Menuju konten utama
16 Oktober 1937

Sejarah Abdul Rivai sebagai Corong Intelektual Pertama Bumiputra

Abdul Rivai “meminjam pakaian Belanda untuk menempatkan diri dalam masyarakat kolonial modern.”

Sejarah Abdul Rivai sebagai Corong Intelektual Pertama Bumiputra
Ilustrasi Mozaik Abdoel Rivai. tirto.id/Tino

tirto.id - Dasawarsa pertama abad ke-20 merupakan titik balik bagi munculnya ide-ide baru gerakan antikolonialisme. Perkembangannya muncul dalam bentuk organisasi serta dikenalnya definisi baru tentang identitas nasional Indonesia.

Dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008 (2008) Ricklefs mencatat, ide-ide baru yang dimaksud dalam organisasi meliputi bentuk-bentuk kepemimpinan. Sedangkan definisi baru tentang identitas nasional Indonesia, meliputi analisis yang lebih mendalam tentang kesatuan nasional berdasarkan kesamaan nasib sebagai bumiputra yang terjajah dan mendapatkan diskriminasi di bidang ekonomi, sosial, dan politik (hlm. 353).

Saat itu, Jawa dan Minangkabau menjadi dua entitas suku yang penting dari kemunculan ide-ide baru ini. Di Jawa muncul Budi Utomo pada tahun 1908 yang dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Sementara Minangkabau diwakili oleh seorang pembaru.

“Bukan Boedi Oetomo, bukan juga di tahun 1908 yang menandai awal pergerakan nasional kita, tetapi di tahun 1903 ketika menyaksikan gerakan nasionalis setelah Rivai angkat bicara, di mana sungguh membuka mata banyak orang,” kata S. M Latif seperti dikutip oleh Harry A. Poezze dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Early Indonesian Emancipation: Abdul Rivai, Van Heutsz and The Bintang Hindia” (hlm. 87).

Abdul Rivai adalah dokter bumiputra pertama yang mendapat privilese untuk melanjutkan pendidikan sekolah lanjutan kedokteran di Belanda. Dia lahir di Palembayan, Agam, Sumatra Barat pada 13 Agustus 1871. Tumbuh di lingkungan keluarga terpandang membuatnya bisa memperoleh pendidikan yang baik di sekolah elite milik pemerintah kolonial. Hal ini pula yang membuatnya bisa menempuh pendidikan di Sekolah Dokter Djawa (STOVIA), di Batavia, antara tahun 1887-1895.

Selain menggeluti ilmu kedokteran, Rivai juga aktif di dunia pers. Dia merupakan pemrakarsa surat kabar berbahasa Melayu pertama yang terbit di Eropa, yaitu Pewarta Wolanda. Pada 1901, Rivai tercatat sebagai redaktur utama koran Bandera Wolanda yang terbit di Batavia. Setahun berselang, antara tahun 1902-1907 dia menjadi pemimpin redaksi jurnal Bintang Hindia. Tulisan-tulisannya banyak membuat orang bumiputra menjadi sadar akan posisinya dalam struktur negara kolonial Hindia Belanda. Selanjutnya, Rivai juga pernah menjadi redaktur dan koresponden pada surat kabar Bintang Timoer.

Sementara itu, sebagaimana ditulis dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I terbitan Kemendikbud, ketika di Belanda Rivai juga menggagas studiefonds (lembaga donor) untuk membantu pelajar Indonesia yang sedang belajar di Belanda pada masa kolonial. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pelopor pendirian cabang Indische Partij (IP) pertama di Sumatra pada 19 November 1912. Kemudian pada 1918, Rivai diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Insulinde angkatan pertama (hlm. 7-8).

Pada Maret 1895, Rivai lulus dari Sekolah Dokter Djawa di Batavia. Dia segera menegaskan aspirasi kosmopolitnya dengan menyingkirkan pakaian tradisional Minangkabau warisan leluhurnya, dan menggantinya dengan setelan jas Eropa, dasi hitam, serta topi panama.

Sejarawan Rudolf Mrazek menyebut kaum pesolek bumiputra seperti Rivai “meminjam pakaian Belanda untuk menempatkan diri dalam masyarakat kolonial modern.” Mereka ingin menunjukkan bahwa tak mereka berbeda dengan orang Eropa. Selain itu, ingin membuktikan bahwa mereka juga bisa berpakaian seperti kaum kolonial.

Foto-foto Rivai mengenakan setelan jas lengkap bisa dilihat dari sudut pandang bahwa ia ingin menunjukkan identitas yang ia cita-citakan untuk dirinya dan orang-orang bumiputra: berpendidikan, modern, dan kosmopolitan.

Selain itu, seperti ditulis Hans Pols dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2019: hlm. 32), gaya berpakaian Rivai juga memproyeksikan sebuah bangsa masa depan yang status sosial seseorang tidak lagi ditentukan oleh ras atau hierarki tradisionalnya, melainkan dari pengetahuan, keterampilan, dan prestasi pendidikan.

Namun, karena memilih mengenakan pakaian Eropa, Rivai pernah dituding oleh ayahnya bukan lagi Muslim dan dianggap telah mati. Sementara bagi Rivai, pakaian Minangkabau adalah wakil dari hierarki yang kaku dan tradisi agama serta budaya yang mengekang. Sedangkan pakaian Eropa, menurutnya, mewakili modernitas.

Infografik Mozaik Abdoel Rivai

Infografik Mozaik Abdoel Rivai. tirto.id/Tino

Corong Intelektual Pertama Bumiputra

Eksploitasi, segregasi, dan diskriminasi adalah tiga kata kunci yang akan kita temui jika membedah struktur negara kolonial Hindia Belanda. Dan Abdul Rivai, paling tidak mengalami dua hal yang disebutkan terakhir.

Rivai kecewa pada kualifikasi pendidikan medis yang didapatnya di Hindia Belanda karena tak memungkinkan dirinya untuk mencapai posisi yang penting dalam sistem kesehatan kolonial. Gaji yang diperolehnya bahkan hanya setengah dari gaji yang diperoleh koleganya dari kalangan Eropa.

Rivai geram bukan main karena perlakuan tidak adil yang diterimanya. Oleh karena itu, ketika ditunjuk menjadi wakil bumiputra dalam sidang Volksraad, dia menjadi sosok yang paling vokal dalam mengkritik sistem kolonial yang segeregatif dan diskriminatif.

Menurutnya, orang-orang Belanda di Hindia kurang memiliki minat dan pengetahuan terhadap kehidupan masyarakat bumiputra, yang berdampak pada kurangnya tanggung jawab terhadap kesejahteraan mereka (Harry A. Poezze, “Early Indonesian Emancipation: Abdul Rivai, Van Heutsz and The Bintang Hindia”; hlm. 90).

Tak hanya itu, Rivai juga sering menyuarakan pembebasan bumiputra lewat penguatan pendidikan di kalangan priyayi bumiputra dalam tulisan-tulisannya. Baginya, pendidikan adalah cara terbaik untuk mencapai tujuan perbaikan kehidupan masyarakat bumiputra secara lebih luas. Pendidikan harus mengubah sikap para elite yang egois dan hanya tunduk sebagai budak yang patuh pada pemerintah kolonial.

Dia begitu yakin bahwa pendidikan Barat tidak hanya memperluas pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga nilai moral yang berguna bagi kepentingan industri dan kehidupan bermasyarakat.

Rivai meninggal dunia pada 16 Oktober 1937—tepat hari ini 84 tahun yang lalu. Ide-ide dan pemikirannya tentang identitas nasional Indonesia akan selalu dikenang dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Kontributor: Mustaqim Aji Negoro
Editor: Irfan Teguh