Menuju konten utama

Sejarah Bundaran HI: Ide Bung Karno Hingga Inovasi Gubernur Anies

Sejarah Bundaran HI bermula dari gagasan Bung Karno jelang Asian Games 1962.

Sejarah Bundaran HI: Ide Bung Karno Hingga Inovasi Gubernur Anies
Foto udara kawasan kawasan landmark Bundaran HI, Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Tumpukan batu dalam kurungan besi terpasang di Bundaran Hotel Indonesia menjadi pengganti instalasi bambu yang telah dibongkar oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta era Gubernur Anies Baswedan. Bundaran HI yang digagas Presiden Sukarno ini punya sejarah menarik, awalnya dibangun dalam rangka Asian Games 1962.

Bundaran HI kembali menjadi sorotan belakangan ini. Setelah pembongkaran instalasi bambu getah-getih lantaran mulai rapuh, di lokasi yang sama kini terdapat pemandangan pengganti berupa tumpukan bebatuan.

Instalasi baru di Bundaran HI itu diberi nama Instalasi Gabion, yakni berupa batu-batu yang ditumpuk dan ditempatkan ke dalam tiga kerangkeng besi dengan hiasan tanaman di sekitarnya.

Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta, Suzi Marsita, mengungkapkan bahwa biaya yang digunakan memakai alokasi APBD dari instansinya. “Kurang lebih Rp150 juta, dari APBD Dinas Kehutanan,” tuturnya saat dihubungi Tirto, Rabu (21/8/2019).

“Enggak ada seniman yang masang, seniman perancangnya ya Dinas Kehutanan. Yang memasang juga dari Dinas Kehutanan sendiri," imbuhnya.

Tugu Selamat Datang

Bundaran HI terletak di tengah persimpangan Jalan M.H. Thamrin, dengan Jalan Imam Bonjol, Jalan Sutan Syahrir, dan Jalan Kebon Kacang di Jakarta Pusat. Dinamakan Bundaran HI karena bentuknya yang memang berupa jalan melingkar dan dekat dengan Hotel Indonesia.

Sejarah pembangunan Bundaran HI terkait erat dengan riwayat keberadaan Monumen Selamat Datang yang ditempatkan di tengah kolam bundar tersebut.

Zaenuddin HM dalam buku 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe (2012) menuliskan, gagasan pembangunan Patung Selamat Datang dicetuskan oleh Presiden RI pertama, Ir. Sukarno.

Ide ini bermula dari obrolan santai antara Bung Karno dengan para seniman di teras belakang Istana Negara, Jakarta, pada 1959. Salah satu yang hadir adalah Edhi Sunarso, pematung kebanggaan Indonesia yang pernah memenangkan dua sayembara patung internasional di Inggris.

Kepada Edhie, Presiden Sukarno mengungkapkan bahwa ia ingin ada sebuah monumen yang bisa mewakili karakter bangsa Indonesia untuk menyambut para tamu yang akan hadir di Jakarta sebagai tuan rumah Asian Games 1962.

Bung Karno menghendaki Edhie membuat patung setinggi 9 meter dengan bahan perunggu. “Tunjukkan bahwa bangsa Indonesia bangsa yang besar, bangsa yang ramah. Aku beri tugas kau buat patung itu,” titah sang presiden.

Edhie sempat ragu lantaran ia belum pernah membuat patung dari perunggu, apalagi dengan ukuran yang diminta Bung Karno.

Namun, presiden meyakinkan bahwa Edhie pasti bisa. Sebagai perancangnya, ditunjuk Henk Ngantung, seniman yang saat itu juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Jakarta.

Akhirnya, jelang Asian Games 1962, jadilah karya seni yang diberi nama Tugu atau Monumen Selamat Datang, ditempatkan di lokasi yang kini dikenal sebagai Bundaran HI.

Hotel Indonesia merupakan hotel bintang 5 pertama di Jakarta yang juga dibangun dalam rangka menyongsong pesta olahraga terbesar se-Asia itu.

Monumen Selamat Datang berupa patung sepasang pemuda-pemudi menggenggam bunga dan melambaikan tangan. Patung ini menghadap ke utara yang berarti mereka menyambut orang-orang yang datang dari arah Monumen Nasional (Monas).

Garis sumbu Tugu Selamat Datang dibuat tepat di tengah kolam Bundaran HI, yang seolah menghubungkan pelabuhan Tanjung Priok di sebelah utara dengan kawasan Kebayoran di sebelah selatan.

Inovasi Gubernur Anies

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merenovasi Bundaran HI dan Tugu Selamat Datang tahun 2002 pada era Gubernur Sutiyoso. Dikutip dari Indoplaces.com (4 Februari 2011), ditambahkan air mancur dengan 5 formasi dan mengandung filosofi khusus, juga rancangan kolam baru.

Selain 5 ucapan selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, dan selamat berhari Minggu, 5 formasi itu juga mengandung arti 5 wilayah di Jakarta, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat. Bisa dikaitkan pula dengan Pancasila.

Kini, pada masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan, dilakukan inovasi di Bundaran HI. Pada 2018 lalu, kawasan bundaran HI dipercantik dengan ditempatkannya instalasi bambu getah getih karya seniman Joko Avianto.

Misinya nyaris persis seperti yang pernah dilakukan Presiden Sukarno pada 1962, yakni untuk menyambut Asian Games 2018. Jakarta kembali ditunjuk sebagai tuan rumah, kali ini bersama Palembang.

Bukan tanpa dasar Anies memilih instalasi bambu getah-getih. Lewat laman sosial medianya pada 15 Agustus 2018 lalu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI ini menjelaskan alasannya.

“Inilah bambu Indonesia. Ditanam di pedesaan, dirawat dan dipanen oleh petani kecil, dijajakan oleh pedagang mikro. Kini membentang di area tanah –salah satu– paling mahal di republik ini," tulis Anies Baswedan.

Yang menjadi sorotan, instalasi bambu ini ternyata hanya mampu bertahan selama 11 bulan saja sehingga kemudian dibongkar karena sudah rapuh dan dikhawatirkan bisa rubuh. Padahal, dana yang digunakan untuk membuatnya mencapai angka Rp550 juta.

Sebagai pengganti instalasi bambu getah-getih yang sudah dibongkar itu, kini ditempatkan instalasi baru dengan wujud tumpukan batu dalam keranjang besi dan diramaikan dengan berbagai jenis tanaman, yang disebut Instalasi Gabion.

Suzi Marsita, Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta, mengatakan bahwa kehadiran Instalasi Gabion bakal menjadikan suasana lebih alami di tengah kota metropolitan.

"Di bawahnya kita kasih tanaman sebagai contoh bebas polusi. Sansivieira, bougenville, palem kol, tapak dara, lolipop, alang-alang, sebagai estetika,” beber Suzi seperti dikutip dari artikel Tirto.

“Jadi sekelilingnya ada bougenville, kemudian lolipop, ada sansifera, jadi memang tanaman-tanaman itu adalah contoh tanaman anti-polutan. Sebagai bentuk mengurangi polusi, seperti itu,” tambahnya.

Suzi menjelaskan filosofi tumpukan bebatuan dalam tiga keranjang besi itu, yakni melambangkan air, udara, dan tanah. Tiga elemen tersebut, ungkapnya, menunjukkan penyelarasan lingkungan.

“Ornamen batu yang digunakan diasumsikan sebagai kekuatan internal. Batu karang [sebagai] lambang kekuatan di tengah sapuan ombak, terikat dalam satu ikatan [yang] bisa dilambangkan kesatuan,” papar Suzi.

Baca juga artikel terkait SEJARAH JAKARTA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya & Rachma Dania

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Rachma Dania
Penulis: Iswara N Raditya & Rachma Dania
Editor: Abdul Aziz