Menuju konten utama

Sejarah Ganti Nama Politikus dan Tentara Zaman Pergerakan

Beberapa aktivis pergerakan nasional mengubah nama mereka. Begitu pula para serdadu.

Sejarah Ganti Nama Politikus dan Tentara Zaman Pergerakan
Soewardi Soerjaningrat mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Ganti nama itu biasa di masa lalu. Tidak heran jika banyak orang yang punya beberapa nama atau alias. Sejarah Indonesia juga mencatat banyak sekali tokoh-tokoh yang berganti nama.

Misalkan, di sebuah dusun di Bagelen, ada seorang polisi desa bernama Ngadiman. Tak betah jadi polisi, dia kabur dan akhirnya ganti nama menjadi Hadiwijoyo. Dengan nama itu dia memulai hidup baru menjadi serdadu kompeni alias KNIL. Di masa tuanya, Ngadiman dikenal sebagai Ki Hadiwijoyo.

Ngadiman alias Hadiwijoyo bukan satu-satunya orang yang ganti nama dan akhirnya punya banyak nama. Seorang bangsawan Jawa lazimnya punya beberapa nama. Peter Carey, pakar Diponegoro, dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2012) menyebut Diponegoro punya nama kecil Raden Mas Mustahar dan setelah menikah menjadi Raden Mas Ontowiryo (hlm. 81 & 103).

Nama-Nama Tokoh Pergerakan

Bertahun-tahun setelah Ngadiman ganti nama jadi Hadiwijoyo dan jadi serdadu KNIL, seorang bangsawan Jawa keluarga Pakualaman yang baru pulang dari Belanda juga ganti nama. Anak bangsawan Pakualaman itu datang ke negeri keju bukan untuk sekolah, tapi dalam rangka pembuangan bersama dua sahabatnya.

Pada 1913, itu Raden Mas pernah bikin tulisan yang bikin marah pemerintah kolonial. Judulnya "Als ik een Nederlander was" (Seandainya Aku Seorang Belanda). Akhirnya si bangsawan itu, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, dibuang ke Belanda bersama Eugene Francois Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Serangkai pemimpin Indische Partij.

Sepulang dari Belanda, pada 1922 Soewardi bikin sekolah, yang belakangan dikenal sebagai Taman Siswa. Orang pergerakan ini pun tak lupa menyederhanakan namanya jadi Ki Hadjar Dewantara.

Sementara itu, Haji Moechlas kena tahan pemerintah kolonial setelah gagalnya Pemberontakan PKI 1926. Moechlas bukan satu-satunya haji yang kena tahan. Tak hanya ditahan, Moechlas juga akhirnya kena buang ke Boven Digoel. Maka pergilah dia ke pedalaman Papua itu dengan memboyong keluarganya.

Moechlas punya anak laki-laki bernama Lukman. Dia salah satu bocah yang numpang besar di Digoel. Ketika Lukman masih belasan tahun, tibalah di Digoel seorang pemuda didikan Belanda yang ikut pergerakan seperti Moechlas. Moechlas begitu kagum pada pemuda ini. Lukman pun belajar banyak dari pemuda tersebut. Nama si pemuda: Mohamad Hatta.

Hatta tidak lama di Digoel, dia keburu dipindah ke Banda Neira. Moechlas tentunya tidak perlu kangen dengan Hatta yang dikaguminya karena Lukman diberi nama depan Mohamad Hatta. Hingga di masa dewasa dan hingga meninggalnya, dia dikenal sebagai M.H. Lukman.

M.H. Lukman, yang di zaman Jepang pernah ditahan karena ikut gerakan anti-Jepang, pada masa Sukarno pernah jadi Anggota DPR Gotong Royong dan Menteri Negara. Di zaman Orde Baru, M.H. Lukman diingat banyak orang sebagai tokoh PKI saja, tidak dipedulikan apa yang dilakukannya sebelum 1945 dan hidupnya yang sederhana sebagai pejabat.

Jika Lukman di masa mudanya bertemu Hatta di Digoel, maka Hanafi bertemu dengan Sukarno waktu Sukarno dibuang ke Bengkulu, sekitar 1937. Hanafi cepat berkawan dengan Sukarno yang dianggap pemimpin dan guru. Hanafi yang keturunan kepala marga di sana tidak ambil pusing ketika ada yang bilang Sukarno orang berbahaya.

Kedekatan itu berlanjut waktu Sukarno jadi Presiden RI. Hanafi pernah dijadikan Menteri Pengerahan Tenaga Rakyat pada 1957. Selain itu, Sukarno juga memberi tambahan nama depan padanya: Anak Marhaen Hanafi, hingga dia dikenal sebagai A.M. Hanafi.

“Sebagai pemuda, saya bangga kalau Bung Karno menambahkan (nama) Anak Marhaen pada Hanafi, nama yang diberikan oleh ayah dan ibuku,” tulis A.M. Hanafi dalam A.M. Hanafi menggugat: kudeta Jend. Soeharto, dari Gestapu ke Supersemar: catatan pengalaman pribadi seorang eksponen Angkatan 45 (1998: 101).

Tak hanya pada Hanafi dan Lukman. Beberapa tokoh lain, yang tercitra antagonis di masa Orde Baru, pun punya nama-nama unik. Ketua CC Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit nama aslinya adalah Ahmad Aidit. Waktu kecil dia juga mengaji di Belitung. “Aidit telah mengganti namanya dari Ahmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit, ketika ia mulai aktif dalam pergerakan,” tulis Asahan Aidit, saudaranya, dalam Alhamdulillah: roman memoar (2006: 285).

Sebagai abang dari adik-adiknya, panggilan Ahmad Aidit adalah Bang Amat.

Tentara Ganti Nama

Di kalangan tentara yang terlibat dalam Revolusi Indonesia, ganti nama juga bukan hal aneh. Di zaman Revolusi, datanglah seorang pemuda Bugis Bone keturunan bangsawan. Dia hendak berjuang membela Republik Indonesia. Andi Momang namanya. Dia pernah jadi anak buah Letnan Kolonel Kahar Muzakkar juga di Yogyakarta. Di kota itu, Andi Momang yang pendiam pernah menikah dengan perempuan Jawa, anak dari orang dekat Sukarno.

Pada awal 1950, Andi Momang sudah jadi Kapten Polisi Militer dan bertugas di Sulawesi Selatan. Di daerah itu bahkan akhirnya menjadi Panglima Kodam di Sulawesi Selatan. Di awal 1965, bekas atasannya di Jawa, Kahar Muzakkar, yang belasan tahun jadi pemimpin pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sulawesi Selatan, dieksekusi ketika Andi Momang jadi panglimanya.

Tentu saja Andi Momang terkenal, meski tidak dengan nama itu. Andi Momang nama kecilnya. Koleganya sebelum zaman Orde Baru mengenalnya dengan nama Andi Muhammad Jusuf Amir, yang belakangan tidak lagi pakai gelar bangsawannya, Andi.

Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun 1966 (2006: 222) menyebut nama lengkapnya semula adalah Andi Muhammad Jusuf Amir, lalu namanya tinggal Muhammad Jusuf saja dan disingkat M. Jusuf. Pergantian nama itu, menurut Rum Aly, punya efek pada bangsawan lain.

“Setelah Muhammad Jusuf menanggalkan gelarnya, beberapa kalangan bangsawan menjadi ‘gamang’ dan ’risih’ dengan gelar kebangsawanannya, terutama di kalangan militer. Kegamangan itu tercermin dari tidak dicantumkannya lagi gelar-gelar di depan namanya, namun tidak pernah menyatakan menanggalkan gelar itu, dan sehari-hari tetap menerima perlakuan-perlakuan hormat dari lingkungannya,” tulis Rum Aly.

Hingga hari ini masih banyak orang bernama depan Andi. Kembali soal Andi Momang alias M. Jusuf, di mata prajurit bawahan zaman Orde Baru ia begitu populer karena dianggap telah menjadi Panglima ABRI yang peduli pada kesejahteraan prajurit bawahan.

Infografik Mengubah Nama Mengganti Pesona

Infografik Mengubah Nama, Mengganti Pesona

Tokoh militer Indonesia lain yang ganti nama adalah Koesman. Tapi nama Kusman tidak seharum M. Jusuf. Karena Kusman adalah nama asli daripada bekas bawahan Soeharto di Jawa Tengah yang dikenal sejarah sebagai Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri.

Orang Indonesia pasti tahu pemimpin Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan jenderal-jenderal di pucuk Angkatan Darat. Tapi Untung sendiri juga letnan kolonel Angkatan Darat, yang pernah jadi komandan batalion kawal kehormatan Cakrabirawa.

Koesman, seperti ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010: 415-416), yang mantan Heiho ini bergabung dengan Batalion Sudigdo (TNI). Ketika pecah Peristiwa Madiun, Koesman yang berpangkat sersan mayor ikut-ikutan ke Madiun. Setelah Peristiwa Madiun, Koesman tetap di TNI dan namanya sudah jadi Untung.

Soal akhir hidup Untung, dia tidak seperti namanya, akhir hidupnya buntung.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan