Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Hidup Maulana Hasanuddin Pendiri Kesultanan Banten

Maulana Hasanuddin adalah pendiri Kesultanan Banten yang berkuasa pada 1552-1570 Masehi.

Sejarah Hidup Maulana Hasanuddin Pendiri Kesultanan Banten
Ilustrasi Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten. wikimedia commons/publik domain/dinpar Banten

tirto.id - Maulana Hasanuddin adalah pendiri Kesultanan Banten yang berkuasa pada 1552-1570 Masehi. Selain sebagai sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin juga merupakan sosok pelopor sejarah syiar Islam di wilayah tersebut.

Dikutip dari The Sultanate of Banten (1990) karya Hasan Muarif Ambary dan Jacques Dumarçay, Maulana Hasanuddin memperoleh gelar Pangeran Sabakingkin atau

Seda Kinkin. Pemberi gelar itu adalah kakeknya, yaitu Prabu Surosowan, Bupati Banten.

Maulana Hasanuddin adalah putra dari Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati ( (1479-1568 M), penguasa Kesultanan Cirebon yang juga menjadi salah satu anggota Wali Songo, majelis penyebar Islam di Jawa pada era Kesultanan Demak.

Dikisahkan Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo (2012), pada suatu ketika Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dari Cirebon menempuh perjalanan ke barat menuju Banten.

Di Banten, Sunan Gunung Jati berhasil mengajak bupatinya, Prabu Surosowan atau Ki Gedeng, beserta rakyatnya untuk memeluk Islam. Sunan Gunung Jati kemudian menyunting putri Prabu Surosowan yang bernama Nyi Kawunganten.

Perkawinan ini melahirkan anak perempuan dan anak laki-laki, yakni Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingkin alias Maulana Hasanuddin.

Sejarah Hidup Maulana Hasanuddin

Setelah Prabu Surosowan wafat, posisi pemimpin Banten dilanjutkan oleh putranya yang bernama Pangeran Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun, yang juga paman dari Pangeran Sabakingkin alias Maulana Hasanuddin.

Sunan Gunung Jati kemudian kembali ke Cirebon. Sedangkan Pangeran Sabakingkin berkelana untuk memperdalam ilmu dan ajaran keislamannya. Adapun Prabu Pucuk Umun adalah pemeluk ajaran Sunda Wiwitan.

Suatu ketika, Pangeran Sabakingkin atau Maulana Hasanuddin menghadap ayahnya di Cirebon. Ia kemudian diberi mandat untuk menyebarkan Islam yang lebih luas ke tanah Banten dan sekitarnya.

Maulana Hasanuddin pun berangkat ke Banten. Namun, misinya untuk menjalankan syiar Islam di Banten ternyata mendapatkan tentangan dari pamannya sendiri, yakni Prabu Pucuk Umun.

Setelah melakukan musyawarah, mereka bersepakat untuk tidak berperang secara fisik, namun diganti dengan pertarungan ayam jago.

Dilansir laman Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Maulana Hasanuddin memenangkan perlombaan itu. Prabu Pucuk Umun mengaku kalah dan memberikan ucapan selamat seraya menyerahkan golok serta tombak sebagai tanda kekalahan.

Penyerahan kedua senjata pusaka Banten itu juga sebagai simbol bahwa kekuasaan wilayah Banten yang semula dipegang oleh Prabu Pucuk Umun kepada Maulana Hasanuddin.

Memimpin Pemerintahan di Banten

Prabu Pucuk Umun bersama beberapa pengikutnya kemudian pergi untuk menuju ke Ujung Kulon di Banten Selatan.

Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng. Konon, mereka adalah cikal-bakal orang Kanekes atau orang-orang Suku Baduy.

Sementara para pengikut Prabu Pucuk Umun lainnya yang memilih bertahan di Banten menyatakan masuk Islam di hadapan Maulana Hasanuddin.

Di era Maulana Hasanuddin yang kemudian memerdekakan Banten menjadi kesultanan pada 1568 M, kerajaan bercorak Islam ini mencapai kemajuan di berbagai bidang.

Sektor perdagangan menjadi tumpuan utama Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin. Komoditas utamanya adalah lada yang sudah dikirim ke berbagai wilayah di dunia.

Riset oleh Muslimah berjudul "Sejarah Masuknya Islam dan Pendidikan Islam Masa Kerajaan Banten Periode 1552-1935" dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat (2017) menyebutkan, Maulana Hasanuddin memerintah Banten hingga wafatnya pada 1570.

Baca juga artikel terkait KESULTANAN BANTEN atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya