Menuju konten utama

Sejarah Hari Raya Galungan dan Maknanya Bagi Umat Hindu-Bali

Sejarah Hari Raya Galungan memiliki mitologi dan kearifan lokal bagi masyarakat Hindu di Bali. Berikut ini makna dan penjelasannya.

Sejarah Hari Raya Galungan dan Maknanya Bagi Umat Hindu-Bali
Umat Hindu melakukan sembahyang saat perayaan Hari Raya Galungan di Pura Luhur Giri Arjuno, Batu, Jawa Timur, Rabu (24/7/2019). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/hp.

tirto.id - Sejarah Hari Raya Galungan erat kaitannya dengan mitologi Hindu-Bali, karenanya Galungan adalah hari raya umat Hindu.

Pertama kali dirayakan pada 882 Masehi, upacara Galungan ini sempat terhenti selama bertahun-tahun. Perayaan Galungan kembali diadakan pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu.

Hari Raya Galungan diperingati setiap 6 bulan sekali dalam penanggalan Bali. Sejarah dan prosesi hari raya ini sangat bermakna bagi masyarakat Hindu di Pulau Dewata.

Dalam kalender Bali, satu bulan terdiri dari 35 hari. Galungan jatuh pada Rabu Kliwon.

Istilah khusus untuk menyebut hari itu adalah Budha Kliwon Dungulan atau hari Rabu Kliwon dengan wuku Dungulan, yang bermakna: hari kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan).

Apa Itu Hari Raya Galungan?

Seperti disebutkan di atas, pengertian Hari Raya Galungan adalah sebuah perayaan agama dalam Hindu Bali yang dirayakan setiap enam bulan sekali untuk memperingati kemenangan Dharma atas Adharma dalam mitologi Hindu.

Hari Raya Galungan biasanya dirayakan selama 10 hari berturut-turut, dimulai pada hari Rabu Kliwon Dungulan menurut penanggalan Bali.

Selama perayaan ini, umat Hindu Bali melakukan berbagai kegiatan keagamaan seperti mengunjungi pura (kuil), bersembahyang, memberikan persembahan kepada para dewa, serta berkumpul dengan keluarga dan kerabat.

Salah satu ciri khas Hari Raya Galungan adalah penggunaan penjor, yaitu tiang bambu yang dihias dengan berbagai macam anyaman janur (daun kelapa) dan hiasan lainnya.

Penjor biasanya dipasang di depan rumah atau di pinggir jalan sebagai tanda perayaan dan sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur.

Selama periode ini, umat Hindu Bali juga melakukan tradisi khusus seperti nyekar, yaitu mengunjungi makam para leluhur untuk memberikan persembahan dan menghormati mereka.

Rangkaian Upacara Hari Raya Galungan

Fred B. Eiseman Jr. dalam Bali Sekala and Niskala: Essays on Religion, Ritual and Art (1989) mengungkapkan bahwa Galungan menandai awal dari upacara keagamaan yang paling penting.

Rakyat Bali percaya bahwa roh para leluhur akan pulang ke rumah di hari itu, dan menjadi kewajiban bagi mereka untuk menyambutnya dengan doa dan persembahan.

Prosesi ritual mewarnai perayaan Galungan. Warga Bali yang mayoritas beragama Hindu selalu antusias dan khusyuk menjalankannya.

Rangkaian Hari Raya Galungan antara lain umat Hindu melakukan berbagai ritual keagamaan, termasuk memberikan persembahan kepada roh leluhur, mengunjungi pura (kuil), dan melaksanakan prosesi keagamaan.

Lalu puncak perayaan Galungan adalah hari yang sama dengan Galungan itu sendiri, diikuti oleh Kuningan sebagai penutup perayaan.

Kuningan biasanya dirayakan sepuluh hari setelah Galungan. Selama Kuningan, umat Hindu memberikan persembahan khusus dan mengadakan upacara-upacara keagamaan untuk merayakan kembalinya roh leluhur ke alam roh.

Perayaan ini memegang peranan penting dalam budaya dan tradisi masyarakat Hindu di Bali dan merupakan waktu di mana keluarga berkumpul untuk merayakan bersama.

Perayaan Galungan juga menarik minat wisatawan, baik domestik maupun asing, yang sedang berkunjung ke pulau yang menjadi salah satu destinasi wisata terbaik dunia itu.

Sejarah Galungan

Sejarah Hari Raya Galungan terkait erat dengan mitologi Hindu-Bali. Dikutip dari situs resmi Desa Sangeh yang selaras dengan catatan dalam naskah Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada malam bulan purnama tanggal 15, tahun Saka 804 atau 882 Masehi.

Namun, ritual perayaan ini sempat terhenti selama bertahun-tahun. Akibatnya, raja-raja yang berkuasa di Bali kala itu banyak yang wafat dalam usia muda. Selain itu, Pulau Dewata juga terus-menerus diguncang berbagai bencana, demikian dikisahkan dalam Lontar Sri Jayakasunu.

Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu, perayaan Galungan diadakan kembali. Awalnya, sang raja heran mengapa raja-raja sebelumnya berumur pendek dan Bali sering dilanda musibah.

Raja Sri Jayakasunu pun bersemedi. Dalam pertapaannya, ia mendapat bisikan yang dipercaya berasal dari Dewi Durga. Dari wangsit itu, terkuak alasan mengenai berbagai keanehan yang terjadi selama ini, yaitu karena rakyat Bali sudah melupakan peringatan Galungan.

Atas perintah Raja Sri Jayakasunu, perayaan Galungan kembali dihidupkan, dan terus diadakan secara turun-temurun hingga saat ini.

Meskipun bagi sebagian orang sejarah Hari Raya Galungan barangkali dianggap kurang bisa dilogika, umat rakyat Hindu-Bali sangat mempercayainya. Selanjutnya, akan dibahas mengenai apa makna Hari Raya Galungan.

Infografik SC Hari Raya Galungan

Infografik SC Hari Raya Galungan. (tirto.id/Fuad)

Makna dan Filosofi Hari Raya Galungan

Seperti yang digambarkan dalam mitologinya, makna Hari Raya Galungan dirayakan untuk memperingati kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa atau kebaikan melawan kejahatan.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat – majelis organisasi umat Hindu Indonesia yang mengurusi kepentingan keagamaan dan sosial melalui website resminya menjelaskan, inti dari Galungan sebenarnya adalah bahwa manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu yang bisa mengganggu ketenteraman batin dan kehidupan.

Hawa nafsu manusia tersebut dibagi menjadi tiga kala, yang pertama adalah Kala Amangkurat, Kala Dungulan, dan Kala Galungan.

Kala Amangkurat adalah nafsu ingin berkuasa yang berujung pada keserakahan, ingin memerintah, dan ingin mempertahankan kekuasaan kendati menyimpang.

Kala Dungulan yaitu nafsu ingin merebut semua yang dimiliki orang lain. Sedangkan Kala Galungan adalah nafsu menang dengan menghalalkan segala cara.

Selain itu, makna Hari Raya perayaan Galungan juga sebagai ungkapan rasa syukur umat Hindu kepada atas segala karunia yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

Baca juga artikel terkait HARI RAYA GALUNGAN atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yonada Nancy
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Dhita Koesno