Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Hidup Kertanegara: Raja Terbesar dan Terakhir Singasari

Maharaja Kertanegara adalah raja terbesar yang membawa sejarah Kerajaan Singasari ke masa kejayaan sekaligus penguasa terakhirnya.

Sejarah Hidup Kertanegara: Raja Terbesar dan Terakhir Singasari
Arca Joko Dolog yang diyakini sebagai perwujudan Maharaja Kertanegara dari Kerajaan Singasari. ANTARA FOTO/Moch Asim

tirto.id - Sri Maharaja Kertanegara (1268-1292 Masehi) adalah raja terbesar yang membawa Kerajaan Singasari ke masa kejayaan sekaligus sebagai penguasa terakhirnya. Sejarah hidup Raja Kertanegara dan eksistensi Kerajaan Singasari pungkas secara mengejutkan akibat pemberontakan Jayakatwang pada 1292 M.

Nama Kertanegara tercantum dalam Negarakertagama maupun Pararaton meskipun dua kitab ini punya perbedaan mengenai penyebutan nama dan silsilah raja-raja Singasari. Hanya saja, ada sedikit ketidaksamaan terkait masa berkuasa Kertanegara dan urutan raja-raja Singasari lainnya.

Kitab Negarakertagama menyebut Kertanegara bertakhta sejak 1254 M dan merupakan raja ke-4 atau terakhir Kerajaan Singasari setelah Rangga Rajasa (1222-1227 M), Anusapati (1227-1248 M), serta Wisnuwardhana (1248-1254 M).

Di Pararaton, Kertanegara dituliskan berkuasa sedari tahun 1272 M dan berada di urutan ke-6 sebagai pemimpin Tumapel atau Kerajaan Singasari dengan mengikutsertakan Tunggul Ametung (1185-1222 M), lalu Ken Arok (1222-1247 M), Anusapati (1247-1249 M), Tohjaya (1249-1250 M), hingga Wisnuwardhana (1250-1272 M).

Pararaton juga menyebut Kertanegara lahir dari sosok ibu bernama Waning Hyun atau Jayawardhani, istri Raja Wisnuwardhana di Singasari. Waning Hyun adalah putri dari Mahisa Wunga Teleng yang tidak lain adalah putra Ken Arok, pendiri Singasari, dari Ken Dedes.

Dikutip dari Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa (2008) karya H.M. Nasruddin Anshoriy, Ch., Kerajaan Singasari diperkirakan berada di daerah yang sekarang menjadi wilayah Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.

Agama Maharaja Kertanegara

Maharaja Kertanegara menyatukan agama Hindu aliran Syiwa dengan agama Buddha aliran Tantrayana. Oleh karena itu, Pararaton sering menyebut Kertanagara sebagai Bhatara Siwa Buda. Adapun menurut Negarakertagama, Kertanagara telah menguasai semua ajaran agama Hindu dan Buddha.

Selain sebagai raja, Kertanegara juga punya gelar keagamaan, yakni Sri Jnanabajreswara atau Sri Jnaneswarabajra. Sosok ini kemudian diwujudkan menjadi sebuah patung bernama Jina Mahakshobhya atau Arca Aksobhya yang merupakan simbol perpaduan Syiwa (Hindu) dan Buddha.

Infografik SC Perbedaan Sejarah Singasari

Infografik SC Perbedaan Sejarah Singasari. tirto.id/Rangga

Patung Arca Aksobhya dikenal juga dengan nama Arca Joko Dolog dan kini terdapat di Surabaya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Arca Joko Dolog merupakan Arca Aksobhya yang pernah menghilang.

Arca Aksobhya yang diyakini sebagai simbol Maharaja Kertanegara sebelumnya ditempatkan di Candi Jawi. Menurut arsip Perpustakaan Nasional RI (2013), Candi Jawi merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Singasari yang berada di kaki Gunung Welirang, Pasuruan, Jawa Timur.

Kertanegara dan Ekspedisi Pamalayu

Ditelisik dari Prasasti Mula Malurung berangka tahun 1255 M yang ditemukan di Kediri, Kertanegara diangkat sebagai yuwaraja/raja muda oleh ayahnya, Raja Wisnuwardhana, pada 1254 M. Pengangkatan ini dapat diartikan sebagai pertanda bahwa Kertanegara diproyeksikan untuk menjadi penguasa Singasari selanjutnya.

Katherine Purwanto melalui Laporan Hasil Penelitian: Candi Jago dan Cerita Kunjarakarna dalam Konteks Masa Kini (2005) mengungkapkan, Prasasti Mula Malurung terdiri dari belasan lempeng yang ditemukan dalam dua waktu yang berbeda. Kini, seluruh lempeng tersebut disimpan di Museum Nasional, Jakarta.

Sedangkan berdasarkan Prasasti Padang Roco dengan angka tahun 1208 Saka atau 1286 M, dikutip dari Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi (1981) yang disusun Slamet Muljana, disebutkan bahwa Kertanegara menyandang gelar Sri Maharajadhiraja Kŗtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa.

Prasasti Padang Roco ditemukan pada 1911 di hulu sungai Batanghari, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, dan menjadi alas bagi Arca Amoghapasa. Tergurat 4 baris tulisan di prasasti ini dengan aksara Jawa Kuno dan memakai dua bahasa, yakni bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.

Prasasti ini menguak peristiwa Ekspedisi Pamalayu oleh Kerajaan Singasari ke Sumatera pada abad ke-13 M. Arca Amoghapasa dimaksudkan sebagai hadiah atau persembahan persahabatan dari Kertanegara kepada Raja Dharmasraya, Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa.

Anthony Reid lewat riset bertajuk "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities" dalam Journal of Southeast Asian Studies (2001) mengungkapkan bahwa Ekspedisi Pamalayu dimulai pada 1275 Masehi.

Kejayaan Singasari di Era Kertanegara

Kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaan pada era pemerintahan Maharaja Kertanegara. Mulai bertakhta pada 1268 M, Kertanegara terobsesi meluaskan wilayah kekuasaannya hingga ke luar Jawa. Cita-cita yang kelak baru bisa benar-benar diwujudkan oleh keturunannya pada masa Majapahit.

Selain mengirim rombongan besar ke Sumatera dalam misi Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera sejak 1275 M, Raja Kertanegara juga melakukan sejumlah penaklukan di luar Jawa, salah satunya Bali pada 1284 Masehi.

Dikutip dari Sejarah 8 Kerajaan Terbesar di Indonesia (2021) oleh Siti Nur Aidah, menurut Negarakertagama, pengaruh Singasari di luar Jawa meliputi Pahang (kini wilayah Malaysia), Tumasik (kini Singapura), Sumatera, Bali, Bakulapura atau Tanjungpura (Kalimantan Barat), hingga Gurun (Maluku) dan sebagian Pulau Seram.

Sehubungan dengan ini, tulis Diansasi Proborini lewat riset “Analisis Aspek Diplomasi Kultural dalam Ekspedisi Pamalayu 1275-1294 M” (2017), Raja Kertanegara dapat dinyatakan sebagai sosok pertama Nusantara yang memiliki gagasan ekspansionis hingga ke luar Pulau Jawa.

Kepemimpinan Maharaja Kertanegara membuat Singasari menjadi kerajaan terkuat dalam berbagai bidang, seperti pemerintahan, ekonomi atau perdagangan, agama, budaya, serta pertahanan dan keamanan.

Bahkan, Kertanegara pernah mengusir utusan dari Kekaisaran Mongol utusan Kubilai Khan pada 1284 M. Utusan tersebut menyampaikan peringatan dari Kubilai Khan yang menghendaki Singasari tunduk kepada Mongol, namun ditolak mentah-mentah oleh Kertanegara.

Kertanegara Tewas, Singasari Pungkas

Gara-gara dendam dan kelengahan, Kerajaan Singasari yang sedang jaya-jayanya justru runtuh pada periode yang sama. Tahun 1292 M, Maharaja Kertanegara tewas akibat gerakan pemberontakan yang dimotori oleh Jayakatwang, Bupati Gelang-gelang (kini di sekitar Madiun).

Gelang-gelang merupakan bagian dari Kadiri (Kediri). Kadiri saat itu termasuk daerah taklukan Kerajaan Singasari. Raka Revolta dalam Konflik Berdarah di Tanah Jawa (2008) menguraikan bahwa antara Jayakatwang dan Kertanegara masih berkerabat, yakni sepupu, ipar, sekaligus besan.

Berdasarkan Pararaton, Jayakatwang menyimpan dendam masa lalu terhadap leluhur Kertanegara. Jayakatwang adalah keturunan dari Raja Kadiri, Kertajaya, yang dikalahkan pendiri Singasari, Ken Arok. Kekalahan Kertajaya membuat Kadiri jatuh ke tangan Singasari.

Selain itu, keputusan Jayakatwang memberontak merupakan hasutan dari Aria Wiraraja. Dikutip dari Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan (1965), Wiraraja diduga kuat sebagai aktor intelektual terjadinya pemberontakan yang mengakhiri sejarah Kerajaan Singasari tersebut.

Aria Wiraraja sebenarnya mantan pejabat tinggi di Kerajaan Singasari. Namun, oleh Kertanegara ia dimutasi ke Sumenep, Madura, lantaran sering menentang kebijakan raja. Tak heran jika Aria Wiraraja menyimpan kekesalan terhadap Kertanegara.

Munculnya Penerus Singasari

Selain faktor dendam, kelengahan Kertanegara juga menjadi penyebab hancurnya Singasari. Kala itu, kekuatan militer Singasari belum seutuhnya lengkap karena sebagian besar masih dalam perjalanan pulang dari Ekspedisi Pamalayu.

Aria Wiraraja berkata kepada Jayakatwang bahwa ini adalah saat yang tepat untuk menggulingkan Kertanegara dari takhtanya. Atas saran Aria Wiraraja pula, demikian dikisahkan oleh Pararaton, Jayakatwang mengirim pasukan yang dinamakan Jaran Guyang untuk menyerbu Singasari dari arah utara.

Raja Kertanegara yang mendengar rencana itu segera memerintahkan menantunya, yakni Raden Wijaya, untuk memimpin pasukan guna menangkal serangan Jayakatwang. Ternyata, pergerakan Jaran Guyang hanya taktik Aria Wiraraja semata.

Raden Wijaya memang berhasil mengalahkan pasukan Jaran Guyang. Namun, Jaran Guyang ternyata cuma pasukan kecil yang dikirim sebagai pengalihan agar pertahanan di ibu kota Singasari tempat Raja Kertanegara bersemayam kosong.

Jayakatwang segera mengirimkan pasukan yang jauh lebih besar ke Singasari. Lantaran sebagian besar kekuatan militer Singasari yang dipimpin Raden Wijaya belum kembali, pasukan Jayakatwang berhasil menduduki istana, bahkan Kertanegara terbunuh dalam insiden itu.

Wafatnya Maharaja Kertanegara pada 1292 M berarti tamat pula riwayat Kerajaan Singasari. Jayakatwang kemudian menjadi raja di Kadiri yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Singasari. Namun, itu bertahan tidak lama.

Kekuasaan Jayakatwang di Kadiri dihancurkan oleh menantu Kertanegara, Raden Wijaya, hanya dalam waktu setahun. Kemudian, di warsa yang sama, 1293 M, Raden Wijaya mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Majapahit sebagai penerus Singasari.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KERAJAAN atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Addi M Idhom