Menuju konten utama

Sejarah Hari Buruh di Zaman Kolonial

Tiap tahun, Hari Buruh 1 Mei biasanya dirayakan dengan pawai kaum buruh dan simpatisannya. Pada 1923, Hari Buruh bahkan diramaikan juga dengan pemogokan.

Sejarah Hari Buruh di Zaman Kolonial
Ilustrasi Mozaik May Day Zaman Belanda. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Jelang Hari Buruh 1 Mei 1918, seperti dimuat majalah Medan Boediman (24/04/1918), tokoh sosialis Belanda yang juga anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) Adolf Baars berpendapat seluruh pabrik gula di Jawa adalah milik sekelompok kecil orang yaitu kaum kapitalis.

Mereka menyewa tanah-tanah kaum buruh dengan harga murah untuk dijadikan perkebunan. Kaum buruh bekerja keras, tetapi hanya diberi sedikit upah. Baars menyatakan bahwa ISDV menghendaki pembagian hasil yang lebih bijak demi kesejahteraan kaum buruh. Di hari buruh tahun itu, Sinar Hindia (01/05/1918) memuat tulisan Semaun berjudul "Bestuurstelsel dan Demokratie" yang menyebut anggota parlemen Belanda Tweede Kamer punya kepentingan atas pabrik-pabrik gula itu. Mereka punya saham di sana.

Tentu saja tokoh buruh era kolonial bukan cuma Baars dan Semaoen. Masih ada De Sioking Koning alias Raja Mogok: Raden Mas Soerjopranoto. Menurut Bambang Sulistyo dalam Pemogokan Buruh; Sebuah Kajian Sejarah (1995), tokoh yang merupakan pengurus Sarekat Islam ini pernah mendirikan mendirikan Pergerakan Tentara Boeroeh Adidarmo.

Mei 1918, gaung pergerakan itu sudah sampai Probolinggo. Sosroredjo, redaktur majalah Medan Boediman, media corong Adidarmo, mengajukan protes atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Patih Probolinggo terhadap pangrehpraja rendahan bumiputra di Probolinggo. Sebagai Komandan Tentara Boeroeh Adidarmo, Soerjopranoto merasa perlu membela buruh bumiputra yang menjadi sapi perah industri gula yang sedang jaya di Jawa.

Soerjopranoto juga punya adik yang sangat legendaris dalam pergerakan nasional dan termasuk orang penting dalam sejarah buruh di Indonesia. Ialah Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara, penerjemah lagu "Internationale" yang dianggap lagu kebangsaan kaum komunis sedunia ke bahasa Melayu.

Lagu tersebut diterjemahkan oleh Ki Hajar ketika menyambut perayaan Hari Buruh 1 Mei 1920. Dalam perayaan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1920 di Semarang, lagu ini dinyanyikan dalam arak‐arakan yang diikuti dengan pengibaran bendera merah. Menurut catatan Soe Hok Gie dalam Di Bawah Lentera Merah (1999), lagu tersebut liriknya dimuat di koran Sinar Hindia (05/05/1920). Menurut Soe Hok Gie, kala itu Soewardi (belum pakai nama Ki Hajar Dewantara) masih berusia 31 tahun.

Pada 1923, di hari buruh terjadi peringatan terpanjang dalam sejarah hari buruh di era kolonial. Setelah perayaan 1 Mei, karena penurunan gaji buruh, seminggu kemudian terjadi pemogokan buruh kereta api yang tergabung dalam Vereeniging voor Spoor en Tramweg Personeel (VSTP). Mogok atau boikot ini meledak di beberapa kota.

Menurut laporan Kaoem Moeda (11/05/1923) pada 9 Mei 1923, aksi mogok mereka di Kertosono tak berhasil menggertak perusahaan kereta api. Pihak perusahaan juga menggertak lebih keras: “Apabila dalam 24 jam pekerdjaan tidak didjalankan lagi, maka pemogok akan dilepas.”

Artinya, para buruh yang mogok itu akan dipecat jika tidak kembali bekerja. Residen Madiun juga telah meminta pengerahan pasukan militer untuk mengawasi para pemogok. Kaum militer itu tak hanya terdiri dari KNIL tapi juga kompi kedua dari Legiun Mangkunegaran Solo.

Di hari yang sama, seperti diwartakan Darmo Kondo (09/05/1923), tokoh buruh PKI dan mantan pemimpin Sarekat Islam Semaoen ditangkap oleh polisi di rumahnya di Tegalwareng, Semarang, terkait pemogokan buruh kereta api. Tak hanya Semaoen saja yang digaruk aparat kolonial. Darmo Kondo kemudian melaporkan (23/05/1923) di Jogja, jurnalis Patmotenojo dan Soerat Hardjomartodjo dijebloskan karena tulisan mereka dituduh menghasut. Di Jember juga terjadi hal serupa, selain di Ngadino, Soegeng, Isdi, Sastrodimedjo, Ranoedirdjo, Misbat dan Prijokoesoemo.

Dalam mengamankan buruh ini, seorang prajurit Legiun terbunuh, tapi bukan oleh buruh. Darmo Kondo mencatat, pada 21 Mei 1923 seorang prajurit Mangkunegaran yang bertugas menjaga jalannya pemogokan di Kertosono secara tak disengaja kena tembak di dadanya. Prajurit itu harus dipulangkan ke Solo dengan Kereta Ekspress.

Infografik Mozaik May Day Era Kolonial

Infografik Mozaik May Day Era Kolonial

Para pemogok itu rupanya banyak mendapat simpati. Pada 24 Mei 1923, dengan izin dari Asisten Residen di Semarang, seorang simpatisan bernama Kadarisman berhasil mengumpulkan uang pemogok karena pemecatan. Sebuah komite derma telah berdiri untuk mengurus penyaluran sumbangan tersebut. Derma untuk pemogok itu nantinya juga akan disalurkan pada Sukindar, seorang tokoh kiri di Semarang.

Tahun-tahun setelah pemogokan besar buruh kereta api yang melumpuhkan perhubungan itu, PKI cabang Betawi membikin peringatan hari buruh mencekam bagi pemerintah kolonial. Menurut surat kabar Bandera Islam (11/05/1925), mereka mengadakan pertemuan di Tanah Tinggi. Polisi mengawasi, para peserta yang datang pun diperiksa. Peserta yang kedapatan membawa senjata tajam disuruh pulang. Inilah yang kemudian membuat pertemuan itu rusuh. Seorang komunis bernama Samoedra lalu ditangkap polisi, sedangkan orang-orang yang berada di muka gedung dibubarkan. Karena ulah polisi ini, pengurus PKI Betawi pun mendatangi rumah Residen Betawi untuk melayangkan protes.

Begitulah cara kaum pergerakan nasional arus bawah merayakan hari buruh atau May Day. Ia menjadi salah satu momentum tahunan untuk mengikis kekuasaan kolonial dan bersuara tentang ketidakadilan yang diakibatkannya.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani