Menuju konten utama
5 Juli 1959

Sejarah Dekrit 5 Juli 1959: Politik Tentara & Kediktatoran Sukarno

Bagi banyak pihak, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dianggap baik. Sebagian yang lain menganggapnya kemunduran.

Sejarah Dekrit 5 Juli 1959: Politik Tentara & Kediktatoran Sukarno
Ilustrasi Sukarno membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Era 1950-an adalah dekade kisruh Indonesia. Zaman ini memang penuh pergolakan. Tidak hanya pergolakan fisik seperti DI/TII, PRRI-Permesta, dan kekacauan lain, tapi juga pergolakan di parlemen. Saat itu, kabinet dan perdana menterinya kerap bergonta-ganti.

Ini adalah masa penuh kerja bagi Angkatan Darat, yang kala itu dipimpin Abdul Haris Nasution. Angkatan Darat bahkan mengalami banyak problem internal di periode ini, salah satunya adalah Peristiwa 17 Oktober 1952.

Di masa setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS), Undang Undang Dasar RIS pun tidak terpakai lagi. Konstitusi yang dipakai adalah Undang-undang Dasar Sementara (UUDS), hingga terbentuk Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 yang sejak 10 November 1956 ditugasi membuat undang-undang dasar. Sampai meletusnya PRRI-Permesta pada 1958, Badan Konstituante masih belum juga menyelesaikan tugasnya.

Pada 22 April 1959, dalam sidang Konstituante, Sukarno menganjurkan agar bangsa dan negara Indonesia kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Lebih dari sebulan kemudian, pada 30 Mei 1959, pemungutan suara dilakukan. Sebanyak 269 suara setuju untuk kembali kepada UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Karena tidak memenuhi kuorum, maka pemungutan suara ulang pun dilakukan. Namun pemungutan suara ulang itu tetap gagal.

Sejak 3 Juni 1959, reses di Konstituante pun diberlakukan. Di saat reses ini, Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, yang kala itu menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), segera mengambil tindakan.

Atas nama Pemerintah dan Penguasa Perang Pusat (Paperpu), ia mengeluarkan Peraturan No.prt/Peperpu/040/1959, yang isinya melarang kegiatan politik. Partai Nasional Indonesia (PNI), yang dipimpin mantan Walikota Jakarta, Suwirjo, berada di belakang Sukarno. Menurut terbitan PNI yang berjudul P.N.I dan Perdjuangannja (1960: 81), partai ini kemudian menyimpulkan bahwa Dekrit Presiden adalah cara terbaik untuk memecah kebuntuan konstitusi.

Kembali ke UUD 1945

Kemudian, seperti dicatat Harun Al Rasjid dalam Sekitar Proklamasi, Konstitusi dan Dekrit Presiden (1968: 34), pada 16 Juni 1959, Ketua Umum PNI Suwirjo mengirim kawat (pesan) kepada Sukarno, yang saat itu sedang berada di Jepang.

Sukarno tiba di tanah air pada akhir Juni. Menurut catatan Ruben Nalenan dalam Iskaq Tjokrohadisurjo: Alumni Desa Bersemangat Banteng (1982: 153), “Ia [Sukarno] bekerja keras untuk mengeluarkan dekrit.”

Sukarno tak hanya didukung PNI—partai yang telah dibangunnya sejak muda tapi pernah mati itu—tapi juga didukung Angkatan Darat dan kepala stafnya yang loyal kepadanya. “Dengan mendapat dukungan penuh Angkatan Darat, maka diberlakukanlah kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959,” tulis Anhar Gonggong dalam Amandemen Konstitusi, Otonomi Daerah, dan Federalisme (2001: 37).

Menurut Anhar Gonggong pula, Konstituante tak bisa dikatakan gagal membuat undang-undang dasar baru, melainkan belum selesai dengan tugasnya itu.

Dalam dekrit yang dikeluarkan pada 5 Juli 1959, tepat hari ini 60 tahun lalu, itu, Sukarno menyebut, “Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Menetapkan pembubaran konstituante.”

Hal terpenting lain dalam dekrit tersebut tentu saja: “Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi, bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-undang Dasar Sementara.”

Selain pembubaran Konstituante, diumumkan pula pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah utusan golongan dan daerah. Juga dibentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Adnan Buyung Nasution, yang ketika dekrit dikeluarkan sedang kuliah di Australia, menyatakan bahwa perubahan politik tersebut baru kemudian diketahuinya.

“Dengan Dekrit Presiden Sukarno bertanggal 5 Juli 1959 yang banyak dikecam itu, sistem pemerintahan diubah kembali ke keadaan yang terjadi pada tiga bulan pertama kemerdekaan, sebelum dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X,” tulis Adnan Buyung dalam Demokrasi Konstitusional: Pikiran dan Gagasan (2010: 71).

Intinya, di mata Adnan Buyung, “Indonesia kembali ke sistem otoriter.”

Sukarno Kian Otoriter

Mengembalikan Indonesia kepada UUD 1945 merupakan keputusan politik yang aneh dan membingungkan. Dalam hal ini, Indonesia memberlakukan kembali konstitusi yang sudah tidak terpakai. Tapi keputusan itu dianggap sesuatu yang jempolan bagi banyak orang Indonesia masa kini. Mereka tak hiraukan sisi lain dari dekrit: membuat Sukarno makin berkuasa.

Bagi orang Indonesia yang terpapar indoktrinasi dan propaganda Orde Baru, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah terobosan politik yang terpuji. Kenyataannya, setelah Dekrit Presiden, semua kekuasaan pemerintahan berada di tangan presiden. Inilah era yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Sebuah periode politik yang lahir berkat dukungan Angkatan Darat, meski beberapa pimpinan Angkatan Darat di akhir-akhir pemerintahan Sukarno juga tidak menyukainya.

Di masa Demokrasi Terpimpin, tidak terdengar lagi jabatan perdana menteri. Meski menjelang kejatuhan Sukarno, ia punya tiga Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Ada Subandrio, Chaerul Saleh, dan Johannes Leimena.

Infografik Mozaik Inti Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Infografik Mozaik Inti Dekrit Presiden 5 Juli 1959. tirto.id/Nauval

Di tahun-tahun berikutnya, Sukarno justru dijadikan presiden seumur hidup. Pelaku dari penetapan itu tak lain adalah MPRS. Dan Sukarno yang makin uzur menerima begitu saja, bahkan bangga sekali, dengan kebijakan yang tidak demokratis itu.

“Pada tanggal 18 Mei 1963, melalui sidang MPRS, ditetapkan Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup, suatu keputusan yang bertentangan UUD 1945. Ketetapan ini ditandatangani oleh ketua dan wakil-wakil MPRS, yaitu Chaerul Saleh (Murba), Ali Sastroamidjojo (PNI), Idham Chalid (NU), DN Aidit (PKI) dan Walujo Puspoyudo (Tentara),” tulis Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dan Politik (1996: 107).

Sangat mustahil jika Waluyo, yang berasal dari Angkatan Darat, bertindak sendiri tanpa pembicaraan dengan pimpinannya, Letnan Jenderal Ahmad Yani. Kala itu, Nasution sudah jadi Menteri Pertahanan. Setelah G30S gagal, pada 1967, Nasution, yang tidak lagi punya pasukan, ditunjuk untuk memimpin MPRS gaya baru yang berisi unsur-unsur anti-komunis dan anti-Sukarno.

Jika dulu MPRS mendukung Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup, MPRS gaya baru bernafsu menjatuhkannya sebagai presiden. Nasution, yang dulu ikut melapangkan jalan Demokrasi Terpimpin, akhirnya ikut menjatuhkan Demokrasi Terpimpin yang katanya otoriter itu.

Setelah itu, Nasution dan MPRS gaya baru juga ikut melahirkan Orde Baru dengan jargon Demokrasi Pancasila—yang bagi sebagian orang tak jauh nuansanya dengan Demokrasi Terpimpin.

=========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 5 Juli 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan