Menuju konten utama
International Women's Day

Sejarah Hari Perempuan Sedunia: Dirintis Kaum Sosialis

Sejarah Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day bermula dari aksi unjuk rasa kaum wanita di New York yang digalang oleh Partai Sosialis Amerika pada 1909.

Sejarah Hari Perempuan Sedunia: Dirintis Kaum Sosialis
Sejumlah mahasiswa melakukan aksi simpatik di kawasan Dago, Bandung, Jawa Barat, Minggu (11/3). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Google Doodle hari ini, tanggal 8 Maret 2019, menampilkan kutipan dari beberapa tokoh wanita terkemuka di dunia untuk memperingati Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day (IWD). Sejarah Hari Perempuan Sedunia bermula dari aksi unjuk rasa pada 8 Maret 1909 dan dirintis oleh kaum sosialis di Amerika Serikat.

Temma Kaplan melalui tulisannya “On the Socialist Origins of International Women's Day”, dimuat dalam Feminist Studies (1985), mengungkapkan, riwayat perayaan Hari Perempuan Sedunia berawal pada 8 Maret 1857.

Saat itu, tulis Kaplan, terjadi protes dari wanita buruh yang bekerja di pabrik tekstil di New York. Tindakan semena-mena dan upah rendah menjadi alasan aksi tersebut. Namun, belum ada dampak lanjutan yang signifikan setelah unjuk rasa itu.

Tepat 50 tahun berselang, tanggal 8 Maret 1907, seperti yang tertulis dalam buku The Feminism Book: Big Ideas Simply Explained (2019), dikabarkan telah terjadi aksi demonstrasi yang melibatkan lebih dari 15 ribu perempuan buruh pabrik tekstil di New York.

Ada yang meragukan peristiwa itu, termasuk dari kalangan sejarawan. Tapi, tidak sedikit pula yang percaya. Kaum feminis Eropa, terutama di Perancis, misalnya, dikutip dari Internationalism in the Labour Movement 1830-1940 (1988), meyakini kejadian tersebut merupakan ide awal tercetusnya Hari Perempuan Internasional.

Dimotori Perempuan Sosialis

Tepat dua tahun kemudian, digelar unjuk rasa besar-besaran oleh Socialist Party of America (SPA) atau Partai Sosialis Amerika di New York pada 8 Maret 1909. Kaum buruh perempuan yang digalang partai ini menuntut hak berpendapat dan berpolitik.

Gerakan ini dimotori Theresa Malkiel, aktivis perempuan kelahiran Rusia, tepatnya Ukraina. Sally M. Miller dalam From Sweatshop Worker to Labor Leader: Theresa Malkiel, A Case Study (1978) menjelaskan, keluarga Malkiel tiba di AS pada 1891. Malkiel bekerja sebagai buruh pabrik garmen di New York sejak berusia 17 tahun.

Aksi di New York itu memicu gerakan-gerakan serupa di beberapa negara Eropa pada 19 Maret 1909 dengan tujuan sama, yakni memperjuangkan hak pilih untuk kaum perempuan. Jennifer Trainer Thompson dalam The Joy of Family Traditions (2011) menyebut aksi-aksi ini melibatkan lebih dari satu juta orang dari seluruh dunia.

Pada bulan yang sama, terjadi kebakaran di New York yang menewaskan 146 orang buruh perempuan. Musibah ini sontak menjadi sorotan, termasuk kondisi dan perlakuan buruk yang dialami kaum buruh wanita kala itu. Hal ini semakin menguatkan tekad bahwa kaum perempuan sedunia harus bergerak bersama demi kesetaraan.

Tanggal 26 dan 27 Agustus 1910, diselenggarakan International Socialist Women's Conferences atau Konferensi Perempuan Sosialis Internasional di Kopenhagen, Denmark, yang dihadiri perwakilan dari puluhan negara di dunia. Sebelumnya, perhelatan serupa juga pernah dihelat di Stuttgart, Jerman, pada 17 Agustus 1907.

Di Kopenhagen, sosialis Jerman bernama Luise Zietz mengusulkan agar Hari Perempuan Sedunia segera dikukuhkan. Dikutip dari International Socialist Conferences of Women Workers (1984) karya Alexandra Kollontai, usulan ini disetujui sebagian besar peserta, namun belum diputuskan tanggal peringatannya.

Antara Tanggal 8 Atau 19 Maret

Masih terjadi perdebatan mengenai kapan tanggal yang paling tepat dijadikan sebagai Hari Perempuan Sedunia. Ada dua pilihan. Pertama, tanggal 8 Maret, sesuai dengan tanggal dilakukannya unjuk rasa kaum buruh perempuan di New York pada 1857, 1907, dan 1909.

Sedangkan opsi kedua adalah tanggal 19 Maret. Pilihan ini didasarkan pada digelarnya aksi demonstrasi kaum perempuan secara serentak di beberapa negara di Eropa tanggal 19 Maret 1909.

Tanggal 19 Maret 1911, lebih dari sejuta orang di Eropa, meliputi sejumlah negara termasuk Austria, Hungaria, Denmark, Jerman, dan Swiss, menggelar aksi demi mewujudkan hak politik, hak memilih, serta hak jabatan publik untuk perempuan. Mereka juga memprotes perlakuan diskriminatif, termasuk seks, terhadap buruh wanita di tempat kerja.

Di sisi lain, para pendukung 8 Maret juga terus bergerak setiap tanggal itu. Di Amerika Serikat, setiap tanggal 8 Maret sudah diperingati sebagai Hari Perempuan Nasional di negara itu, dan terus dirayakan setiap tahunnya.

Demikian pula di beberapa negara di Eropa, yakni Rusia, Jerman, Inggris, dan lainnya, digelar kegiatan khusus setiap tanggal 8 Maret, untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Salah satunya pada 8 Maret 1917 di Rusia. Disebutkan dalam Feminism and Antiracism: International Struggles for Justice (2001) suntingan Kathleen M. Blee dan ‎France Winddance, kaum perempuan di negara itu melakukan protes Perang Dunia I dengan gerakan “Bread and Peace” atau “Roti dan Perdamaian”. Empat hari kemudian, Tsar Rusia memberikan hak untuk memilih kepada perempuan.

Proses menuju penetapan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia masih panjang karena situasi yang masih sering labil lantaran perang panjang pada masa-masa itu. Meskipun begitu, setiap tanggal 8 Maret selalu dirayakan dengan berbagai cara oleh kaum perempuan di berbagai negara.

Hingga akhirnya, tanggal 8 Maret 1975, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai memperingatinya walaupun belum ditetapkan secara resmi. Peresmian tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia terjadi dua tahun kemudian, tanggal 8 Maret 1977, dan terus diperingati hingga saat ini.

Baca juga artikel terkait HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Mufti Sholih