Menuju konten utama

Sejarah Film Impor Amerika dan Siasat Sukarno Menghimpun Dana

Film impor AS membanjiri bioskop Indonesia sejak awal 1950-an. Sukarno memanfaatkannya sebagai skema pinjaman tanpa bunga.

Sejarah Film Impor Amerika dan Siasat Sukarno Menghimpun Dana
Usmar Ismail (kiri tengah berkacamata) dalam sebuah konferensi pers mengenai persoalan film Indonesia pada 1953. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Hari itu, awal 1950, Istana Kepresidenan tengah mempersiapkan penyambutan tamu penting. Sang tamu adalah utusan dari Motion Picture Export Association (MPEA) Amerika. Utusan yang tidak diketahui namanya itu ternyata tidak datang sendirian. Ia ditemani Howard Palfrey Jones, diplomat Amerika yang nantinya menjabat Duta Besar Amerika untuk Indonesia pada 1958.

Tujuan kedatangan utusan MPEA yang ditemani Howard Jones adalah menemui Sukarno. Sang utusan membawa perintah penting dari negara induk: ia ditugaskan meyakinkan Sukarno agar film Amerika diizinkan kembali beredar di Indonesia seperti keadaan sebelum perang.

Usulan tersebut secara spontan diterima Sukarno. Melanjutkan respon positifnya, Sukarno membuat tuntutan balik. Kepada sang utusan, Bung Karno mengusulkan skema dana pinjaman negara yang diambil dari pajak tontonan film-film Amerika yang diputar di bioskop seluruh Indonesia. Sebanyak 85% share film Amerika harus dititipkan kepada Bank Indonesia atas nama MPEA. Dana film impor tersebut akan diperlakukan sebagai dana pinjaman tanpa bunga Pemerintah Republik Indonesia.

Agar kerja sama yang saling menguntungkan tersebut dapat lebih terorganisasi, sang utusan diberi izin oleh Sukarno untuk membuka kantor di Indonesia. Kantor perwakilan khusus MPEA ini kemudian dikenal dengan nama American Motion Picture Association in Indonesia (AMPAI). Pada 1950 AMPAI resmi berdiri dengan direktur utama Bill Palmer. Tugas utamanya menjamin monopoli impor film Amerika ke Indonesia.

Kisah kedatangan utusan MPEA tersebut diceritakan secara singkat oleh Johan Tjasmadi dalam 100 Tahun Sejarah Bioskop Indonesia (1900-2000) (2008). Dalam industri film Indonesia, Johan bukan orang sembarangan. Ia pernah menjabat pimpinan bioskop Orient di Jakarta. Kariernya sebagai "pengawal" bidang perbioskopan tanah air terus dilakoninya selama lebih dari 30 tahun melalui Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Tak hanya itu, ia juga pernah aktif dalam Dewan Film Nasional serta pernah menjabat anggota DPR-MPR selama 3 periode.

Johan tidak merinci lebih jauh apa tujuan Bung Karno membuka rekening pinjaman dari AMPEA. Namun keberadaan rekening maskapai perfilman asing ini sudah bukan rahasia lagi di kalangan orang film. Pada 1957 kalangan industri film tanah air yang diwakili Persatuan Pengusaha Film Indonesia (PPFI) menuntut pemerintah mencairkan dana pinjaman tersebut untuk disalurkan kepada produser lokal. Tuntutan yang berujung demonstrasi ini menjadi awal kericuhan politik dalam industri film Indonesia.

Keluar dari Kondisi Buruk

Buruknya kondisi perfilman Indonesia memang sudah menjadi perhatian khusus para sineas semenjak pengakuan kedaulatan (1949). Keterbatasan modal dan infrastruktur menjadi beberapa alasan film Indonesia tidak berkembang baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Keadaan ini diperparah oleh masifnya arus film impor berbahasa India, Mandarin, dan Melayu yang selalu berhasil menggeser film Indonesia di jaringan bioskop golongan dua dan tiga.

Sementara bioskop golongan satu yang didominasi elite perkotaan berselera tinggi sudah dimonopoli AMPAI. Krishna Sen dalam Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru (2009: 42) menyebut lompatan impor film Amerika ke Indonesia pada saat itu mencapai hampir 100%.

Dalam artikelnya yang terbit di Indonesia Raya edisi 31 Desember 1956, D.H. Assegaf melaporkan dengan lebih terperinci kondisi film impor di Indonesia. Terhitung sejak 1950 hingga 1952, jumlah film impor asal Amerika melambung hingga 600-700 judul. Angka ini lantas menurun ketika impor film India mulai merangkak naik. Jumlah film Amerika perlahan merosot dari 531 judul pada 1953 menjadi 352 di tahun 1954.

Meskipun disaingi film India, dominasi film Amerika nyatanya tidak goyah. Angka impor film Amerika kembali naik secara signifikan menjelang 1955. Monopoli suplai film oleh AMPAI kembali berjaya tatkala produksi film tanah air terseok-seok. Mengenai kondisi ini, S.M. Ardan dalam manuskrip bertajuk 90 Tahun Bioskop di Indonesia yang belum sempat diterbitkan mengulang penuturan pejabat AMPAI bernama C.E. Ziegertz pada 1954. Menurutnya, AMPAI menguasai 90% pertunjukan film di bioskop-bioskop golongan satu (hlm. 48).

Setelah Pemilihan Umum 1955, produksi film Indonesia memang menurun tajam. Sebaliknya, film impor tengah dalam kondisi prima. Akibat dari kesenjangan ini, banyak sineas film yang merasa perlu turun tangan. Masih di tahun yang sama, masyarakat film mulai berani turun ke jalan seraya menuntut pemerintah menurunkan kuota film asing.

Tetapi tuntutan tersebut tidak dialamatkan langsung kepada film impor Amerika. Mengingat kualitas film Indonesia yang masih rendah, sebagai gantinya masyarakat film secara sadar menolak peningkatan kuota film India dan dari beberapa wilayah Asia lain yang mulai merangkak naik sejak 1953.

Di saat yang bersamaan, sineas tanah air mulai melakukan perbaikan diri. Demi meningkatkan mutu agar dapat bersaing dengan film Amerika di bioskop golongan satu, banyak di antara mereka yang memutuskan menerima bantuan studi di bidang film dari lembaga-lembaga asing. Baik pegawai Perusahaan Film Negara (PFN)—saat ini bernama Produksi Film Negara—maupun perorangan berduyun-duyun diberangkatkan ke negara-negara Blok Barat untuk belajar sinematografi.

Masuk ke Bioskop Kelas Satu

Berkat teknik perfilman Barat yang mereka pelajari, film-film Indonesia perlahan-lahan berhasil mendapat tempat di bioskop golongan satu. Menurut Misbach Yusa Biran dalam Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia (2009), kisah keberhasilan pertama film Indonesia menembus tembok diskriminasi dapat dirunut dari perjuangan Usmar Ismail bersama kelompok mahasiswa.

Sepenuturan Misbach, selepas menyelesaikan studinya di Amerika, Usmar Ismail mulai menjalin hubungan dekat dengan Liga Film Mahasiswa (LFM). Kelompok ini dikenal sebagai suborganisasi Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD) yang memiliki kegiatan rutin menonton dan mendiskusikan film-film bagus, khususnya film Amerika. LFM dikenal memiliki akses menonton di Kedutaan Amerika dan kenal dekat dengan Bill Palmer. Berkat masukan dari para mahasiswa, Usmar berhasil menyelesaikan film drama-komedi berjudul Krisis, yang berkisah mengenai percatutan perumahan di Jakarta (hlm. 140)

Usmar lantas menawarkan Krisis kepada bioskop Capitol, salah satu bioskop terbesar yang terletak di Pintu Air, Jakarta Pusat. Tawaran Usmar mendapat respons sinis dari Weskin, kepala Capitol saat itu. LFM lantas mengatur siasat agar Krisis dapat diputar di bioskop golongan satu.

Mereka menjatuhkan pilihan: Krisis harus diputar di bioskop Metropole. Tak dinyana, manajer Metropole Lie Khik Hwie sangat menyukai Krisis. Meski sempat mendapat protes dari perwakilan salah satu perusahaan film Amerika, Krisis tetap diputar dan meraup sukses komersial yang memuaskan.

Infografik Politik Film impor era sukarno

undefined

Pada pertengahan 1954, atas prakarsa Walikota Jakarta Sudiro dan Panitia Sensor Film, Maria Ulfah, film-film Indonesia berkualitas mulai dipertunjukkan di bioskop-bioskop golongan satu. Anjuran wajib putar ini meloloskan Antara Tugas dan Tjinta (1954) ke dua bioskop termasyhur di Jakarta, Capitol dan Menteng.

Pendidikan film dari negeri Paman Sam lantas menimbulkan permasalahan ideologi. Pada 1956, dalam acara ramah tamah Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Bung Karno melontarkan kritikan kepada produser film Indonesia yang dianggapnya semakin jauh tenggelam ke dalam kode-kode sinema Amerika.

Tak butuh waktu lama sampai pidato Bung Karno tersebut dijadikan landasan organisasi-organisasi simpatisan PKI untuk mulai memusuhi film-film buatan produser Indonesia yang condong ke Barat. Bioskop-bioskop golongan dua dan tiga yang didominasi anggota Serikat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis) mulai berani menolak pemutaran film Indonesia di tahun 1956. Film Indonesia pun berada dalam keadaan terjepit. Di bioskop golongan dua dicekal, di golongan satu pun kesulitan tayang.

Sadar kekurangan perfilman Indonesia berada pada aspek kapital, PPFI mengeluarkan tuntutan pada 1957. Mereka meminta pemerintah menyalurkan dana pinjaman hasil perjanjian dengan serikat distributor film Amerika kepada produser film Indonesia. Puncak dari kekecewaan ini ialah penutupan studio-studio anggota PPFI selama dua bulan. Studio kembali dibuka setelah keluar pernyataan dari Kementerian Perekonomian yang akan membuat penggolongan usaha khusus perfilman.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Film
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Ivan Aulia Ahsan