Menuju konten utama

Sejak Raja Tarumanegara, Daerah Jakarta Sudah Jadi Langganan Banjir

Raja Purnawarman (395-434 M) memerintahkan pembuatan kanal baru untuk mengatasi banjir di wilayah Tarumanegara, termasuk di daerah yang sekarang bernama Jakarta.

Sejak Raja Tarumanegara, Daerah Jakarta Sudah Jadi Langganan Banjir
Sungai Citarum; 1890. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Pada 419 Masehi, Maharaja Purnawarman memulai sebuah megaproyek di Sungai Citarum. Sungai terbesar dan terpanjang di telatah Pasundan yang mengalir dari Bandung hingga Karawang itu dikeruk. Selain untuk keperluan irigasi, pengerukan Citarum dilakukan sebagai upaya meminimalisir potensi banjir.

Citarum memang ibarat nadi bagi Tarumanegara, kerajaan yang kala itu dipimpin oleh Purnawarman. Sungai yang memiliki banyak cabang dan jika seluruhnya dijumlahkan panjangnya bisa mencapai 300 kilometer ini juga terkait erat dengan asal-usul kerajaan Sunda yang berdiri sejak 358 M tersebut.

Pengerukan Citarum merupakan satu dari sekian banyak gebrakan di era Purnawarman yang berkaitan dengan sungai. Sepanjang dekade kedua abad ke-5 M itu, setidaknya ada lima proyek besar terkait sungai untuk mengatasi banjir yang kerap melanda wilayah Tarumanegara, termasuk daerah yang kini dikenal dengan nama Jakarta.

Raja yang Mencintai Sungai

Purnawarman adalah raja ke-3 Kerajaan Tarumanegara yang mulai berkuasa pada 12 Maret 395 M. Cucu pendiri Tarumanegara, Jayasingawarman (358-382 M) ini naik tahta setelah ayahnya, Darmayawarman (382-395 M), meletakkan jabatan untuk bertapa hingga akhir hayat.

Pada 397 M, Purnawarman memindahkan pusat kerajaan dari Jayasinghapura ke Sundapura (dekat Bekasi) yang tidak jauh dari pesisir. Ibukota lama, dikutip dari Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon (2005) karya Ayatrohaedi, berlokasi di puncak perbukitan Jasinga, sebelah barat Bogor (hlm. 57).

Purnawarman rupanya amat paham bahwa air merupakan sumber penghidupan manusia. Maka, selain menggeser ibukota lebih dekat ke pesisir, sang maharaja juga sangat peduli dengan sungai-sungai yang banyak terdapat di wilayah kekuasaan Tarumanegara.

Wilayah Tarumanegara –yang memiliki cukup banyak kerajaan daerah taklukan atau vasal– sangat luas. Meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Barat, dari Banten hingga Cirebon, juga sebagian Jawa Tengah. Warga Tarumanegara beserta penduduk di negeri-negeri taklukannya menggantungkan hidup kepada sumber air atau sungai.

Tak hanya untuk kehidupan sehari-hari, pengairan, pertanian, dan sarana transportasi hingga perdagangan, sungai-sungai yang ada di wilayah Tarumanegara juga berpotensi menimbulkan bencana banjir jika tidak dikelola dengan baik. Tak heran jika Purnawarman sangat perhatian terhadap pengelolaan sungai.

Proyek besar pertama terkait sungai yang digeber Purnawarman pada 410 M. Yoseph Iskandar dalam buku Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa (1997) memaparkan, sang Maharaja memerintahkan alur Sungai Gangga atau Setu Gangga di Cirebon diperbaiki (hlm. 64).

Kala itu, Cirebon termasuk wilayah Kerajaan Indraprahasta yang merupakan taklukan Tarumanegara. Pengerukan dan penguatan tanggul Sungai Gangga dilakukan secara karya bhakti atau gotong royong oleh masyarakat dengan dukungan kaum brahmana dan diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga bulan.

Sebagai bentuk terima kasih kepada Raja Indraprahasta karena telah mengizinkan sungai di wilayahnya digarap, Purnawarman memberikan hadiah berupa 500 ekor sapi, 20 ekor kuda, satu ekor gajah, serta pakaian-pakaian indah. Tak lupa, jamuan makan besar digelar untuk seluruh warga. Beraneka macam hadiah juga dibagikan.

Setelah itu, Purnawarman mengadakan proyek serupa. Tahun 412 M, ungkap H.M. Joesoef Effendi dan ‎Tata Ahmad Subrata Wiriamihardja dalam Laporan Diskusi Panel Menggali Kembali Sejarah Kerajaan Tarumanegara (1991), tanggul Sungai Cupu yang mengaliri wilayah Mandala Cupunagara di Subang diperkuat (hlm. 23).

Berikutnya adalah Sungai Cimanuk pada 413 M. Sungai sepanjang 130 kilometer yang membentang dari Garut hingga pesisir utara Laut Jawa di Indramayu ini alurnya diperbaiki dan tanggulnya diperkokoh. Selain itu, dinukil dari buku Kasepuhan: Yang Tumbuh di Atas yang Luruh (1992) karya Kunaka Adimihardja, Purnawarman juga memerintahkan pengadaan petak-petak sawah di sekitar aliran sungai (hlm. 124).

infografik upaya raja purnawarman mengatasi banjir

Kanal Demi Menangkal Banjir

Sebelum pengoptimalan Sungai Citarum dilakukan pada 419 M, Maharaja Purnawarman telah melaksanakan proyek yang tidak kalah penting. Tahun 417 M, dibangun kanal di aliran Sungai Gomati dan Sungai Candrabhaga. Sungai Gomati kini dikenal dengan nama Kali Cakung, sedangkan Sungai Candrabhaga disebut Kali Bekasi.

Purnawarman rupanya sangat serius untuk mengantisipasi banjir yang seringkali melanda wilayah Tarumanegara. Dari Prasasti Tugu, seperti dikutip Poerbatjaraka dalam Riwayat Indonesia I (1952), diperoleh keterangan mengenai Kerajaan Tarumanegara dan proyek pembangunan kanal ini (hlm. 12).

Prasasti Tugu yang ditemukan pada abad ke-5 M menyebutkan, atas perintah Maharaja Purnawarman, pada tahun ke-22 pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian Sungai Candrabhaga karena aliran air sungai itu melintasi istana sebelum menuju ke laut.

Pekerjaan di Sungai Candrabhaga berlangsung selama 21 hari. Hasilnya, seperti tercatat dalam buku Tarumanagara, Latar Sejarah dan Peninggalannya: Sebuah Pengantar (1991) karya Hasan Djafar dan kawan-kawan, dibuatlah saluran baru yakni Sungai Gomati dan mengalir sepanjang 6.122 busur atau kira-kira 11 kilometer.

Wilayah Tarumanegara memang rentan diterpa banjir lantaran keberadaan sungai-sungai besar yang sering meluap jika musim hujan tiba dan oleh sebab-sebab lain. Setidaknya ada empat sungai besar yang menyangga Tarumanegara, yakni Cisadane di sisi barat, Ciliwung di tengah, serta Candrabhaga (Kali Bekasi) dan Citarum di timur.

Apabila banjir terjadi, sisi barat laut dari pusat pemerintahan Kerajaan Tarumanegara juga terdampak karena mendapatkan air kiriman dari sungai-sungai tersebut. Terlebih, aliran Sungai Ciliwung juga melewati daerah yang kini bernama Jakarta.

Dari situlah digali kanal baru bernama Sungai Gomati. Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010) menuliskan, penggalian kanal atau sungai itu dimaksudkan untuk menahan banjir selain untuk mengairi sawah (hlm. 33). Aliran Sungai Gomati bermuara di Cilincing, tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa.

Daerah yang nantinya dikenal sebagai Sunda Kelapa, lalu Jayakarta, kemudian Batavia, hingga akhirnya Jakarta, memang termasuk wilayah kerajaan Sunda, bahkan sejak Kerajaan Salakanagara, pendahulu Tarumanegara.

Salakanagara diyakini sudah eksis sejak abad ke-2 Masehi dan menjadi salah satu kerajaan tertua di Nusantara. Tiga pendapat yang berbeda menyatakan lokasinya terletak di Pandeglang (Banten), Condet (Jakarta), atau di lereng Gunung Salak, Bogor.

Naskah Wangsakerta, tepatnya pada bagian Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara dalam buku Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon yang disusun Ayatrohaedi (2005), menyebutkan, wilayah kekuasaan Salakanagara mencakup Jawa bagian barat, termasuk semua pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa.

Salakanagara runtuh pada pertengahan abad ke-4 M, kemudian digantikan oleh kerajaan baru bernama Tarumanegara yang mewarisi hampir seluruh wilayah kerajaan pendahulu itu, yakni tanah Sunda dan daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jakarta.

Lantas, apakah upaya Maharaja Purnawarman untuk mengatasi banjir di wilayah Kerajaan Tarumanegara termasuk Jakarta dengan membangun kanal membuahkan hasil?

Ternyata, untuk meredam banjir memang bukan pekerjaan mudah, bahkan ketika wilayah yang kemudian berganti nama Batavia ini berada di bawah pengelolaan orang-orang Belanda sekalipun.

Selain letaknya lebih rendah dari tanah Pasundan yang mengelilinginya sehingga kerap diterpa air kiriman dari atas, jenis daratan di kawasan ini sebagian besar berupa rawa-rawa yang jarang kering dan makin parah di musim penghujan.

Banjir di Jakarta senantiasa menjadi problematika rutin yang selalu dirasakan oleh nyaris setiap pemimpinnya dari masa ke masa, sejak zaman Maharaja Purnawarman hingga era Gubernur Anies Baswedan sekarang.

Baca juga artikel terkait BANJIR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Windu Jusuf