Menuju konten utama
22 Februari 2002

Poncke Princen: Membelot dari Belanda, Menjadi Aktivis HAM

Hidup J.C. Princen penuh romantika di zaman Revolusi. Dia memilih desersi dari ketentaraan Belanda dan berpihak pada Republik.

Ilustrasi Mozaik Poncke Princen. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pelarian Princen menyeberang ke kubu Republik adalah kisah terbesar dalam sejarah desersi tentara Belanda di Indonesia. Dan dia merasa bukan satu-satunya desertir di keluarga besarnya. Kakek buyutnya, yang jadi idola Princen, juga desersi dari ketentaraan Belanda.

Sedari belia Johannes Cornelis Princen alias Poncke adalah pemuja kebebasan. Dia membenci wajib militer. Princen pernah kabur ke Prancis dari demi menghindari tugas-tugas jorok yang menguntungkan politikus dan elite kolonial. Namun akhirnya Poncke terjebak pula dalam pekerjaan kotor itu.

Bersama pemuda lain, Poncke dikapalkan. Salah satu orang yang bersamanya adalah Piet van Straveren, pemuda komunis yang benci pada politik negaranya dan justru mencintai Indonesia. Poncke begitu salut terhadap Piet—yang belakangan punya nama Jawa, Pitojo.

Menyesuaikan Diri dengan Cara Hidup Orang Indonesia

Suatu kali, ketika sudah berada di Indonesia, Poncke ada janji pada malam hari dengan seorang perempuan Indonesia di seberang Kebun Raya. Poncke membawakannya sekaleng kornet, karena sedang tidak ada uang. Setelah 30 menit bertemu, mereka pulang ke tempat masing-masing. Sepulangnya ke barak, terdengar suara tembakan. Bersama kawannya, Poncke ambil Sten gun. Setelah masuk ruangan di barak, Poncke terkejut tapi tidak bisa memperlihatkan apa-apa di hadapan kawan-kawan serdadu Belandanya.

“Kami masuk ke ruangan dan melihat terbaring seorang perempuan bersimbah darah. Ini adalah cewek yang baru saja aku kencani,” aku Poncke dalam autobiografinya, Kemerdekaan Memilih (1995: 62).

Hatinya tersayat-sayat melihat Asmuna, gadis itu. Pemandangan tersebut sangat memilukan dan Poncke merasa betapa menjijikkannya kawan-kawan serdadunya. Polisi militer, yang diberitahu bahwa Poncke “ada main” dengan perempuan itu, kemudian menjemputnya. Salah satu anggota polisi militer bilang, “Hei kamu lebih baik periksakan dirinya. Apa kamu tahu dia berpenyakit sifilis?”

Setelah beberapa waktu di Indonesia, Poncke harus menjalani hukuman penjara karena desersi yang pernah dilakukannya pada 1946. Dia dipenjara di Cipinang (Jakarta Timur) dan Poncol (Cimahi). Ketika di Cimahi, pada 1947, Poncke dengar kabar luar biasa: Piet sudah menyeberang ke Republik. Poncke mengaku belum terpikir untuk menyeberang. Setelah bebas, Poncke jadi supir pembantu di Bogor. Selama di Bogor, Poncke mulai bergaul dengan orang-orang Indonesia dan belajar bahasa Indonesia.

Suatu pagi pada 26 September 1948, Poncke ke Jakarta dari Sukabumi dengan menebeng jip militer. Ketika berhenti di Jakarta, Geert Verbeek, si supir, percaya bahwa Poncke hendak menyambangi pacarnya. Poncke rupanya mendatangi kantor Balai Pustaka untuk mencari tahu ke mana dia harus pergi untuk kabur ke pihak Republik.

Sri Murtioso, yang merasa Poncke sudah gila, akhirnya memberi dua alamat di Semarang dan uang 25 gulden. Poncke pun naik kereta ke Semarang. Di alamat pertama, Poncke melihat keragu-raguan, dan akhirnya ke alamat kedua, seorang perempuan anggota Palang Merah. Setelah tinggal bersama di rumah keluarga perempuan ini, Poncke nekat mencari kontak sendiri. Akhirnya dia menemukan pemuda Republik bersenjata, yang membawa Poncke berjalan setengah hari ke pos gerilya. Seorang perwira Republik yang bisa bahasa Belanda pun memeriksanya.

Di sekitar Kudus-Pati, Poncke sempat berada di tengah-tengah perseteruan antara milisi komunis dengan tentara pemerintah, sebelum akhirnya Batalion Kala Hitam pimpinan Mayor Kemal Idris menguasai keadaan. Poncke pun bebas. Kemal Idris lalu mengirim Poncke ke Kolonel Gatot Subroto di Solo.

Gatot Subroto memercayainya dan akhirnya Poncke diizinkan ke Yogyakarta, seperti yang diinginkannya. Di Yogyakarta, Poncke melapor ke Mokoginta—yang tidak percaya pada Poncke dan mengerangkengnya. Ketika keadaan kacau karena Belanda menyerbu, Princen bertemu lagi dengan Kemal Idris, yang sekali lagi membebaskannya dari Penjara Wirogunan. Tak lupa Idris memberinya dua pilihan, “ikut kami (gerilya) di Jawa Tengah atau kembali ke tentara kamu sendiri?” Poncke ikut pilihan pertama.

“Ia mulai menyesuaikan diri dengan cara hidup orang Indonesia,” kata Kemal Idris dalam autobiografinya, Bertarung dalam Revolusi (1997: 114).

Dengan segera Poncke dijadikan perwira batalion. Poncke yang berwajah bule dimanfaatkan untuk mengelabui orang-orang Belanda, demi mendapatkan senjata dari Belanda, salah satunya dengan menyerang penjaga perkebunan. Bahkan Kemal Idris pernah menugaskannya masuk ke Jakarta untuk mengontak orang-orang Republik.

Di mata Kemal Idris, Poncke orang yang kocak. Waktu lewat sungai berkali-kali terpeleset. Kemal geli melihat Poncke memaki-maki Tuhan dalam bahasa Belanda karena kesulitan yang dihadapinya.

Dalam perjalanan gerilyanya, Poncke lagi-lagi terlibat asmara. Kali ini dengan Nyi Odah. Mereka bahkan menikah. Odah ikut bergerilya. Poncke sebentar bahagia bersama Odah, sebab istrinya itu harus mati muda, terbunuh oleh peluru tentara Belanda.

Setelah gencatan senjata, Poncke yang sudah kehilangan istri akhirnya menulis surat ke ibunya. Menceritakan pelariannya dari kesatuan tentara Belanda dan memilih bergabung dengan tentara Republik. Juga tentang tentara Belanda yang mengejarnya. Tak lupa, Poncke menuliskan nama barunya, Sasmita Atmadja. Dirinya ikut serta dalam menangkal Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling.

Dari Politikus sampai Pendiri LBH

Setelah Tentara Belanda angkat kaki, Poncke memilih keluar dari TNI. Dia jadi orang bebas lagi. Dia berkelana dengan sepeda motor BSA. Sebagai jomblo. “Menurut kebiasaan seorang laki-laki ganteng tak bisa terus menerus hidup melajang,” kata Poncke dalam autobiografinya (hlm. 142).

Setelah itu kawinlah dia dengan Eddah. Lalu dia dapat pekerjaan sebagai kepala screening tentara Belanda yang ingin tinggal di Indonesia. Usai Pemilu 1955, dia terpilih menjadi anggota parlemen sebagai wakil golongan asing. Saat itu dia aktif di partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) atas ajakan A.H. Nasution.

Sejak zaman Sukarno, Poncke jadi orang kritis kepada penguasa, baik pada era Orde Lama maupun Orde Baru. Meski dikenal sebagai sosok yang anti-komunis, Poncke masih punya hati dan begitu risih dengan pembantaian massal pasca-1965 di Purwodadi. Poncke lalu menulis laporan soal pembantaian tersebut.

Laporan itu bukannya diseriusi, tapi membuat Poncke dituduh komunis. Sudah menjadi “hukum tak tertulis Orde Baru” bahwa semua yang berseberangan dan menjelek-jelekan Orde Baru maka dia akan dicap komunis.

Sebelum tutup usia pada 22 Februari 2002, tepat hari ini 19 tahun lalu, Poncke dikenal sebagai aktivis HAM. Dia menjadi salah satu pembela orang-orang yang dianggap bersalah dalam kasus Tanjung Priok.

“Dalam bidang advokasi hukum, Princen juga meletakkan peran rintisan. Pada masa awal Orde Baru, 1971, bersama sejumlah tokoh, Princen mendirikan LBH (Lembaga Bantuan Hukum),” tulis R. Eep Saefulloh Fatah dalam Membangun Oposisi: Agenda-agenda Perubahan Politik Masa Depan (1999: 79).

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 26 April 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh