Menuju konten utama

Sejarah Batavia Abad 19: Dunianya Para Jago dan Centeng

Pemerintah kolonial mengategorikan para jago sebagai kriminal, orang Betawi menganggap mereka pelindung kaum tertindas.

Sejarah Batavia Abad 19: Dunianya Para Jago dan Centeng
Ilustrasi para jago di Batavia. tirto.id/Lugas

tirto.id - Si Pitung adalah legenda. Bagi banyak orang Betawi, ia tak ubahnya pahlawan sekaligus simbol perlawanan. Cerita rakyat menggambarkan Pitung laiknya Robin Hood—seorang bandit baik hati yang membagi-bagikan harta rampokannya untuk orang miskin. Kisahnya abadi dalam repertoar Rancak Betawi.

Berbeda dengan persepsi orang Betawi, sumber-sumber kolonial menyebut Pitung sebagai bandit biasa yang bikin onar di Batavia. Di mata orang Eropa masa itu, pahlawan sebenarnya adalah Schout (Kepala Polisi Wilayah) Tanah Abang Adolf Wilhelm Verbond Hinne. Dialah yang berhasil menggagalkan aksi dan menembak mati Pitung pada malam 14 Oktober 1893.

Penggambaran Pitung—yang bernama asli Salihoen—sebagai jago budiman agaknya baru berkembang usai Indonesia merdeka. Sebagian besar citranya di masa kini dibentuk oleh cerita lisan turun-temurun, bacaan pop, dan film.

Menurut Margreet van Till dalam Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2018), sebenarnya tak semua orang memuja Pitung. Sebagian penduduk Batavia ada juga yang sinis terhadap aksi-aksinya. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa sosoknya sebagai simbol “jiwa merdeka” adalah daya tarik yang bisa membawa keuntungan.

“Penggambaran si Pitung sebagai sosok Robin Hood terutama muncul dari penulis Jakarta Lukman Karmani. Pada akhir1960-an, ia membuat cerita si Pitung secara tertulis dan menampilkan aspek-aspek sosial etnis dalam cerita itu. Ia juga menulis beberapa naskah untuk film-film si Pitung pada 1970-an yang sangat sukses. Versinya didasarkan pada cerita-cerita warga Jakarta berusia lanjut,” tulis van Till (hlm. 170).

Sejarawan Eric Hobsbawm dalam Bandits (2001) menyebut fenomena macam Pitung di Batavia dengan istilah “bandit sosial”. Sebagaimana Pitung, identitas bandit sosial memang dibangun dari dua perspektif yang saling bertentangan.

“Bandit sosial pada intinya adalah para petani pelanggar hukum yang dianggap sebagai kriminal oleh penguasa dan negara, tetapi mereka tetaplah bagian dari masyarakat petani, dan mereka dianggap sebagai pahlawan, jagoan, penuntut balas, pejuang keadilan, bahkan mungkin pimpinan pembebasan,” tulis Hobsbawm (hlm. 20).

Hobsbawm juga menyebut bahwa perbanditan adalah fenomena universal dalam sejarah dunia. Bandit di mana pun tempat mulanya muncul di masyarakat pertanian di daerah pinggiran suatu negeri. Dan lagi, kondisi masyarakat petani yang miskin dan tertindas adalah pendorong lain kemunculan para bandit itu.

Ommelanden (daerah sekitar) Batavia adalah ruang semacam itu pada abad ke-19. Namun ia juga punya kekhususan tersendiri, setidaknya jika dibandingkan dengan perdesaan Jawa bagian tengah hingga timur pada masa yang sama.

Dunia Jago Ommelanden

Ommelanden adalah sebutan untuk dataran luas di sekitar kota Batavia. Di masa awal pembangunan Batavia, VOC sengaja mengosongkan tanah di luar tembok kota dan melarang permukiman di sana. Alasannya taktis saja: menciptakan cordon sanitaire (wilayah karantina) guna melindungi Batavia dari serangan.

Wilayahnya juga tak terlalu menarik karena masih berhutan dan dipenuhi rawa-rawa. Atas prakarsa Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen, sejak 1620 tanah-tanah di sekitar tembok Batavia dibagi-bagikan kepada pegawai dan pendukung-pendukungnya.

Ommelanden mulanya membentang dari pantai Batavia hingga Gunung Salak di selatan. Di sebelah barat ia berbatasan dengan Tangerang dan wilayah Kesultanan Banten. Sementara itu di timur ia membentang setidaknya sampai Karawang. Pada abad ke-19 wilayah itu mulai menyusut hingga luasnya adalah sekira Jakarta sekarang ini.

“Perekonomian Ommelanden ditentukan dengan munculnya tanah-tanah swasta. [...] Pemerintah kemudian menjual tanah kepada swasta untuk mengisi keuangan pemerintah. Oleh karenanya, tak jarang terdapat banyak tanah pertanian yang terbentang luas puluhan ribu hektare,” tulis van Till (hlm. 30).

Dalam beberapa aspek kehidupan sosial di Ommelanden berbeda dengan wilayah lain di Jawa. Orang Betawi bisa dibilang penduduk asli di sini, tapi komposisi masyarakatnya sebaian besar adalah pendatang Jawa, Sunda, atau etnis-etnis lain yang pernah bekerja untuk VOC.

Ommelanden juga berbeda dari wilayah lain di Jawa yang memiliki hierarki pemerintahan yang teratur. Jika di Jawa ada pemerintahan kolonial dan lokal yang berjalan paralel mengatur masyarakat, tidak demikian di Ommelanden. Di tanah-tanah partikelir itu yang punya kuasa adalah para tuan tanah VOC dan Tionghoa kaya. Karenanya, Ommelanden lebih mirip negara-negara kecil yang dikuasai para tuan tanah yang otonom.

“Di Ommelanden tidak ada indirect rule. Di sana tuan-tuan tanah menunjuk sendiri kepala desa dan kepala polisinya. Para calon terpilih kemudian memperoleh pengangkatan dari pemerintah. Mereka bisa dipecat apabila buruk dalam bekerja, meski jarang sekali terjadi,” terang van Till (hlm. 24).

Para tuan tanah dan orang-orang kaya umumnya menegakkan kuasa dengan kekerasan. Tidak ada polisi profesional di Ommelanden, setidak-tidaknya sampai abad ke-19. Sebagai gantinya para tuan tanah itu mempekerjakan para jago atau bandit untuk memastikan ketertiban dan keamanan.

Warga biasa umumnya bekerja sebagai petani dan buruh di perkebunan milik tuan tanah. Di bawah tekanan para centeng, mereka diharuskan kerja rodi dan membayar serbaneka pajak. Setiap panen, para petani miskin itu diwajibkan menyetor seperlima hasilnya kepada tuan tanah. Mereka bahkan harus minta izin dulu untuk sekadar memanen hasil kebun pribadinya.

“Sedangkan izin baru diberikan apabila semua kewajiban pajak telah dilunasi. Tentu saja sebelum panen para petani tidak memiliki uang atau barang untuk membayar pajak, sehingga mereka jatuh ke tangan para rentenir yang acapkali bekerjasama dengan para tuan tanah,” tulis sejarawan Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1954 (2010: 22).

Kondisi macam ini—sebagaimana diteorikan oleh Hobsbawm—membuat perbanditan tumbuh subur di Ommelanden Batavia. Petani-petani miskin dan tertindas itu sebagian jadi perampok. Para jago Batavia yang dihormati seperti Pitung tumbuh di antara para bandit yang juga saling bersaing itu.

Beda Jago dan Centeng

Perbanditan di Ommelanden Batavia juga memiliki kekhasan jika dibandingkan dengan daerah lain. Di sana orang Betawi mengenal sebutan jago dan centeng. Centeng adalah orang-orang kuat yang biasa jadi pengawal tuan tanah atau pejabat kolonial.

Van Till (hlm. 10) menyebut mereka berperan sebagai semacam polisi sewaan. Setiap tanah partikelir biasa dijaga oleh sekawanan centeng. Meski demikian mereka tetaplah kriminal. Tak jarang para centeng ini merampok tanah-tanah lain untuk memperkaya diri.

Menurut Cribb, relasi macam itu bisa dipahami sebagai cara bertahan hidup. Mereka yang sudah diimpit kemiskinan tentunya tak ingin lebih kapiran lagi gara-gara berkonflik dengan orang-orang Eropa atau pejabat kolonial.

“Penjahat yang kuat dan licik berprofesi sebagai makelar kekuatan yang lebih besar, sementara yang lemah dan lamban dengan cepat menghilang di penjara-penjara Belanda di Cipinang dan Glodok, atau binasa di tangan teman sejawatnya yang lebih cerdik,” tulis Cribb (hlm. 26).

Sementara itu jago memiliki citra yang lebih positif. Meski mereka juga melakukan perampokan, para jago tidak menghamba pada siapa pun dan dianggap sakti lagi kebal. Karena itu mereka dihormati warga.

Tentang jago ini Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta (2009: 230) menulis, "Karena cara kerjanya, mereka dianggap bandit sekaligus pemimpin tradisional karena wibawa dan martabat yang ditimbulkannya. Jadi mereka berada di perbatasan antara perampok atau garong, menurut istilah Betawi, dan tokoh yang diakui" (hlm. 230).

Infografik HL Indepth Preman Nasional

Infografik HL Indepth Preman Ommenlanden. tirto.id/Lugas

Jago-jago Batavia biasa merampok rumah tuan tanah atau orang-orang kaya. Ketika Jalan Raya Pos dan jalur kereta api dibuka pada abad ke-19, daerah operasi mereka melebar ke sana. Sebagian jadi pencopet di kereta dan sebagian lagi membegal orang kaya atau pedagang yang lewat tanpa kawalan.

Sementara para elite kolonial menganggap para jago sebagai ancaman, rakyat kecil tidak menganggapnya demikian. Hal ini wajar karena mereka bukanlah sasaran para jago itu. Dari sinilah citra positif itu tumbuh.

“Tentu saja masyarakat yang dekat dengan markas gerombolan mendapat beberapa keuntungan, termasuk perlindungan keamanan dan kesempatan mendapat barang jarahan,” tulis Cribb (hlm. 26).

Pitung adalah jenis jago macam ini yang paling terkenal di akhir abad ke-19. Aksi-aksinya kerap mengisi halaman berita di harian Hindia Olanda pada medio 1892. Menurut berita-berita itu, Pitung dan sekondannya yang bernama Dji-ih kerap bikin repot polisi kolonial. Mereka memang sempat tertangkap polisi, tapi kemudian meloloskan diri.

“Imbalan untuk kepala si Pitung dan Dji-ih naik bertahap hingga mencapai f400. Selain itu, pelarian mereka juga menjadi satu masalah pelik bagi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda,” tulis van Till (hlm. 163).

Selain Pitung, ada tokoh garong lain yang juga punya citra seperti dirinya: Entong Tolo dan Entong Gendut. Jerome Tadie menyebut mereka aktif dalam masa yang nisbi sama dengan Pitung meski tak seterkenal dia.

Entong Tolo adalah pencuri ternak dari Pondok Gede dan mukim di Jatinegara. Di balik aksi kriminalnya ia diketahui suka membantu petani yang tak mampu bayar pajak. Ia dikabarkan tertangkap pada 1908 dan kemudian diasingkan ke Manado.

Sementara itu Entong Gendut yang berasal dari Pasar Rebo dikenal karena terang-terangan menentang pajak. Namanya masuk pemberitaan saat bertikai dengan warga Belanda di Jatinegara pada 1916.

“Ia memperkenalkan diri sebagai Imam Mahdi, yang telah disingkirkan dan kembali untuk menghilangkan kekuasaan orang besar, menyerahkan kekuasaan kepada rakyat dan menggantikan orang Belanda dengan Muslim. Dalam bentrokan antara kelompoknya dan polisi kolonial, ia terbunuh dan kelompoknya diburu,” tulis Jerome Tadie (hlm. 227).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan