Menuju konten utama
Periksa Data

Seberapa Resilien Bank-Bank RI Dibanding SVB?

Perbankan nasional tak serentan bank di negeri Paman Sam. Ada bekal likuiditas plus modal yang sehat, kebijakan dan pengawasan pun relatif lebih baik.

Seberapa Resilien Bank-Bank RI Dibanding SVB?
Header Periksa Data Industri Perbankan. tirto.id/Fuad

tirto.id - Industri perbankan global bulan ini diselimuti rasa was-was usai kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB), bank terbesar ke-16 di Amerika Serikat (AS) yang asetnya menembus 211,8 miliar dolar AS (sekitar Rp3.520 triliun dalam kurs Rp15.349 per dolar AS) pada akhir 2022, menurut laporan keuangan dari bank tersebut.

Apa yang membuat bank tersebut bergejolak? Bila menilik laporan tahunan terkininya yang dipublikasikan pada 24 Februari 2023, SVB menempatkan 55,42 persen dari total asetnya ke obligasi atau surat utang. Nilainya sebesar 117,39 miliar dolar AS (sekitar Rp1.801 triliun), kebanyakan dalam bentuk obligasi pemerintah AS dengan tenor panjang. Porsi yang diperuntukkan bagi kredit berkisar 74,3 miliar dolar AS atau Rp1.140 triliun.

Perlu diketahui, obligasi pemerintah bisa dibilang semacam hutang yang diberikan pada pemerintah, dalam jangka waktu yang berbeda-beda, bisa 3 bulan hingga 10 tahun. Pada akhir jangka waktu peminjaman, pemerintah akan mengembalikan hutang tersebut ditambah bunga. Obligasi pemerintah AS bahkan disebut investasi teraman di dunia karena pemerintah AS selalu membayar utang mereka, seperti dilansir dari NPR.

Namun, komposisi penempatan itu ternyata jadi belati tajam bagi SVB, khususnya ketika bank sentral AS—The Fed—agresif menaikkan suku bunga acuan demi menjinakkan inflasi. Imbasnya, harga obligasi turun karena terpukul naiknya suku bunga.

Dari situ, nilai portofolio obligasi SVB terpangkas, membuat bank ini mencatatkan unrealized loss atau kerugian yang belum terealisasi dalam aset investasi yang ditahan sampai jatuh tempo (held to maturities/HTM) senilai 15,1 miliar dolar AS (berkisar Rp231 triliun).

Kenaikan suku bunga acuan pun membuat bunga pinjaman ikut terkerek. Alhasil, banyak pelaku startup mengambil kembali simpanannya dari SVB karena butuh lebih banyak uang untuk membayar utang.

Sekadar informasi, dana simpanan SVB menyentuh 173,1 miliar dolar AS atau berkisar Rp2.656 triliun, sumbernya berasal dari simpanan yang dipercayakan oleh startup hingga perusahaan modal ventura, klien andalan SVB.

Penarikan dana besar-besaran (bank run) terus terjadi. Dalam kurun waktu 48 jam, SVB kolaps lantaran mengalami krisis modal. Portofolio aset SVB yang banyak disimpan di obligasi jangka panjang juga membuat asetnya tak bisa langsung dicairkan, "terkunci" sesuai jangka waktu tenor.

Kondisi yang dialami oleh SVB seakan ‘membuka mata’ atas risiko di industri perbankan. Sebuah paper yang diunggah ke situs Social Science Research Network pada 13 Maret 2023 mengungkap, sedikitnya ada 186 bank di AS yang berpotensi mengalami kegagalan seperti SVB.

Laporan bertajuk “Monetary Tightening and U.S. Bank Fragility in 2023: Mark-to-Market Losses and Uninsured Depositor Runs?” yang ditulis oleh akademisi Columbia University hingga Stanford University itu membeberkan, jumlah tersebut diproyeksikan berdasarkan potensi dari imbas kenaikan suku bunga The Fed dan tingginya proporsi simpanan di bank setempat yang tidak diasuransikan.

Bank di Indonesia Lebih Tangguh dari SVB?

Bila ratusan bank di AS berpotensi mengekor kejatuhan SVB, mungkinkah bank yang ada di Indonesia bakal bernasib sama?

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo meyakini potret perbankan tanah air tidak serentan bank di negeri Paman Sam. Ia menekankan, hal itu terlihat dari komposisi deposan atau pihak-pihak yang menyimpan uang dalam bentuk deposito.

Perry memandang, permodalan SVB terkonsentrasi pada deposan besar. 93 persen deposan bahkan ada dalam klaster yang sama, yakni berkaitan dengan financial technology company dan startup lainnya.

Di Indonesia, Perry menggambarkan bahwa sepuluh deposan (penyimpan dana) tertinggi secara umum porsinya hanya sekitar 10—15 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun bank.

Deposit funding [di bank-bank Indonesia] itu cukup terdiversifikasi sehingga itu memperkuat ketahanan funding bank,” kata Perry saat mengumumkan hasil rapat dewan gubernur BI pada Kamis pekan lalu.

Selain soal sumber dana simpanan, yang jadi pembeda antara bank di Indonesia dengan SVB dkk di AS adalah penempatan dana dalam obligasi AS (US treasury). Perry menuturkan, bank-bank di Indonesia jarang menggenggam obligasi AS.

Jika ada, menurutnya nilainya tak terlalu besar bila dibandingkan dengan kepemilikan bank-bank di Indonesia atas surat berharga negara (SBN) yang dikeluarkan oleh pemerintah RI.

Nah, BI mengeklaim telah berhasil menjaga kenaikan yield atau imbal hasil SBN agar tak terlalu tinggi sehingga risiko terkikisnya valuasi atas kepemilikan SBN tersebut bisa diminimalisir. Dari pengamatan BI, masing-masing bank pun sudah menyiapkan langkah antisipasi terkait risiko valuasi.

“Bank-bank yang kemudian ada negatif valuasi terhadap SBN sudah membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk negatif valuasi dari SBN-nya,” tutur Perry.

Bank secara khusus mengalokasikan dananya untuk membentuk CKPN atau loan loss provision. CKPN itulah yang nantinya menutup berbagai jenis kerugian, termasuk dari non performing loan atau kredit bermasalah, hingga negatif valuasi akibat penanaman dana seperti kepemilikan SBN.

“Sehingga capital adequacy ratio (CAR) sangat tinggi untuk menjadi bantalan risiko. CAR-nya kan 25,88 persen [perbankan secara nasional], ini sudah memasukkan CKPN. Secara keseluruhan, kami menyimpulkan bahwa kondisi perbankan di Indonesia itu berdaya tahan,” pungkas Perry.

Untuk diketahui, CAR atau rasio kecukupan modal adalah perbandingan antara jumlah modal dengan risk-weighted assets atau aset yang sudah ditimbang menurut risikonya.

CAR menjadi indikator dalam memastikan bahwa bank memiliki kemampuan menyediakan dana yang bisa digunakan sebagai cadangan untuk mengantisipasi adanya risiko kerugian. Semakin besar rasionya, semakin tebal pula "bantal" yang bisa menahan agar kerugian yang ditanggung bank tidak terlalu dalam.

Berikut CAR dari bank-bank beraset terbesar di Indonesia berdasarkan laporan keuangan akhir tahun 2022-nya, yakni Bank Mandiri, BRI, BCA, dan BNI.

Per akhir 2022, CAR di keempat bank tersebut berada di kisaran 19 persen—25 persen. Adapun CAR BCA menjadi yang tertinggi, menyentuh 25,8 persen.

Berbekal Likuiditas dan Modal yang Sehat

Moody’s, penyedia jasa analisis keuangan global, juga sepakat soal ketahanan bank di Indonesia. Industri perbankan di Asia Pasifik (APAC)—termasuk Indonesia—dinilai punya permodalan yang stabil dan likuiditas yang cukup.

“Bank di Asia Pasifik mempertahankan liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) yang sehat,” tulis Moody’s dalam keterangannya, Selasa 14 Maret 2023.

LCR menggambarkan porsi aset likuid dan menjadi salah satu alat ukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Rasio ini memastikan bahwa bank bisa melindungi diri saat mengatasi setiap gangguan likuiditas jangka pendek.

Sebagai informasi, bank diharuskan memiliki sejumlah aset likuid berkualitas tinggi yang cukup guna mengantisipasi arus kas keluar selama 30 hari, termasuk untuk "menyelamatkan" bank bila terjadi penarikan dana besar-besaran oleh nasabah.

Sementara itu, NSFR atau rasio pendanaan stabil bersih merupakan cerminan bank dari sisi kemampuan pemenuhan kewajiban jangka panjang. NSFR membandingkan pendanaan stabil yang tersedia atau available stable funding (ASF) dengan pendanaan stabil yang diperlukan (required stable funding/RSF).

ASF dihitung dari jumlah liabilitas dan ekuitas yang stabil untuk mendanai aktivitas bank selama periode satu tahun. Adapun RSF merupakan jumlah aset dan transaksi rekening administratif yang perlu didanai oleh pendanaan stabil.

Batas minimal LCR dan NSFR yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia adalah 100 persen. Dari penelusuran Tirto, empat bank dengan aset terbesar di Indonesia sudah memenuhi ketentuan tersebut. LCR dan NSFR tertinggi dimiliki oleh Bank BCA, angkanya masing-masing sebesar 393,5 persen dan 171,1 persen.

Selain LCR dan NSFR, kesehatan likuiditas bank juga bisa dilihat dari loan to deposit ratio (LDR) yang membandingkan penyaluran kredit (pinjaman yang disalurkan oleh bank) dengan total simpanan. Rasio ini LDR memastikan adanya likuiditas yang cukup untuk menutupi pinjaman, khususnya jika terjadi penurunan ekonomi yang mengakibatkan gagal bayar pinjaman.

LDR yang sehat, sebagaimana ketentuan dari BI, berkisar antara 78 persen—92 persen. Jika rasionya terlalu tinggi, bank mungkin tak punya cukup likuiditas untuk memenuhi kebutuhan dana yang tidak terduga. Sebaliknya, jika rasionya terlalu rendah, bank mungkin tidak memperoleh dana sebanyak yang seharusnya.

Unggul dari Sisi Pengawasan dan Kebijakan

Dari berbagai data tersebut, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede meyakini bahwa industri perbankan nasional akan memiliki daya tahan yang cukup baik dan tetap solid.

Josua mengamati, sejauh ini belum ada bank yang ditengarai bakal mengalami kesulitan likuiditas. Alhasil, menurutnya, tak ada pula bank-bank di Indonesia yang berpotensi punya kesamaan nasib seperti SVB.

“Kalau kita bicara soal SVB ini kan ada kealpaan dari sisi monitoring, mikroprudensial, pengawasan dari regulator di sana [AS] itu agak lemah,” kata Josua kepada Tirto.id.

Di Indonesia, jauh sebelum kejadian SVB pun pengawasan perbankan oleh OJK dinilai Josua sudah sangat ketat. Stress test pun menurutnya telah dilakukan secara menyeluruh dan rutin. Bank Indonesia juga ia nilai cukup cermat dalam melakukan penyesuaian suku bunga agar likuiditas tetap longgar dan terjaga.

“SVB itu juga kasusnya adalah tidak semua deposannya dijaminkan. Di Indonesia, penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kan jelas sampai dengan Rp2 miliar, suku bunga penjaminan juga cenderung naik. Ini juga menjadi salah satu indikasi bahwa kebijakan di negeri kita relatif lebih baik,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Shanies Tri Pinasthi

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Shanies Tri Pinasthi
Editor: Farida Susanty