Menuju konten utama

"Seharusnya Pemerintah Bisa Tegas Larang Ekspor Mineral Mentah"

Kebijakan pemerintah memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaga akan jadi preseden buruk bagi dunia pertambangan di Indonesia.

Area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. Antara foto/Muhammad Adimaja

tirto.id - Anggota DPR Yulian Gunhar menilai, kebijakan pemerintah memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaga kepada lima perusahaan tambang hingga Mei 2024, dianggap akan jadi preseden buruk bagi dunia pertambangan di Indonesia. Apalagi, lanjutnya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Minerba telah mengamanatkan pelarangan ekspor mineral sejak 10 Juni 2023.

"Sangat disayangkan, karena pemberian izin ekspor konsentrat itu akan menimbulkan preseden buruk. Seharusnya pemerintah bisa dengan tegas melarang ekspor konsentrat sesuai dengan UU Minerba," ujar Yulian dalam pernyataannya, di Jakarta, Kamis (25/5/2023).

Pemberian izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport dan kawan-kawan itu tidak tepat, karena perusahaan tambang itu beberapa kali telah meminta relaksasi ekspor konsetrat kepada pemerintah, dengan alasan pembangunan smelter yang belum rampung.

Tercatat PT Freeport sendiri sudah delapan kali meminta izin relaksasi ekspor konsentrat, sejak 2014, dengan janji membangun smelter. Namun, hingga kini belum juga rampung.

Padahal, lanjut Yulian, Presiden Joko Widodo terus menggaungkan program hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah, namun sepertinya juga tidak begitu dihiraukan oleh Freeport. Bahkan DPR melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP), yang telah berkali-kali mendesak Freeport untuk menyelesaikan pembangunan smelter pun, tidak pernah digubris.

"Sekarang kepemilikan saham pemerintah Indonesia di Freeport sudah 51 persen, namun dengan segala tindakannya itu, sebenarnya Freeport ini milik siapa? Bahwa larangan ekspor ini amanat UU Minerba, kalau diberikan izin ekspor, justru mengangkangi UU Minerba," tambahnya.

Politisi dari Fraksi PDI-Perjuangan ini juga meragukan alasan terhambatnya pembangunan smelter karena alasan terdampak pandemi. Mengingat PT Freeport sejak dulu terkesan tidak sungguh-sungguh merampungkan pembanguan smelter sejak 2014.

Namun pada kenyataannya, sejak tahun 2014, jauh sebelum adanya bencana pandemi, PT Freeport belum juga menyelesaikan pembangunan smelter hingga kini. Jadi itu bisa saja dibuat-buat alasan terdampak pandemi.

Menurutnya, seharusnya pemerintah tidak melihat perpanjangan izin ekspor PT Freeport ini hanya dari sisi pendapatan. Melainkan juga dampak yang ditimbulkan kepada dunia pertambangan Indonesia ke depan, terutama program hilirisasi yang tengah berjalan.

"Pemberian relaksasi ekspor konsenterat yang berkali-kali terhadap PT Freeport itu, akan menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha nikel dan bauksit yang selama ini sudah diwajibkan hilirisasi di smelter dalam negeri. Jika mereka tiba-tiba menuntut relaksasi ekspor serupa, tentu akan mengganggu program hilirisasi yang tengah berjalan," paparnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumya memberikan relaksasi ekspor mineral mentah kepada lima perusahaan hingga Mei 2024 mendatang.

Kelima perusahaan itu adalah PT Freeport Indonesia, Amman Mineral Nusa Tenggara untuk komoditas tembaga, kemudian PT Sebuku Iron Lateritic Ores untuk komoditas besi, PT Kapuas Prima Citra untuk komoditas timbal, dan PT Kobar Lamandau Mineral untuk komoditas Seng.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan, relaksasi dari beberapa industri smelter dilaksanakan atas justifikasi yang baik. Terlebih kelima perusahaan tersebut telah komitmen dalam membangun smelter di dalam negeri.

“Dengan begitu kami mengambil kesimpulan lima perusahaan ini betul-betul melakukan pelaksanaan proyek pembangunan smelter yang disyaratkan,” terangnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (24/5/2023).

Baca juga artikel terkait EKSPOR TEMBAGA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang