Menuju konten utama

Sejarah Hidup & Karier Politik Inche Abdoel Moeis

Ayah Emir Moeis, Inche Abdoel Moeis, juga seorang pengusaha dan politikus. Di masa mudanya, Inche Abdoel Moeis anggota dewan federal yang didukung Belanda.

Sejarah Hidup & Karier Politik Inche Abdoel Moeis
Ilustrasi Inche Abdul Muis 1921-1978. tirto.id/Fuad

tirto.id - Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada 5 Juni 1946, di Balikpapan dan Samarinda Kalimantan Timur berdiri partai politik lokal pendukung Republik bernama Ikatan Nasional Indonesia (INI). Cikal bakal INI adalah organisasi bernama Fond Nasional Indonesia (FONI) yang dibentuk pada 29 November 1945 (FONI belakangan menjadi nama sebuah lapangan di Balikpapan).

Dewan Partai INI terdiri dari 20 orang, menurut laporan Seman dalam Arsip Kementerian Pertahanan Nomor 1006: Surat dari Markas Pertahanan ALRI ke-IV Bagian SOI tentang Laporan-Laporan Bulan Januari 1946-Mei 1947 mengenai Pemberontakan di Balikpapan.

Pada saat yang sama, Belanda tengah berupaya menancapkan lagi kekuasaan dengan berbagai cara. Perundingan-perundingan tingkat tinggi terjadi. Salah satunya adalah Konferensi Malino pada 16-25 Juli 1946 yang hasilnya adalah kesepakatan untuk mendirikan negara federal--salah satunya adalah Negara Borneo.

Kala itu, Partai INI meminta Sultan Kutai tidak turut serta. Tapi, Sultan Kutai menolak permintaan itu. Akhirnya, pada 7 oktober 1946, Partai INI mengumumkan resolusi mendukung sebulat-bulatnya Republik Indonesia atau dengan kata lain menentang Konferensi Malino.

Konferensi Malino dilanjutkan dengan Konferensi Denpasar pada 7-24 Desember 1946 yang hasilnya adalah pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT). Pada 8 Desember, Pusat INI di Balikpapan menyatakan sikap terhadap Konferensi Denpasar, yaitu berpegang teguh Resolusi 7 Oktober 1946.

Akibatnya, karena menolak kerja sama, para pemimpin INI ditangkap aparat NICA Belanda. “Penangkapan tokoh INI di Balikpapan memindahkan inisiatif politik dan kepemimpinan INI ke Samarinda,” tulis Burhan Magenda dalam East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy (1990:42). INI dalam posisi sulit.

Magenda menyebut setelah itu Belanda makin mapan di Kalimantan Timur dan berhasil menarik dukungan kaum aristokrat lokal—dari daerah swapraja Kutai, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Bulungan—untuk membangun Negara Kalimantan Timur. Di sisi lain, federasi ala Gubernur Jenderal Hubertus van Mook ini banyak ditentang kelompok Republiken yang sayangnya sulit bersuara lantang di Kalimantan Timur.

Dalam konteks inilah, pada 1947, seorang Melayu-Samarinda bernama Inche Abdoel Moeis pulang dari Jepang. Seperti dicatat dalam Kami Perkenalkan (1954:198), hingga 1943, Moeis adalah seorang guru di sekolah dasar di Samarinda. Pendidikannya lumayan tinggi di zamannya. Dia pernah belajar di SMA kolonial macam Algemene Middelbare School (AMS) yang sebelum 1942 hanya ada di Jawa. Di Jepang, Moeis mengenyam bangku universitas.

Saat pulang Moeis menjadi guru sekolah menengah swasta di Samarinda. Dia juga segera menjadi tokoh yang mendapat perhatian di Kalimantan Timur. Maklum, pada saat itu tidak banyak orang mengenyam pendidikan setinggi itu.

Pemuda kelahiran 2 Agustus 1921 itu lalu menjadi Ketua Front Nasional di Samarinda, juga menjadi Wakil Ketua INI.

Jabatan yang disebutkan terakhir membuatnya “digoyang” oleh orang-orang Republiken garis keras. Dia memilih jalan tidak masuk akal bagi kebanyakan kaum Republiken. Misalnya, dia masuk dalam Dewan Kalimantan Timur yang disponsori Belanda.

“Inche Abdoel Moeis adalah juga anggota Dewan Kalimantan Timur. Hal ini menimbulkan tuduhan dari kelompok pejuang Balikpapan bahwa INI bekerja sama dengan Belanda,” tulis Magenda (1990:44n112).

Daerah federal yang diduduki tentara Belanda disatukan dalam Majelis Permusyawaratan Federal alias Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). Sultan Hamid II, perancang Garuda Pancasila yang pernah dituduh makar, menjadi ketuanya.

Moeis memperlihatkan diri sebagai seorang federalis tulen pada 1947 hingga 1949. Dia misalnya pernah hadir dalam muktamar federal di Bandung pada 1948. Moeis juga menjabat anggota parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS)—yang terdiri dari Republik Indonesia ditambah bekas negara dan daerah federal. Moeis juga hadir dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Bukan sebagai wakil Indonesia, melainkan BFO.

Tapi tentu tak semua orang yang ikut dalam dewan atau negara federal menuruti kepentingan Kerajaan Belanda. Di NIT, misalkan, terdapat Arnold Mononutu yang mendukung Republik.

Infografik Inche Abdul Muis

Infografik Inche Abdul Muis 1921-1978. tirto.id/Fuad

Setelah RIS bubar dan kekuasaan RI dikembalikan seperti semula, Moeis menjalani karier sebagai anggota DPR. Pada 1950, ia menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), partai yang dirintis oleh Presiden Sukarno. Moeis bahkan masih di PNI setelah Orde Baru lahir.

Sepanjang pemerintahan Sukarno, PNI adalah partai terkuat dan memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu 1955. Mereka juga termasuk cukup kuat di Kalimantan Timur. Bahkan karena menguasai DPRD, PNI dapat menunjuk Moeis, pemimpin partai, sebagai kepala daerah.

Ada dua Abdoel Moeis yang pernah menjabat pemimpin Kalimantan Timur. Selain Inche Abdoel Moeis, ada lagi Abdoel Moeis Hassan. Muhammad Sarip dalam Samarinda Tempo Doeloe: Sejarah Lokal 1200–1999 (2017:146) menyebut Abdoel Moeis Hassan disebut Moeis Kecil sementara Inche Abdoel Moeis adalah Moeis Tinggi.

Moeis juga mencoba peruntungan di dunia bisnis dengan mendirikan PT Mahakam pada 1952. “Sejak Kalimantan Timur tergantung pada pasokan barang kebutuhan dari luar, perusahaan pelayaran menjadi bisnis yang bagus,” tulis Magenda (1990:57). Rute tiga kapalnya melewati Balikpapan, Samarinda, dan Tarakan.

Magenda mengatakan bisnis Moeis itu berjalan lancar dengan dukungan dari birokrat yang terkait PNI. Moeis mengendalikan bisnisnya dari Jakarta dan terhubung dengan koneksi di Jepang. Perusahaan itu bernasib baik hanya hingga 1965. Anehnya, ketika Kalimantan mengalami booming bisnis kayu pada akhir 1960-an, perusahaan itu justru nyaris bangkrut.

Inche Abdoel Moeis tutup usia pada 1978.

Keturunanya, Izedrik Emir Moeis, mengikuti jejak sang ayah. Emir, kelahiran Jakarta 27 Agustus 1950, menurut catatan Wajah DPR dan DPD, 2009-2014 (2010:282), pernah menjadi Direktur Emdevco dan Garuda Mataram. Profil dan Program DPR-RI 2004-2009 (2004:342) menyebut dia pernah belajar di SD Perguruan Cikini. Megawati Sukarno, putri Sukarno, juga bersekolah di sana.

Jika ayahnya berkarier di PNI, maka Emir memilih salah satu turunan PNI, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Emir pernah terlibat kasus suap sebesar 357.000 dolar AS dari Alston Power Inc. dan Marubeni Inc. terkait proyek PLTU Tarahan, Lampung, pada 2004. Baru-baru ini ia diangkat menjadi komisaris PT Pupuk Iskandar Muda.

Baca juga artikel terkait POLITIKUS atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Rio Apinino