Menuju konten utama
7 November 1945

Sejarah Emas Masyumi yang Tak Mampu Diulangi Partai Bulan Bintang

Sebagai penerus Masyumi yang pernah menjadi kekuatan politik utama di Indonesia, Partai Bulan Bintang belum mampu meraih prestasi serupa.

Sejarah Emas Masyumi yang Tak Mampu Diulangi Partai Bulan Bintang
Header Mozaik Masyumi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Masyumi pertama kali berdiri pada zaman Jepang, tepatnya pada November 1943. Jepang memasukkan Islam Indonesia sebagai bagian dari politik perangnya. Pada Mei 1945, Soeara Muslimin Indonesia menyerukan para pemimpin Masyumi untuk melepaskan diri dari Jepang dan mendirikan Masyumi baru. Maka pada 7 November 1945, tepat hari ini 75 tahun lalu, berdirilah Partai Masyumi.

“Sejak didirikan bulan November 1945 hingga kongres bulan Desember 1949, saat barisan muda pimpinan Mohammad Nastsir merebut kepemimpinan partai, Masjumi membutuhkan waktu empat tahun untuk membangun kapaduan (koherensi) politiknya,” tulis Rémy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral (2013).

Pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaan, dalam pemerintahan yang berkali-kali bongkar pasang kabinet, orang-orang Masyumi turut menjadi menteri meskipun atas nama pribadi, bukan organisasi. Pada 1947 orang-orang Masyumi yang berasal dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) menghidupkan kembali partai tersebut. Tapi perpecahan tak dapat dihindari.

Warsa 1952, NU, sebagai salah satu organisasi Islam besar di Masyumi, memisahkan diri. Mereka membuat partai politik sendiri. Keluarnya NU tak membuat Masyumi khawatir.

Menurut Rémy Madinier, karena partai Islam lainnya tidak berhasil menjadi alternatif meyakinkan di pentas politik, Masyumi menjadi sangat yakin sebagai satu-satunya aspirasi Islam, sehingga para pemimpinnya menyambut baik keputusan NU untuk keluar dari Masyumi.

Mengungguli Lawan dan Kawan Lama

Tak ada partai politik yang dibenci Masyumi melebihi kebenciannya kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai yang sempat karam setelah peristiwa pemberontakan Madiun pada 1948 ini ternyata mampu bangkit dengan dipelopori anak-anak muda. Mereka berhasil meloloskan PKI dari pelarangan.

D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Njoto mengambilalih kendali politbiro dan menerapkan aksi penggalangan massa sehingga PKI berkembang pesat. Pertumbuhan partai ini membuat Masyumi khawatir dan membuat kedua partai akhirnya menjadi musuh abadi.

Pada 1951, saat Soekiman Wirjosandjojo (tokoh Masyumi) menjadi Perdana Menteri, terjadi gelombang aksi mogok yang melumpuhkan negeri. Selain itu, menurut Rémy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral (2013), pemerintah juga menuding terdapat kelompok-kelompok bersenjata pro-komunis di pergunungan Jawa Tengah yang melancarkan serangan bersenjata di Tanjung Priok.

“[…] Pemerintahan Soekiman yang menuduh ada persekongkolan yang mengancam keamanan negara, melancarkan operasi penahanan mendadak terhadap ribuan pengikut komunis,” tulisnya.

Namun, karena tak ditemukan bukti, para pengikut komunis itu kemudian dibebaskan. Tak bisa dipungkiri, peristiwa ini semakin memperuncing perseteruan antara Masyumi dan PKI.

Salah seorang tokoh Masyumi yang amat membenci kaum komunis adalah Isa Anshary, perwakilan dari Persatuan Islam (Persis). Dari 1953 sampai 1958, ia menerbitkan majalah anti-komunis dan membentuk Front Anti Komunis.

Warsa 1954, atau setahun sebelum pemilu digelar, Masyumi giat melancarkan serangan kepada PKI lewat sejumlah karikatur. Sebagai contoh, pada Hikmah edisi 10 April 1954, dimuat karikatur yang menggambarkan kiblat PKI kepada Moskow dan Beijing.

Gambar tersebut menampilkan seseorang dengan logo PKI di lengan sebelah kiri, yang tengah membungkuk memberi hormat kepada dua kursi kosong (Malenkov dan Mao Tse Tung). Sementara beberapa orang di belakangnya yang diberi keterangan sebagai undangan/tamu tampak memegang kepala tanda keheranan.

Karikatur lain terdapat juga dalam Hikmah edisi 26 Juni 1954. Kali ini gambar yang ditampilkan adalah seseorang dengan baju bertuliskan “PKI” tengah memotong leher banteng hingga putus dengan celurit dan palu.

Empat kaki banteng itu masing-masing bertuliskan: “Kemanusiaan”, “Keadilan Sosial”, “Kedaulatan Rakyat”, dan “Kebangsaan Indonesia”. Pada bagian kepala yang dipenggal itu terdapat tulisan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pesan karikatur ini sangat jelas: PKI hendak menghilangkan sila ketuhanan.

“Perseteruan antarkedua partai kadang kala meningkat lebih dari sekadar polemik. Mulai tahun 1954, insiden bentrokan fisik meletus berulang kali,” tulis Rémy Madinier.

Infografik Mozaik Masyumi

Infografik Mozaik Masyumi. tirto.id/Sabit

Tahun 1955, saat pemilu akhirnya berlangsung, Masyumi berhasil mengungguli NU (kawan lama), PKI (musuh bebuyutan), PSII (kawan lama), dan partai-partai lain yang lebih kecil. Masyumi hanya dikalahkan PNI yang mempunyai Sukarno sebagai sosok karismatik pendulang suara.

Meski terpecah dengan keluarnya beberapa organisasi, serta mendapat serangan sengit dari kaum komunis, Masyumi nyatanya mampu mempertahankan posisi sebagai partai politik Islam yang paling dipercaya umat.

Riwayat Masyumi berakhir pada 1960. Itu terjadi karena para pemimpinnya terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958.

Waktu bergulir, rezim berganti. Sukarno jatuh, Orde Lama pun berakhir. Dalam 32 tahun pemerintahan Orde Baru, kekuatan politik Islam dikerdilkan dengan diberlakukannya penyederhanaan partai politik lewat fusi. Masyumi benar-benar terbenam, sisa-sisa pemimpinnya memilih aktif di bidang dakwah.

Terhitung hanya 15 tahun Masyumi bertahan sejak pendiriannya yang baru pada 1945 sampai 1960. Dalam waktu yang relatif singkat itu Masyumi pernah menjadi salah satu kekuatan politik utama di Indonesia.

Ketika Soeharto akhirnya jatuh dan era Reformasi bergulir, Masyumi disebut-sebut bangkit dari kubur lewat PBB yang dianggap sebagai penerusnya. Namun, bagaimana kiprah PBB dalam gelombang politik nasional pascareformasi? Menyedihkan.

Pada Pemilu 1999, PBB hanya mendapatkan 13 kursi di DPR. Lima tahun berikutnya, jumlah kursi PBB berkurang menjadi 11. Dan mala mulai menimpa PBB pada Pemilu 2009. Suara mereka anjlok lebih dari satu juta, sehingga tak lolos ambang batas parlemen, artinya tidak mendapat kursi satu pun di DPR. Tahun 2014, PBB belum bisa bangkit dan kembali gagal mendapatkan kursi. Lalu pada Pemilu 2019, nasib PBB masih tetap terbenam. Mereka untuk kesekian kalinya tak punya perwakilan di DPR.

Ya, PBB memang belum mampu meraih prestasi segemilang Masyumi. Mereka bahkan berkali-kali “terdegradasi” dari parlemen.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 April 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PEMILU atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Politik
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan