Menuju konten utama

Sejarah Peristiwa Amul Huzni, Kisah Tahun Duka Nabi Muhammad

Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad saw. beberapa kali mengalami masa-masa duka. Salah satunya periode yang disebut amul huzni. Baca kisah selengkapnya di sini.

Sejarah Peristiwa Amul Huzni, Kisah Tahun Duka Nabi Muhammad
Ilustasi Muhammad. foto/IStockphoto

tirto.id - Khadijah binti Khuwailid merupakan salah satu sosok berpengaruh dalam kehidupan Nabi Muhammad saw. Sebelum didapuk sebagai rasul, Muhammad lebih dulu menikah dengan Khadijah, tepatnya pada usia 25 tahun.

Khadijah terbilang sebagai sosok pendamping hidup yang ideal bagi Muhammad. Salah satunya terlihat dalam peristiwa pewahyuan Al-Qur'an, yakni ketika Muhammad berusia 40 tahun.

Setelah dinampakkan ke hadapannya sosok malaikat Allah Swt. yang membawakan wahyu berupa Al-Qur'an, Muhammad pulang dengan debaran hati. Jantungnya berdenyut kencang, ketakutan. Kemudian, ia meminta kepada sang istri, "Selimuti aku!"

Sembari menyelimuti suaminya, Khadijah berusaha meneguhkan hati Muhammad. Ia meyakinkan suaminya bahwa kepercayaan telah diberikan Allah Swt. kepadanya untuk menjadi rasul.

Sosok lain yang tak kalah berjasa dalam hidup Nabi Muhammad ialah Abu Thalib, pamannya. Ia merupakan pengganti orang tua bagi Muhammad.

Sejak usia 6 tahun, Muhammad hidup tanpa ayah dan ibu. Hanya Abdul Muthalib, sang kakek, yang menemaninya. Sayangnya, dua tahun kemudian, kakek tercintanya itu juga dipanggil oleh Allah Swt. Mulai saat itulah Muhammad hidup dan besar dengan asuhan Abu Thalib.

Setelah Muhammad mengumumkan kenabiannya pada usia 40, Abu Thalib mendapatkan banyak tekanan dari kaum Quraisy. Namun, hal itu tidak melunturkan dukungannya kepada sang keponakan.

Tekanan dari kaum kafir Quraisy terus berlanjut hingga tahun ke-10 kenabian Muhammad. Di sisi lain, duka kembali menerpa kehidupan pribadi Nabi Muhammad saw., melalui peristiwa amul huzni. Lantas, apa itu amul huzni?

Arti Amul Huzni

Amul huzni artinya tahun kesedihan atau tahun duka. Istilah tersebut berasal dari bahasa Arab, 'amul (عام ال) 'tahun' dan huzni (حزن) 'kesedihan'.

Istilah amul huzni merujuk pada periode setahun ketika Nabi Muhammad dirundung kesedihan. Jika disesuaikan konteksnya, amul huzni adalah peristiwa wafatnya dua orang yang sangat berpengaruh dalam hidup Rasulullah saw., yakni istri pertama bernama Khadijah, serta pamannya yang bernama Abu Thalib.

Sebelumnya, pada masa pra-kenabian, Muhammad sejatinya telah beberapa kali mengalami duka. Beberapa di antaranya ketika ia ditinggal oleh ayah, ibu, dan kakeknya. Namun, ketika itu, usianya masih sangat kecil.

Sementara itu, peristiwa amul huzni menimpa Nabi Muhammad pada usia paruh baya. Peristiwa amul huzni terjadi pada tahun ke-10 kenabian Muhammad saw., sekitar 619 Masehi (M).

Peristiwa Amul Huzni

Sebelum peristiwa amul huzni, Nabi Muhammad dan kaum muslim secara umum di Makkah telah mengalami masa-masa sulit.

Sekitar tujuh tahun setelah Muhammad diutus sebagai nabi sekaligus rasul, dengan semakin bertambahnya kaum muslim, pihak Quraisy mengambil langkah ekstrem. Demi mengadangi dakwah Islam, mereka membentuk kesepakatan tertulis yang dituangkan dalam piagam yang digantung di Ka'bah.

Isi piagam tersebut ialah perintah pemboikotan total terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Dua kelompok tersebut dilarang menggelar pernikahan dan mengadakan jual beli dalam bentuk apa pun di wilayah Kota Makkah.

Itu menjadi tahun-tahun yang berat bagi umat Islam. Nabi Muhammad saw., keluarga, dan para sahabat, mengungsi ke celah-celah gunung di luar Kota Makkah. Mereka kesulitan mendapatkan bahan makanan. Kaum muslim sama sekali tidak berkesempatan bergaul dengan orang lain, kecuali pada bulan-bulan suci, kala semua permusuhan diredakan.

Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, sejak sekitar 616 hingga 619 M. Umat Islam, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, tetap mampu bertahan hidup. Ikatan persaudaraan yang mereka bangun semakin kukuh. Hal ini membuat kabilah lain terkesan.

Sejumlah kabilah, seperti Hisyam bin Amr, Zuhair bin Umayyah (suku Makhzum), Muth'im bin Adi' (Bani Nafwal), Abu al-Bakhtari (suku Asad), dan Zam'ah bin al-Aswad (suku Asad), mencoba membujuk kaum Quraisy untuk mencabut boikot.

Upaya ini sempat mendapatkan tentangan Abu Jahal. Namun, ketika Muth'im masuk Ka'bah, ia menemukan piagam boikot yang sudah dimakan rayap kecuali bagian "Dengan nama-Mu Ya Allah". Abu Jahal akhirnya menyadari bahwa ia tidak dapat lagi memaksakan boikot. Ia pun menyerah.

Namun, kenyataannya, masa-masa sulit tidak berhenti di situ. Menurut catatan Martin Lings dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2015: 178), pada 619 M, tidak lama setelah pencabutan boikot, Nabi Muhammad mengalami amul huzni. Ia terpaksa harus melepaskan kepergian sang istri, Khadijah bin Khuwailid, yang dipanggil Allah Swt. Sudah 25 tahun lamanya Nabi hidup bersama Khadijah.

Ketika empat putri Rasulullah, dari Zainab hingga Fatimah, berduka, Nabi mencoba menenangkan. Beliau menjelaskan kepada mereka, malaikat Jibril baru saja datang dan menyampaikan bahwa Allah sudah menyiapkan tempat tinggal terbaik untuk Khadijah di surga.

Ibnu Ishaq berkata, “Setelah Khadijah bin Khuwailid wafat kemudian disusul dengan wafatnya Abu Thalib paman Rasulullah saw." Kehilangan beruntun inilah yang disebut sebagai peristiwa amul huzni.

Pada tahun yang sama, Abu Thalib berpulang pula. Salah satu yang paling membikin Rasulullah sedih ialah sang paman tidak mengucapkan dua kalimat syahadat hingga akhir hayatnya. Padahal, Abu Thalib sangat gigih menjaga Nabi dari ancaman para petinggi Quraisy, termasuk ketika menjalankan dakwah Islam.

Barnaby Rogerson dalam Muhammad: Biografi Singkat (2014: 141) menjelaskan, kepergian Abu Thalib membuat Nabi Muhammad dan kaum muslim tidak lagi berada dalam perlindungan seorang tokoh kabilah. Kepemimpinan Bani Hasyim mendarat ke tangan Abu Lahab, seorang musuh Islam yang demikian frontal.

Namun, peristiwa amul huzni, periode ketika Rasulullah ditinggal oleh Khadijah dan Abu Thalib, merupakan awal perjalanan baru. Memang tidak ada lagi pelindungnya dari kalangan manusia. Sebaliknya, ia mendapatkan anugerah besar dari Allah Sang Pelindung Sesungguhnya.

Setelah peristiwa amul huzni itu, Nabi Muhammad mengalami Isra dan Mikraj. Allah mengisrakan Rasulullah dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa di Palestina. Kemudian, dari tempat tersebut, Allah memikrajkannya menuju Sidratulmuntaha. Dalam peristiwa mikraj itulah perintah salat lima waktu diwajibkan untuk umat Islam.

Peristiwa Isra Mikraj terkandung di dalam Surah Al-Isra (17) ayat pertama sebagai berikut .

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Subḥānallażī asrā bi'abdihī lailam minal-masjidil-ḥarāmi ilal-masjidil-aqṣallażī bāraknā ḥaulahụ linuriyahụ min āyātinā, innahụ huwas-samī'ul-baṣīr

Artinya:

“Mahasuci [Allah], yang telah memperjalankan hamba-Nya [Muhammad] pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda [kebesaran] Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Baca juga artikel terkait SEJARAH NABI MUHAMMAD atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fitra Firdaus
Penyelaras: Fadli Nasrudin