Menuju konten utama
8 Maret 1965

Sejarah Gedung DPR/MPR: Digagas Sukarno, Dirampungkan Soeharto

Gedung DPR/MPR RI mulanya dirancang Sukarno untuk menggelar Conference of the New Emerging Forces. Sempat terbengkalai karena peristiwa G30S.

Sejarah Gedung DPR/MPR: Digagas Sukarno, Dirampungkan Soeharto
Header MOZAIK Gedung DPR MPR dibangun. tirto.id/Sabit

tirto.id - Salah satu momen bersejarah dalam peristiwa Mei 1998 saat menumbangkan Orde Baru adalah pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Massa aksi bahkan naik ke gedung Nusantara yang atapnya berbentuk kubah berwarna hijau. Gedung ini adalah tempat para anggota dewan bersidang sekaligus tempat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Sebagian masyarakat menyebut gedung ini sebagai "Gedung Kura-kura" karena atapnya menyerupai tempurung binatang tersebut. Dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sejarah, Realita, dan Dinamika (2006) diterangkan, atap kubah sebetulnya bukanlah tempurung kura-kura, melainkan melambangkan kepakan sayap burung garuda.

"Bentuk atap yang muncul secara tidak sengaja, tetapi pada waktu itu belum pernah diciptakan di seluruh dunia," tulis penyusun buku tersebut.

Pembangunan Gedung DPR/MPR RI secara resmi dimulai 8 Maret 1965, tepat 56 tahun yang lalu, melalui surat Keputusan Presiden RI Nomor 48. Presiden Sukarno menugaskan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT), Soeprajogi, untuk memimpin pembangunan.

Conference of the New Emerging Forces

Pembangunan gedung ini pada mulanya dimaksudkan untuk gelaran Conference of the New Emerging Forces (Conefo) pada 1966. Pada rencana awal, kompleks bangunan ini akan dilengkapi dengan gedung untuk proyek olahraga yang sebelumnya sempat dibangun semasa penyelenggaran kegiatan Asian Games. Sukarno mengharapkan Conefo menjadi konferensi internasional yang mendukung gagasan pembentukan tatanan dunia baru.

Sejumlah negara yang direncanakan ikut terlibat dalam Conefo antara lain negara-negara dari Asia, Afrika, Amerika Latin, negara sosialis dan komunis, serta berbagai kekuatan progresif kapitalis. Pembentukan Conefo dimaksudkan sebagai upaya untuk menandingi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Selain itu, pembangunan gedung ini juga bentuk ambisi Sukarno untuk menegaskan dan mengukuhkan kemerdekaan Indonesia melalui wujud fisik. Setelah perang kemerdekaan, Indonesia gencar menjadi tuan rumah bagi berbagai ajang internasional. Semangat yang terus dibawa adalah memberantas dan melawan penjajahan.

Sebagai turunan dari Keputusan Presiden, Soeprajogi kemudian menerbitkan Peraturan Menteri PUT Nomor 6/PRT/1965 tentang Komando Pembangunan Proyek Conefo. Sebelumnya, pemerintah sudah menggelar sayembara terbuka untuk menentukan rancangan gedung pada November 1964.

Sayembara diikuti oleh tiga perusahaan konsultan perencanaan dan satu peserta perseorangan. Tiga biro tersebut ialah Bina Karya, Virama Karya, dan Rencana Jaya. Sementara peserta perorangan ialah Soejoedi Wirjoatmodjo, seorang arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung dan Technische Universitat Berlin.

Desain Soejoedi kemudian yang terpilih. Selain bentuk bangunan yang dianggap unik, karyanya saat itu merupakan satu-satunya rancangan yang dilengkapi dengan maket. Selanjutnya, perancangan ditetapkan dan disahkan pada 22 Februari 1965.

Pemancangan tiang pertama, seperti ditulis dalam majalah Parlementaria (Nomor 2 Tahun XX, Januari 1988), dilakukan pada 19 April 1965 di kompleks Senayan Jakarta, bertepatan dengan sepuluh tahun Konferensi Asia Afrika. Pembangunan gedung ini melibatkan setidaknya 27.000 tenaga kerja dari berbagai macam latar belakang pendidikan yang saling bekerja sama menggarap pembangunan kawasan tersebut. Dosen dan mahasiswa ITB, UGM, dan ITS juga ikut dikerahkan.

Pada rencana awal, proyek ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus 1966, namun, peristiwa Gerakan 30 September 1965 membuat pembangunan terhenti dan Conefo dibatalkan oleh Soeharto pada 11 Agustus 1966.

Pada 9 November 1966, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Presidium Kabinet Ampera menginstruksikan untuk melanjutkan pembangunan gedung Conefo dan mengubah penggunaannya sebagai gedung parlemen melalui surat Nomor 79/U/Kep/11/1966.

Menteri Pekerjaan Umum kemudian membubarkan Komando Proyek New Emerging Force dan membentuk ulang badan pelaksana untuk Proyek Pembangunan Gedung DPR/MPR RI. Pembangunan gedung di atas lahan seluas kurang lebih 60 hektare ini selesai dibangun pada 1 Februari 1983.

Infografik Mozaik pembangunan gedung DPR/MPR

Infografik Mozaik pembangunan gedung DPR/MPR. tirto.id/Sabit

Perubahan Nama Gedung

Kompleks bangunan megah ini terbagi menjadi beberapa area. Bangunan yang paling dikenal adalah Gedung Nusantara. Di dalamnya terdapat Ruang KK 1, Ruang KK II, Ruang Rapat Komisi II dan IV, Ruang Sidang MPR RI, dan Museum DPR RI.

Nama dari Gedung Nusantara, juga gedung-gedung induk lainnya, mengalami perubahan beberapa kali. Pada mulanya menggunakan bahasa Inggris, yakni Main Conference Building (1968), Secretariat Building dan gedung balai kesehatan (1978), Auditorium Building (1982), dan Banquet Building (1983).

Kemudian sempat diubah menggunakan bahasa Sansekerta menjadi Grhatama, Lokawirasabha Tama, Ganagraha, Lokawirasabha, Pustaloka, Grahakarana, Samania Sasana Graha, dan Mekanik Graha.

Setelah Orde Baru tumbang, nama-nama gedung inu pun kembali mengalami perubahan. Menurut Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2013), saat itu tidak banyak lagi yang ingat nama-nama ruangan dalam gedung DPR/MPR. Hal itu karena semuanya menggunakan bahasa Sansakerta yang sulit, bahkan untuk lidah orang Jawa sekalipun.

"Ini mengilhami saya mengusulkan perubahan dan penyederhanaan nama ruang-ruang rapat di gedung wakil rakyat itu," tulisnya.

Salim Said kemudian membuat dan mengedarkan petisi untuk perubahan nama. Ia berhasil mengumpulkan 300 tanda tangan anggota parlemen dalam petisi tersebut. Ia kemudian memberikan petisi itu kepada Afif Ma’toef selaku Sekretaris Jenderal DPR/MPR pada September 1998.

Seperti dikutip dari Historia, berdasarkan rapat Tim Penggantian Nama-Nama Gedung DPR/MPR RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR Korkesra Fatimah Achmad, pada 14 Desember 1998, nama gedung-gedung DPR/MPR pun resmi diganti.

Grahatama menjadi Gedung Nusantara, Lokawirasabha Tama menjadi Gedung Nusantara I, Ganagraha menjadi Gedung Nusantara II, Lokawirasabha menjadi Gedung Nusantara III, Pustaloka menjadi Gedung Nusantara IV, Grahakarana menjadi Gedung Nusantara V, Samania Sasana Graha menjadi Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, dan Mekanik Graha menjadi Gedung Mekanik.

Baca juga artikel terkait GEDUNG DPR RI atau tulisan lainnya dari Hasya Nindita

tirto.id - Politik
Penulis: Hasya Nindita
Editor: Irfan Teguh