Menuju konten utama

Sejarah Hari Serangan Umum 1 Maret 1949 & Alasan Perlu Diperingati

Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 dan mengapa rakyat Indonesia perlu memperingatinya?

Sejarah Hari Serangan Umum 1 Maret 1949 & Alasan Perlu Diperingati
Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949. wikimedia commons/free

tirto.id - Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan serangan terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III.

Tokoh-tokoh yang terlibat dalam serangan ini ialah Jendral Soedirman, Kolonel A.H Nasution, dan Letkol Soeharto sedangkan dari pihak Belanda yaitu Van Mook bersama Louis Joseph Maria Beel.

Sejarah Hari Serangan Umum 1 Maret 1949

Dikutip laman Kemendikbud, Panglima Besar Jenderal Sudirman kala itu memimpin Operasi Gerilya Rakyat Semesta.

Pasukannya terdiri dari pasukan organik dan non-organik, termasuk laskar dan rakyat bersenjata yang menyingkir ke bukit, lembah dan pelosok. Mereka menyusun rencana penyerangan balik terhadap Belanda.

Panglima Besar Sudirman memberikan instruksi melakukan serangan balik untuk membuktikan bahwa TNI masih ada dan kuat.

Bunyi sirine pukul 06.00 tanda jam malam berakhir menandakan dimulainya serangan besar-besaran kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949.

Pasukan TNI serentak menyerang pasukan Belanda dari segala penjuru kota, Dalam waktu singkat Belanda berhasil dipukul mundur dan meninggalkan pos-pos militernya.

Beberapa persenjataan yang dimiliki Belanda berhasil direbut oleh tentara gerilya. Tepat jam 12.00 siang, perintah untuk mengosongkan kota Yogya dan kembali menuju pangkalan gerilya.

Dalam tempo kurang lebih dua bulan sejak ibu kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, TNI berhasil menguasai Yogyakarta dalam waktu singkat.

Menjadi bukti kepada dunia internasional bahwa TNI dan rakyatnya masih ada. Peristiwa ini sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB yang membuat pihak Belanda akhirnya terdesak.

Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta juga menjadi bukti masih eksisnya negara Indonesia, dan hal ini sekaligus menjadi alasan mengapa rakyat Republik Indonesia perlu mengingat dan memperingati hari bersejarah ini.

Meski pada saat itu Belanda mundur dari perlawanan Indonesia, Serangan Umum 1 Maret 1949 memiliki satu kejadian menarik terkait peran Soeharto di peristiwa ini.

Salah satu fragmen yang disoroti adalah sewaktu peperangan sedang terjadi. Yang mana, dalam buku sejarah era Orde Baru, Letkol Soeharto tercatat sebagai inisiator dan pemimpin pertempuran.

Namun hal ini berkebalikan dengan kesaksian Abdul Latief, anak buah Letkol Soeharto saat itu.

Latief, dalam tulisannya berjudul “Laporan tentang Dewan Jenderal kepada Jenderal Soeharto” yang dimuat di laman penerbit HastaMitra, mengungkapkan:

“[...] pada penyerangan total kota Yogyakarta dan terkenal enam jam di Yogyakarta, pasukan saya mendapat kepercayaan untuk menduduki daerah sepanjang Malioboro, mulai dari Stasiun Tugu sampai Pasar Besar Yogyakarta [Beringharjo].”

Pangkat letnan kolonel yang diemban Soeharto waktu itu mengharuskan ia bertugas sebagai pemantau pasukan Latief dari markas komando yang terletak di Kuncen, kampung yang berjarak tidak seberapa jauh dari medan pertempuran.

Soeharto pada masa itu juga memegang jabatan Komandan Wehrkreise atau komandan di daerah pertahanan.

Abdul Latief bercerita bahwa ia dan pasukannya terdesak, terkepung tentara Belanda yang melancarkan serangan balik dengan amat agresif. Beruntung, Latief bisa lolos dari kepungan itu kendati cukup banyak prajuritnya yang menjadi korban.

Sebanyak 52 orang, yang terdiri dari prajurit dan pemuda gerilya di bawah pimpinan Latief, terbunuh oleh Belanda, sedangkan 12 lainnya mengalami luka-luka.

Latief dan sisa-sisa pasukannya dengan susah-payah mundur, berupaya kembali ke markas komando di mana Soeharto berada.

"Kira-kira pada jam 12.00 siang hari bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreise Letkol. Soeharto di Markas, rumah yang saya tempati sebagai Markas Gerilya, waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya," kata Latief.

Ia dan pasukan se­gera melaporkan tugas kewajiban yang dijalankan. Soeharto lalu masih memerintahkan lagi supaya menggempur pasukan Belanda yang sedang berada di Kuburan Kuncen Yogyakarta.

"Letaknya hanya beberapa ratus meter dari Markas Gerilya saya itu, akhirnya beliau segera kembali ke Markas Besarnya," tambah Latief.

Hanya saja dalam sejarah yang sering ditulis dalam peringatan penyerbuan Ibu Kota Yogyakarta, pada 1 Maret, ha­nya ditulis:

“Jenderal Soeharto dalam memimpin serangan pada tanggal 1 Maret di Yogyakarta mengikuti salah satu pasukan”.

Soeharto yang akhirnya menjadi presiden kedua Republik Indonesia tercatat dalam buku-buku sejarah terbitan masa Orde Baru sebagai inisiator sekaligus pemimpin pertempuran bersejarah itu.

Tetapi, jika cerita Latief benar adanya, sang komandan justru kala itu sedang bersantap soto ria saat puluhan anak buahnya bertaruh nyawa di medan laga.

Baca juga artikel terkait SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Iswara N Raditya