Menuju konten utama
12 Desember 1992

Sejarah Gempa dan Tsunami Flores 1992: Gerak Sesar di Sarang Lindu

Gempa-tsunami Flores 1992 dan gempa Lombok 2018 dipicu pergerakan sesar yang sama.

Sejarah Gempa dan Tsunami Flores 1992: Gerak Sesar di Sarang Lindu
Ilustrasi tsunami Flores. tirto.id/Nauval

tirto.id - Pada 12 Desember 1992, tepat hari ini 26 tahun silam, gempa dengan magnitudo besar mengguncang Laut Flores. Badan Meterologi dan Geofisika mencatat magnitudo gempa itu ada pada skala 6,8. Namun, seperti dilaporkan Kompas (13/12/1992), lembaga geofisika Institut de Physique du Globeyang yang berkedudukan di Strasbourg, Perancis, mencatat magnitudonya mencapai skala 7,5.

Di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, gempa terasa begitu kuat dan membikin ratusan bangunan runtuh. Bahkan beberapa kampung pesisir tenggelam karena daratan yang ambles. Lalu dalam beberapa menit, air laut perlahan naik dan gelombang tinggi menerjang pesisir setelahnya. Sejarak 75 hingga 300 meter daratan pesisir utara Flores porak-poranda dilamun air laut.

Daya rusak tsunami di beberapa titik jadi kian besar karena gelombang masuk ke teluk yang menyempit. Itu paling parah terjadi di Teluk Maumere dan Teluk Hading yang termasuk wilayah Larantuka. Harian Kompas (23/12/1992) melaporkan tiga kampung pesisir di Kabupaten Flores Timur lenyap disapu gelombang.

Keadaan serupa juga menimpa Pulau Babi. Di pulau yang terletak di utara Teluk Maumere itu ada perkampungan warga Buton. Kampung itu berubah jadi puing usai diguncang gempa.

"Bersamaan dengan itu air berlumpur menyemprot dari dalam tanah dan menggenangi lubang di sekitarnya. Tiga menit kemudian air pasang datang dan menyeret semuanya. Banjir ini datang tanpa gemuruh. Gelombang pasang berlangsung lebih kurang 15 menit lamanya dan berkali-kali mendorong puing-puing rumah yang sudah hanyut diantara pohon-pohon kelapa yang tetap berdiri tegak. Ketika surut kembali, semua benda, rumah, perahu dan barang-barang lainnya seolah-olah disapu dibawa ke tengah laut," tutur Kamilius Lukas, salah seorang penyintas bencana, seperti dikutip Kompas (8/1/1993).

Tak hanya itu kengerian yang menyertai gempa tersebut. Heriyadi Rachmad, perekayasa utama Museum Geologi Bandung, menyebut gempa ini juga memicu longsor di perbukitan. Heriyadi datang ke Flores hanya dua hari usai gempa dengan misi meneliti gempa dan dampaknya. Berdasarkan pantauannya, lokasi longsor paling parah ada di bagian tengah dan selatan Kota Maumere.

Massa batuan vulkanik dan pasir di perbukitan di sekitar Maumere terpecah oleh getaran gempa. Material longsor membikin akses jalan yang menghubungkan Maumere dan kota-kota sekitarnya putus. Ia juga mencatat terjadinya likuifaksi di beberapa titik.

“Lokasinya berada di pantai utara berjarak sekitar 400 m dari garis pantai ke daratan. Likuifaksi ini menimbulkan runtuhnya bangunan berat. Semburan pasir ini di beberapa tempat muncul pada sumur gali sehingga penuh terisi pasir. Sumur pun menjadi kering,” catat Heriyadi dalam laporannya yang tayang di laman Geo Magz.

Bencana ini diketahui menewaskan lebih dari 2.000 jiwa. Selain itu, tercatat 500 orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 orang mengungsi. Secara keseluruhan tsunami menerjang pesisir utara Kabupaten Ngada, Ende, Sikka, dan Flores Timur. Diperkirakan 18.000 rumah, 113 sekolah, dan 90 tempat ibadah hancur karenanya.

Sarang Gempa

Bagi para geolog, Indonesia bagian timur adalah “sarang gempa bumi”. Kawasan ini, terutama Nusa Tenggara, secara geologi masuk dalam zona tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia.

Pergeseran lempeng Indo-Autralia mengarah ke utara, bertumbukan dengan lempeng Eurasia yang mengarah ke selatan. Tumbukan ini membuat lempeng Indo-Australia menghunjam ke bawah kerak bumi di dasar Laut Sawu. Sementara itu di dasar Laut Flores sendiri terdapat sesar yang hampir sejajar dengan garis pantai Pulau Flores. Karenanya, tak mengherankan jika aktivitas tektonik di Nusa Tenggara begitu tinggi.

Selama abad ke-20 setidaknya terjadi 14 gempa besar, dengan tiga di antaranya memicu tsunami. Pada Oktober 1977 gempa dengan magnitudo 5,9 yang lalu diikuti tsunami menerjang Sumbawa. Sedekade kemudian, November 1987, giliran Pulau Flores bagian timur yang diporakporandakan gempa dan tsunami.

Gempa besar terakhir dan paling mematikan di abad ke-20 itu tentu saja adalah gempa di Laut Flores pada 1992. Muasal gempa di Laut Flores itu adalah Flores Back Arc Thrust atau jamak dikenal sebagai Sesar Naik Flores—sesar yang juga menjadi penyebab rentetan gempa besar di Lombok pada Agustus 2018.

Sesar Naik Flores

Jika zona tumbukan lempeng Indo-Australia ada di selatan Nusa Tenggara, Sesar Naik Flores ini berada di sebelah utara. Tepatnya di Laut Flores. Sesar ini membujur dari utara Laut Flores hingga berakhir di timur laut Pulau Bali.

"Sesar Flores itu ada di belakang atau bujur busur belakang (Back Arc). Kenapa kami sebut di belakang? Karena bagian depannya ada di selatan, yakni di zona subduksi. Kenapa disebut thrust? Karena mekanisme sesarnya naik," ujar Irwan Meilano, pengajar di program studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, kepada Tirto.

Infografik Mozaik Gempa Flores 1992

Infografik Mozaik Gempa Flores 1992

Gempa yang terjadi di kawasan Nusa Tengara umumnya disebabkan Sesar Naik Flores ini. Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) pada 2017 menyatakan Sesar Flores terdiri dari beberapa segmen.

Di antaranya segmen Bali sepanjang 84 kilometer, segmen Lombok-Sumbawa sepanjang 310 km, segmen Nusa Tenggara Timur sepanjang 236 kilometer, dan segmen Wetar sepanjang 216 kilometer.

Perkiraan magnitudo gempa terbesar yang bisa dicapai ada di segmen Lombok-Sumbawa. Di segmen ini, magnitudo gempa bisa mencapai skala 8. Perkiraan magnitudo maksimal di segmen lain rata-rata ada di skala 7,5.

Dengan potensi daya sebesar itu, tak mengherankan jika Nusa Tenggara disebut “sarang gempa” yang mematikan. Gempa-tsunami Flores 1992 dan gempa Lombok beberapa bulan lalu kiranya cukup sebagai tengara untuk selalu waspada. Langkah mitigasi dan penanggulangan bencana geologi mesti dipersiapkan serius untuk mencegah petaka serupa terulang.

Baca juga artikel terkait GEMPA FLORES atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan