Menuju konten utama

Sejarah Amnesti Presiden Sukarno kepada PRRI/Permesta

Sejarah mencatat, Presiden Sukarno pernah memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang terlibat gerakan PRRI/Permesta.

Sejarah Amnesti Presiden Sukarno kepada PRRI/Permesta
Presiden RI pertama, Ir. Sukarno. FOTO/AP

tirto.id - Baiq Nuril memohon amnesti kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Sejarah mencatat, Ir. Sukarno selaku Presiden RI pertama pernah memberikan amnesti kepada sejumlah pihak, termasuk orang-orang yang terlibat PRRI/Permesta.

“Bapak Presiden, PK saya ditolak, saya memohon dan menagih janji bapak untuk memberikan amnesti karena hanya jalan ini satu-satunya harapan terakhir saya," demikian Baiq Nuril menulis permohonannya kepada Presiden Jokowi di selembar kertas, Sabtu (6/7/2019).

Baiq Nuril adalah mantan staf tata usaha SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang menjadi korban pelecehan seksual oleh bekas atasannya di sekolah tersebut yakni Muslim. Namun, ia justru dijerat dengan UU ITE dan divonis bersalah oleh MA dengan ancaman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.

MA menilai bahwa Baiq Nuril telah melakukan kesalahan nyata, yakni merekam dan menyebarluaskan rekaman percakapannya dengan Muslim. Padahal, Baiq Nuril bermaksud menjadikan rekaman tersebut sebagai bukti pelecehan seksual yang dialaminya.

Kontroversi Permesta & PRRI

Jauh sebelum kasus Baiq Nuril, Sukarno selaku Presiden RI pertama pernah memberikan amnesti kepada orang-orang yang sebelumnya terlibat dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).

Permesta dideklarasikan di Sulawesi Selatan tanggal 2 Maret 1957, menyusul kemudian pembentukan PRRI pada 15 Februari 1958 di Sumatera Barat. Oleh pemerintah pusat di Jakarta, PRRI/Permesta disebut sebagai gerakan pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Deklarasi Permesta dilantangkan oleh Letkol Ventje Sumual di Makassar dengan membacakan naskah proklamasi dalam situasi yang disebutnya Staat van Oorlog en Beleg (SOB) atau “negara dalam keadaan darurat perang”.

Meskipun dituding oleh pemerintah pusat sebagai gerakan separatis, namun isi proklamasi tersebut justru menegaskan bahwa Permesta tidak akan melepaskan diri dari NKRI. Permesta hanya menginginkan kesetaraan dan pemerataan untuk wilayah Indonesia bagian timur.

Kepada Tempo yang mewawancarainya pada April 2009, Ventje menyamakan gerakan Permesta dengan aksi Reformasi 1998. “Permesta bukan pemberontakan, melainkan suatu deklarasi politik. Isinya seperti yang diperjuangkan gerakan reformasi [1998]. Dulu, gerakan reformasi kami sebut sebagai Permesta,” tegasnya.

Ventje juga mengklaim bahwa Permesta berbeda dan tidak ada sangkut-pautnya dengan PRRI di Sumatera Barat meskipun tujuan kedua gerakan ini sama, yakni menuntut otonomi yang lebih luas demi pemerataan di segala sektor kehidupan.

“Tidak ada hubungan apa-apa. Kalau PRRI memang pemberontakan. Tapi Permesta hanyalah suatu program untuk pembangunan Indonesia Timur,” tukas Ventje.

Kendati begitu, urusan Permesta menjadi rumit karena tidak semua tokohnya sepaham dengan Ventje. Salah satunya adalah Kolonel D.J. Somba, pimpinan Kodam Sulawesi Utara dan Tengah, yang menyerukan pernyataan berbeda dengan isi proklamasi Permesta versi Ventje.

Somba, dikutip dari buku Permesta dalam Romantika, Kemelut, & Misteri (2013) yang ditulis Phill M. Sulu, di Manado menyerukan bahwa, “Rakyat Sulawesi Utara dan Tengah termasuk militer, solider pada keputusan PRRI dan memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI.”

Adapun PRRI sebelumnya memang sudah membentuk kabinet tandingan. Syafruddin Prawiranegara, yang pernah menyelamatkan negara berkat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 1948, tampil sebagai perdana menteri alias pemimpin tertinggi PRRI.

Sebenarnya, tuntutan PRRI dan Permesta kurang lebih sama, yakni pemerataan bagi wilayah-wilayah di luar Jawa. Namun, PRRI melalui Syafruddin Prawiranegara lebih frontal dengan terang-terangan menyebut menentang pemerintahan Sukarno.

“Dengan kesedihan dan kesusahan yang mendalam, kami terpaksa mengibarkan bendera menentang kepala negara kita sendiri. Kita telah bicara dan bicara. Sekarang tiba saatnya untuk bertindak!” seru Syafruddin, dikutip dari Baskara T. Wardaya dalam Bung Karno Menggugat (2006).

Sukarno Beri Amnesti, Jokowi?

Rezim Sukarno menggerakkan kekuatan militer untuk menumpas gerakan PRRI dan Permesta lantaran dianggap membahayakan pemerintahan yang sah. Operasi militer ini berlangsung cukup lama dan baru benar-benar tuntas memasuki dekade 1960-an.

Pada akhirnya, Presiden Sukarno memberikan amnesti, juga abolisi, kepada orang-orang yang terlibat kedua gerakan tersebut. Amat Johari Moain (1969) dalam buku Sejarah Nasionalisme Maphilindo (Malaysia-Philippine-Indonesia) menulis:

“Beliau [Presiden Sukarno] membuat tindakan yang berani sekali, yaitu memberi pengampunan beramai-ramai kepada [orang-orang yang terlibat] pemberontakan PRRI dan Permesta yang masih bergerak di dalam hutan-hutan Sumatera dan Sulawesi Utara.”

Atas anjuran pemerintah pusat, orang-orang yang terlibat gerakan itu berbondong-bondong menyerahkan diri dan kembali ke pangkuan NKRI. Ventje Sumual termasuk orang yang memperoleh amnesti. Kendati sempat ditahan, namun ia selanjutnya merasakan hidup tenang dan lebih sejahtera.

Demikian pula dengan para pentolan PRRI, termasuk Syafruddin Prawiranegara. Mantan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama ini memutuskan mundur dari gelanggang politik setelah mendapatkan amnesti dan abolisi dari Presiden Sukarno.

Dipaparkan dalam buku Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju (2009) karya Abdul Ghoffar, mereka yang mendapat pengampunan dari presiden harus berjanji menurut agama masing-masing dan mengucapkan ikrar setia sebagai berikut:

“Saya bersumpah setia kepada Undang-Undang Dasar, Manifestasi Politik yang telah menjadi Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, Nusa dan Bangsa, Revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi.”

Jika Sukarno pernah mengampuni orang-orang yang semula dianggap mengancam keutuhan NKRI, apakah Jokowi juga akan memberikan amnesti dalam kasus Baiq Nuril?

“Saya tidak ingin komentari apa yang sudah diputuskan Mahkamah [MA] karena itu pada domain wilayahnya yudikatif," ucap Presiden Jokowi menanggapi kasus Baiq Nuril, Jumat (5/7/2019).

Jokowi baru akan mempertimbangkan pemberian ampunan, baik amnesti atau grasi, setelah ada permohonan dari yang bersangkutan. Presiden RI ke-7 ini juga akan berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait sebelum memberikan keputusan.

“Nah, nanti kalau sudah masuk ke saya, di wilayah saya, akan saya gunakan kewenangan yang saya miliki. Saya akan bicarakan dulu dengan Menkumham, Jaksa Agung, Menko Polhukam, apakah amnesti atau yang lainnya,” tutup Presiden Jokowi.

Baca juga artikel terkait KASUS BAIQ NURIL atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz