Menuju konten utama

Sejarah Ciu: Dianggap Miras Lokal, Dikenal Sejak Zaman Kerajaan

Ciu mewarnai sejarah minuman tradisional fermentasi asli Indonesia yang sudah ada sejak zaman kerajaan.

Sejarah Ciu: Dianggap Miras Lokal, Dikenal Sejak Zaman Kerajaan
Minuman keras oplosan jenis ciu yang disita di Mapolres Temanggung, Jateng, Selasa (23/7). ANTARA FOTO/Anis Efizudin.

tirto.id - Rekaman video seorang laki-laki yang mencekoki seekor kucing miliknya dengan ciu hingga mati viral di sosial media. Ciu identik sebagai salah satu ragam minuman keras (miras) tradisional di Indonesia yang punya sejarah panjang. Minuman lokal yang mengandung alkohol ini sudah dikenal sejak zaman kerajaan.

Peristiwa yang menimpa kucing malang tersebut kemudian diketahui terjadi di Tulungagung, Jawa Timur. Pemuda yang diduga sebagai pemilik kucing dan temannya yang merekam video itu sudah diperiksa oleh pihak yang berwajib.

Menurut pemberitaan sejumlah media, Kapolres Tulungagung AKBP Eva Guna Pandia menyatakan bahwa cairan yang diminumkan kepada kucing tersebut bukanlah ciu, melainkan air kelapa muda dengan alasan si kucing diduga keracunan makanan.

Kendati begitu, catatan yang sudah terlanjur dituliskan pelaku di InstaStory dengan akun Instagram @azzam_cancel jelas-jelas menyebut ciu. “Percobaan ciu terhadap kucing anggora," tulis si pemuda dalam rekaman itu.

Usai dicekoki ciu, si kucing terlihat kejang-kejang dan terus direkam hingga menemui ajal. “Setelah 2 jam empedu bekerja keras mengeluarkan racun, membuat tubuh si anggora bergetar,” demikian catatan status selanjutnya.

Ia menambahkan, “50% ciu bekonang sudah masuk dalam darah. Merusak sebagian sistem saraf dalam otak. Otak tidak mampu memberikan instruksi kepada organ tubuh sehingga pandangan kabur dan kesadaran mengurang. Detak jantung mulai melemah.”

“Terimakasih karenamu aku dapat membuat status ini. Semoga kau tidak pernah tenang di alam sana.. dendamlah kepadaku," cuit si pria dalam video berdurasi 1.23 menit itu.

Salah Kaprah Memaknai Ciu

Ciu adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut jenis arak tradisional di Indonesia, terutama yang berkembang di beberapa daerah di wilayah Jawa Tengah. Ada sejumlah pendapat yang berbeda mengenai ciu, termasuk terkait bahan pembuatnya.

Henri Saputro dalam The Counseling Way: Catatan Tentang Konsepsi dan Keterampilan Konseling (2018), misalnya, menuliskan ciu adalah minuman beralkohol dari fermentasi ketela pohon cair yang terbuang dalam proses pembuatan tape.

Ada pula yang menyebut ciu dibuat dari hasil penyulingan tetes tebu atau limbah cair yang terbuang dalam proses pembuatan gula dan sudah difermentasi, seperti yang dikutip dari Majalah Tempo (Volume 24, 1994).

Biasanya, jenis-jenis penyebutan ciu dan perbedaan bahan pembuatnya itu didasarkan pada wilayah-wilayah tertentu. Ciu sendiri merupakan istilah yang dianggap umum untuk menyebut minuman fermentasi tradisional ini.

Ciu yang terbuat dari tetes tape konon berasal dari Banyumas dan sekitarnya, seperti Sumpiuh, Purbalingga, Banjarnegara, Kroya, hingga Cilacap, atau daerah-daerah di Jawa Tengah di bagian barat.

Sedangkan ciu yang berbahan tetes tebu paling terkenal dari Desa Bekonang, Sukoharjo, dekat Solo. Oleh karena itu, ciu jenis ini kerap disebut dengan nama Ciu Bekonang atau Ciu Cangkol, terkadang disebut pula sebagai arak khas Solo.

Di beberapa desa di Banyumas maupun Sukoharjo, ciu diproduksi secara rumahan oleh penduduk setempat. Maka, ketika ciu disebut sebagai minuman keras, para perajin ciu di desa-desa itu merasa agak risih. Boleh jadi, ada salah kaprah dalam memaknai arti ciu.

Menurut Sutarmo yang pada 2016 menjabat sebagai Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Sukoharjo, ciu sebenarnya bukan jenis minuman keras seperti yang terlanjur lekat di masyarakat selama ini.

“Ciu itu ‘kan sebetulnya bukan minuman, itu bahan mentah yang belum jadi alkohol [etanol],” jelas Sutarmo dikutip dari laporan Liputan6 (9 Desember 2016).

Pemerintah Daerah Sukoharjo memang pernah berkeinginan melestarikan keterampilan warga setempat dalam mengolah alkohol. Namun, kata Sutarmo, bukan berarti hasil pengolahan alkohol itu hanya berjenis minuman saja.

Riwayat Kekal Arak Lokal

Arak atau minuman fermentasi tradisional sudah dikenal lama di Indonesia, bahkan sejak zaman kerajaan. Salah satu jenis minuman fermentasi asli produksi Nusantara ini dikenal luas dengan sebutan ciu.

“Catatan tertua tentang minuman fermentasi ada di dalam beberapa prasasti dan naskah kuno Jawa, mulai dari abad ke-8 sampai abad ke-13," jelas sejarawan dari Universitas Padjajaran Bandung, Fadly Rahman, dilansir CNN Indonesia.

"Banyak minuman fermentasi yang diolah dari nira, beras, ketan, dan namanya pun bervariasi,” imbuh penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) yang merupakan hasil tesisnya di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Begitu pula saat Nusantara dijajah Belanda dan memasuki masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Jika para pejabat atau orang-orang Belanda yang ada di Indonesia suka menggelar pesta dengan menyajikan miras khas Eropa, maka rakyat jelata lebih akrab dengan arak, tuak, atau ciu.

Di Solo dan sekitarnya, sebagai contoh, pada masa itu ciu seolah menjadi minuman wajib setiap kali ada pesta rakyat atau keramaian, misalnya pertunjukan tayub, wayang, atau saat perayaan panen raya.

Orang-orang Eropa atau Belanda yang ada di Indonesia juga melirik arak, termasuk ciu, untuk dibisniskan. Salah satunya adalah kehadiran minuman beralkohol yang dikenal dengan merek Batavia Arrack van Oosten.

J. David Owens dalam Indigenous Fermented Foods of Southeast Asia (2014) mengungkapkan, produksi arak Batavia dimulai di Batavia (kini Jakarta) pada 1743. Batavia Arrack van Oosten mengandung 50 persen alkohol dan menjadi terkenal pada abad ke-18 di seluruh Indonesia.

Bahkan, Batavia Arrack van Oosten ini disukai oleh orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda atau Indonesia kala itu sehingga sering dibawa pulang dan namanya cukup populer di negara-negara Barat.

Baca juga artikel terkait MINUMAN KERAS atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz