Menuju konten utama

Sedapnya Aroma Bisnis Rokok Elektronik

Rokok elektronik atau vapor sebagai pengganti rokok konvensional kembali menjadi tren di Jakarta dan kota-kota besar. Meski awalnya sempat booming dan terpuruk, kini bisnis vapor kembali menggeliat.

Sedapnya Aroma Bisnis Rokok Elektronik
Seorang pedagang rokok elektronik (e-cigarette) memperlihatkan tiga buah roko elektrik di pusat penjualan rokok elektrik di jl Rajawali, Palembang, Kamis (21/5). Pemerintah melalui Menteri Perdagangan (MENDAG) Rachmat Gobel dan mendapat rekomendasi dari Kementerian Kesehatan (MENKES) melarang penjualan dan impor roko elektronik (e-cigarette) dikarenakan mengandung zat nikotin yang berbahaya bagi kesehatan. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/Rei/pd/15.

tirto.id - Kepulan asap beraroma manis menyeruak begitu memasuki Jakarta Vapor Shop (JVS) di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Pada lantai pertama gedung, tertera simbol dari Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) di sebelah kiri ruangan yang berpintu kaca. Semakin menaiki anak tangga, kepulan asap pun semakin pekat, hingga sampailah di lantai ketiga.

Seorang pria dengan ikatan rambut ala Genji, berkumis lebat dan tato yang terajah di tangan, duduk di sofa sebalah kanan berbincang dengan dua orang lainnya. Ia asyik menghembuskan uap dari vapor, sebutan buat rokok elektronik, beraroma strawberi. Hal yang sama dilakukan kedua temannya yang berpenampilan lebih necis.

Sementara di sebelah kiri, beberapa pembeli menghadap etalase yang memajang berbagai macam device (peralatan vapor) dan liquid (cairan isi ulang vapor), asyik berbincang tentang jenis liquid baru yang patut dicoba. Sementara di tengah ruang, beberapa anak muda duduk melingkar di meja bulat, tengah asyik menghisap vapor. Beberapa yang lain terdengar mengobrol masalah modifikasi koil.

“Kami memang menyediakan JVS. Tempat ini bukan hanya sebagai tempat jual-beli, tapi lebih dari itu, sebagai tempat berkumpulnya komunitas-komunitas vapor,” kata Budiyanto, pemilik JVS kepada tirto.id, di Toko JVS, Fatmawati, Selasa (27/9/2016).

Bisnis JVS dimulai pada 2013. Ketika itu, JVS merupakan toko online yang melayani permintaan pasar terhadap tren baru vapor, yang disebut subtitusi rokok konvensional yang harus dibakar. Budi, awalnya merupakan perokok berat yang dapat menghabiskan tiga bungkus rokok per hari. Dia mencoba vaping –aktivitas menikmati vapor-- dan berhasil berhenti merokok. Tak mau hanya sekadar menjadi konsumen, sebulan setelah membuka toko online, ia kemudian membuka toko offline yang kini diklaimnya merupakan toko terlengkap yang menyediakan alat-alat vaping di Jakarta.

Sebelum booming seperti sekarang, bisnis vapor sempat mengalami naik turun. Pada tahun 2013, saat pertama kali masuk ke Indonesia, vapor mengalami kenaikan permintaan yang begitu luar biasa. Namun, pada akhir 2014 hingga awal 2015, buah manis itu tak lagi bisa dicecap para pebisnis vapor akibat berita miring tentang dampak negatif vapor. Bisnis bahkan sempat benar-benar anjlok ke titik terendah.

“Saat berita miring itu santer, ada yang berhenti vaping, ada yang balik ke rokok konvensional,” tuturnya.

Akibat berita miring itu, toko vapor hanya tersisa 40, dari 300 toko saat mulai booming pada 2013. Omzet yang diterima pun turun dari 100 persen ke tingkatan 20 persen -10 persen. Sampai pada tahun 2015-2016, bisnis vapor mulai merangkak naik dengan para palanggan yang kebanyakan anak muda berkisar usia 20 tahun-30 tahun.

Salah satu pemain besar bisnis vapor di Indonesia ini menyatakan, perkembangan bisnis vapor dapat dibilang menjanjikan dalam satu tahun ke depan. Contohnya penjualan per hari di JVS yang dapat menghabiskan 30-40 liquid, plus 5-10 device.

JVS memang menjual berbagai macam liquid asal US, Malaysia dan lokal dengan harga pasaran berkisar antara Rp90 ribu-Rp300 ribu. Varian lokal sebagai unggulan harganya berkisar Rp150 ribu. Sedangkan untuk device, JVS menjual hanya merk Cina dan Amerika. Untuk produk unggulan masih dipegang oleh merek Cina dengan harga berkisar Rp300 ribu hingga Rp2 juta. Sementara produk Amerika di atas Rp1 juta.

Jika dikalikan berbagai macam liquid dan device yang terjual, dengan asumsi liquid lokal dan device Cina paling laku, maka per harinya JVS mampu memperoleh omzet dari liquid sebanyak Rp4,5 juta-Rp6 juta dan dari device sebanyak Rp1,5 juta-Rp3 juta. Total omzet sebanyak Rp6 juta-Rp9 juta per hari.

Menurut Budi, kini vapor tak hanya sebagai subtitusi rokok konvensional, tetapi juga menjadi tren dan gaya hidup kaum urban. Banyak orang beralih ke vapor lantaran alat ini dianggap lebih “berkelas” dibandingkan dengan rokok konvensional. Apalagi untuk mendapatkannya, setidaknya seseorang harus merogok kocek awal sebesar Rp300 ribu untuk device dan Rp150 ribu untuk liquid yang rata-rata bakal habis per tiga hari. Selain itu, setiap minggunya, vaporizer –sebutan bagi perokok vapor-- harus mengganti koil device-nya yang harganya berkisar Rp40 ribu-Rp50 ribu.

“Tak hanya sebagai tren, rata-rata orang beralih ke vapor karena telah menemukan cita rasa yang pas. Sebab varian rasanya juga banyak. Tapi orang Indonesia lebih suka varian lokal yang manis dan cream-nya middle, seperti strawberi, coklat,susu, jeruk dan mangga,” jelas Budi.

Sensitif Isu

Bisnis vapor walau menjanjikan, tetapi ternyata sangat bergantung dan berdampak langsung pada pemberitaan yang beredar. Walaupun berita-berita tersebut belum tentu benar adanya, seperti berita negatif meledaknya device milik vaporizer asal Bali.

“Industri vapor ini gerilya, komunitas ke komunitas, person to person. Yang saya perhatikan, berita negatif efeknya sangat besar. Market-nya bisa tiba-tiba hilang, dampaknya langsung bisa turun 50 persen-70 persen. Tahun lalu seperti itu,” jelas Raynado Siagian, di sela-sela rapat bersama anggota Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), di gedung yang sama dengan Toko JVS, Fatmawati, Selasa (27/9/2016).

Padahal, menurutnya, jika diasumsikan berita meledaknya device vapor adalah benar adanya, kesalahan juga terletak pada pengguna. Sebab banyak pengguna awam yang kurang edukasi cara merawat device, misalnya dengan asal mengganti baterai device dengan baterai laptop. Atau mengatur ukuran aliran elektrik pada device dengan melewati batas yang ditentukan untuk menghasilkan uap yang banyak. Alhasil, device kemungkinan akan rusak dan meledak.

“Sehingga sejauh ini kita membuat edukasi ke masyarakat terkait berita miring. Setiap toko APVI juga harus jual kepada konsumen di atas usia 18 tahun. Usia di bawah itu kita tolak. Kita beri aturan main seperti itu. Ekstremnya kita minta tunjukkan KTP,” katanya.

Tak mau menanggung tuah, APVI memilih menyarankan anggotanya untuk memberikan edukasi kepada para pelanggan agar tak membeli di bawah usia yang ditentukan. Mengapa? Ia menilai, usia 18 tahun merupakan usia matang mental seseorang untuk dapat mempertimbangkan sebab-akibat sehingga lebih mudah diedukasi. Selain itu, usia 18 tahun juga sudah dapat dianggap mandiri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Kita tahu, anak kecil sekarang bawa motor saja ugal-ugalan. Khawatirnya jika yang konsumsi anak kecil, nanti dia coba otak-atik, lalu kaget karena uapnya banyak atau kenapa. Bisa jadi berita negatif dan kita lagi yang kena dampak,” katanya.

Untuk itu, wadah berkumpulnya para pegiat bisnis vapor tak hanya memperhatikan bisnis semata. Namun, juga peduli pada aspek keselamatan para pengguna. Apalagi di Indonesia, bisnis vapor masih dibilang dalam tataran “bertumbuh”.

Baca juga artikel terkait ROKOK ELEKTRIK atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Indepth
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho