari benar atau tidaknya laporan-laporan tersebut, nyatanya Oemargatab yang berasal dari daerah Banyumas ini sudah bekerja secara baik dengan melaporkan bahaya-bahaya dalam masyarakat yang bisa menghancurkan negara.

Infografik Sejarah nama Intelkam

Muka Komandan Brimob di Patung Gajah Mada

M. Jasin punya kisah lucu soal hubungan Oemargatab dengan patung di depan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam autobiografinya, Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang (2011), Jasin menyebut pada 1959 Oemargatab pernah ditugasi mencari pematung untuk membuat patung Gajah Mada di depan markas besar kepolisian.

Karena tak seorang pun di dunia ini yang punya foto Gajah Mada, maka Oemargatab pun diam-diam meminta foto Jasin yang waktu itu menjabat Komandan Brigade Mobil. Foto itu lalu diberikan ke pematung. Jadilah patung Gajah Mada itu mirip Jasin. Setelah patung tersebut diresmikan pada Hari Ulang Tahun Polisi 1 Juli 1959, Oemargatab memohon maaf kepada Jasin dan meminta Jasin merahasiakannya.

Lama setelah kejadian itu, Oemargatab pensiun sebagai perwira polisi dengan pangkat terakhir inspektur jenderal.

Menurut Rudi Badil dalam Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main (2010), rumah Oemargatab berada di sebelah studio Radio Prambors yang terkenal sebagai radionya kaum muda ibu kota (hlm. 28). Anak tunggal Oemargatab dari perkawinannya dengan Soeselia Kartanegara termasuk juga dalam lingkaran Prambors. Anak itu bernama Mahatkarta Indrodjojo Kusumonegoro, yang kita semua kenal sebagai Indro Warkop DKI.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan