Menuju konten utama

Seberapa Penting Tes Psikologi untuk Pembuatan SIM?

Polda Metro Jaya mewacanakan tes psikologi untuk pembuatan SIM. Kebijakan itu dibuat untuk memastikan pemilik SIM memiliki kesehatan mental.

Seberapa Penting Tes Psikologi untuk Pembuatan SIM?
Ilustrasi ujian SIM. ANTARA/Rahmad

tirto.id - Insiden "Xenia Maut" pada 2012 lalu yang memakan sembilan korban jiwa di Jakarta sempat menempel di ingatan publik. Nama Afriyani, sang sopir mendadak jadi buah bibir, ia positif mengonsumsi narkoba sebelum kejadian. Namun, polisi sempat melakukan tes psikologi atau kejiwaan terhadapnya, hasilnya Afriyani dinyatakan sehat.

Beberapa kasus kecelakaan bisa terjadi karena bertalian dengan narkoba, tapi sebagian diduga dipicu oleh persoalan kejiwaan pengemudi. Belakangan ini wacana tes psikologi bagi pengemudi yang akan mengajukan pembuatan dan perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) sempat mencuat.

Polda Metro Jaya berencana memasukkan tes psikologi ke dalam rangkaian ujian pembuatan SIM. Mulanya, Polda Metro Jaya menjadwalkan penerapan tes psikologi bagi pemohon SIM dilaksanakan mulai Senin (25/6), namun, rencana tersebut ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan karena pertimbangan kurangnya sosialisasi dan kesiapan internal.

“Karena harus ada lembaga psikologi sesuai standar dan dia harus siap sarana prasaranya itu tidak mudah juga. Itu harus ada di Polres, Polsek. Sekarang juga masih kami siapkan,” kata Kepala Seksi SIM Ditlantas Polda Metro Jaya, Kompol Fahri Siregar.

Rencana tes psikologi untuk mendapatkan SIM merupakan langkah yang masuk akal. Sebab, hal tersebut sesuai dengan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Termaktub dalam pasal tersebut, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Adapun kriteria kesehatan dibagi menjadi dua, yaitu sehat jasmani (fisik) dan rohani (mental).

Dasar hukum lain yang menguatkan rencana tersebut ialah Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2012. Dalam pasal 35 Perkap tersebut, tertulis kesehatan jasmani mencakup tiga aspek, yaitu penglihatan, pendengaran, dan fisik atau perawakan. Di pasal 36, dipaparkan enam kriteria kesehatan rohani, meliputi kemampuan konsentrasi, kecermatan, pengendalian diri, kemampuan penyesuaian diri, stabilitas emosi, dan ketahanan kerja.

Selanjutnya, untuk mengetahui kesehatan rohani pemohon SIM, Pasal 37 mengatur penilaian rohani didasarkan pada hasil tes psikologi. Materi tes psikologi disusun oleh psikolog dalam pengawasan dan pembinaan psikologi kepolisian daerah atau Biro Psikologi Polri.

Secara umum, tujuan diberlakukannya uji psikologi adalah memastikan pemegang SIM memiliki mental yang sehat dan mampu bersikap bijak saat berkendara. Penilaian psikologi akan menambah referensi polisi dalam mengukur kemampuan berkendara seseorang, di samping uji teori dan praktik yang menekankan pengetahuan umum seputar lalu lintas dan penguasaan teknik berkendara.

Rencana Polda Metro Jaya untuk memasukkan tes psikologi dalam ujian SIM cukup beralasan, mengingat angka kecelakaan di Indonesia masih tinggi. Data Kepolisian Republik Indonesia, dalam kurun waktu tiga bulan mulai Januari sampai Maret 2018, tercatat 24.874 kasus kecelakaan terjadi di seluruh Indonesia, dengan jumlah korban meninggal dunia mencapai 6.061 orang. Angka ini ada tren kenaikan, terutama bagi pengendara sepeda motor.

Psikologi dan Ujian SIM

Proses ujian SIM, menurut Mobility and Transport European Commision (Uni Eropa) harus memenuhi tiga aspek, yakni reliability, validity, dan legitimacy. Reliability merujuk pada seberapa presisi sebuah metode tes untuk menguji kemampuan setiap pemohon SIM. Dengan kata lain potensi kekeliruan dari instrumen tes sangat kecil.

Kedua, validity mengacu pada efektivitas metode ujian untuk menilai seseorang layak mendapatkan SIM. Metode ujian harus mencakup berbagai aspek mengenai pemahaman calon pemegang SIM tentang keselamatan dan aturan lalu lintas, kecakapan berkendara, dan sikapnya di jalan raya.

Aspek legitimacy berbicara tentang kredibilitas metode ujian SIM di mata masyarakat. Harus bisa dipastikan metode ujian SIM yang ditetapkan tidak dijadikan alat mencari keuntungan atau berpotensi terjadi penyelewengan oleh pihak pemegang kewenangan.

Uni Eropa tidak mengatur secara tegas mengenai materi ujian SIM. Dilansir dari website resmi Mobility and Transport European Commision, tes teori harus mampu memastikan calon pemilik SIM memahami sistem lalu lintas dan aturan yang berlaku di wilayah domisilinya. Pemahaman itu merupakan tolak ukur bahwa pengendara bisa mengambil keputusan yang tepat.

infografik uji psikologi buat pengemudi

Selain itu, ada pula tes teori yang kebijakannya berbeda di setiap negara. Norwegia dan Inggris misalnya, memberlakukan standardisasi rute, lengkap dengan instrumen lalu lintas layaknya jalan raya sungguhan untuk tes praktik berkendara. Di Swedia, rute ujian praktik ditentukan oleh penguji (tanpa standar baku), tapi tetap memuat situasi lalu lintas layaknya jalan raya sungguhan.

Formula ujian SIM di Jepang juga terdiri dari dua ujian utama, teori dan praktik. Pada simulasi ujian teori yang dimuat di situs website Japan Driver’s License, materi ujian difokuskan pada pemahaman tentang instrumen lalu lintas, sikap berkendara, dan perangkat keselamatan kendaraan. Setelah lulus ujian teori, pemohon akan mendapatkan panggilan selanjutnya untuk melakukan tes praktik berkendara.

Sementara, Badan Transportasi Daerah Kementerian Angkutan dan Jalan Raya India merumuskan ujian teori untuk mendapatkan SIM meliputi tes pemahaman kelengkapan kendaraan, instrumen lalu lintas, dan etika berlalu lintas. Secara umum, soal tes menguji pilihan sikap pengendara yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan berkendara.

Teorinya, orang yang bisa lolos uji teori dan praktik sudah pasti punya kecakapan berkendara di jalan. Bagaimana soal uji psikologi?

Fatima Pereira Da Silva, profesor di School of Education of Coimbra, Portugal, specialist bidang human factors and road safety dalam papernya yang berjudul “The Importance of Psychological Assesment, Risk Behavior and Driver’s Perception”, yang berisi hasil penelitiannya tentang uji psikologi bagi pemohon SIM. Ia mengatakan di Portugal ada uji psikologi dalam prosedur pembuatan SIM untuk mengidentifikasi perspektif kognitif, psikomotorik, dan psikososial calon pengemudi.

Dalam penelitiannya, Fatima melakukan observasi kepada 574 orang pengemudi dan calon pengemudi dari berbagai latar belakang pekerjaan. Ia mensurvei kepada para responden itu lewat kuisioner dengan pertanyaan utama tentang seberapa penting tes psikologi menurut para pengemudi dan seberapa efektif tes psikologi untuk mengetahui cara berkendara seseorang.

Hasilnya, sebagian besar responden menganggap tes psikologi penting untuk calon pemegang SIM. Mereka juga setuju tes psikologi dilakukan terhadap semua pengemudi, terutama dikaitkan dengan pelanggaran. Penelitian itu juga memaparkan bahwa pelanggaran lalu lintas menjadi salah satu penyebab utama kecelakaan fatal.

Pada kesimpulannya, Fatima menyebut perlunya optimalisasi tes psikologi dalam proses pembuatan SIM untuk mengetahui sikap berkendara seseorang. Nantinya, jika ditemukan indikasi pemohon SIM berpotensi melakukan pelanggaran lalu lintas, maka yang bersangkutan dinyatakan gagal dalam ujian SIM.

Kaitan kegiatan berkendara dengan kondisi psikis pengemudi telah banyak jadi perhatian dunia akademis dan jadi subjek penelitian. Christine Chaloupka, pendiri perusahaan konsultan FACTUM dan lulusan psikologi University of Vienna dalam paper berjudul “Why Do We Need Traffic Psychology” (2013), psikologi pengendara berkaitan dengan tingkah lakunya di jalan raya.

Kecelakaan lalu lintas bukan dikarenakan kurangnya pengetahuan dan kecakapan dalam berkendara, tetapi karena pengguna jalan raya tidak ada upaya untuk menjaga keselamatan. Perilaku tersebut didorong oleh faktor stres, kemarahan, atau egois. Pendekatan psikologi lalu lintas bisa dilakukan untuk meningkatkan kepedulian pengendara akan keselamatan. Penekanan pada pentingnya psikologi lalu lintas dapat mengurangi jumlah pelanggaran lalu lintas hingga 50 persen, dibandingkan membuat sanksi untuk pelanggar.

Ini berkaitan dengan upaya mengurangi potensi kecelakaan di jalan raya. Dilansir dari Drivemetrics, psikolog tahu bagaimana mengubah sikap seseorang yang teridentifikasi dapat melakukan pelanggaran lalu lintas.

Ada kesalahan berpikir yang paling sering dilakukan pengendara. Pertama, mereka merasa memiliki kemampuan berkendara lebih tinggi dibandingkan pengendara lain dan mereka akhirnya berkendara dengan ceroboh. Kedua, mereka tidak memikirkan risiko kecelakaan yang mungkin terjadi, sehingga menjadi acuh dalam menjaga keselamatan. Untuk menanggulangi perilaku tersebut, psikolog akan menemukan kesalahan dalam berpikir, kemudian mengarahkannya menjadi lebih baik.

Meskipun belum populer, kebijakan tes psikologi untuk mendapatkan izin mengemudi sudah mulai diterapkan di negara-negara maju. Di Jerman, mengutip “Evaluation Result of The Medical and Psychological Assesment in Germany” yang dirilis 2010, pelanggar lalu lintas yang kedapatan memiliki kadar alkohol dalam darah sebesar 0,16 persen akan ditarik izin mengemudinya dan harus menjalani masa rehabilitasi.

Setelah menjalani masa pantangan mengkonsumsi alkohol, para pelanggar harus menunaikan medical and psychological assessment (MPA). Tes psikologi itu dibuat untuk memastikan pelanggar lalu lintas sudah tidak lagi gemar mengonsumsi alkohol.

MPA juga diberlakukan untuk memeriksa kesehatan fisik dan psikis pemohon SIM, orang-orang yang terlibat perbuatan kriminal berkaitan dengan lalu lintas, pengemudi yang beberapa kali melakukan pelanggaran lalu lintas, dan calon pemegang SIM yang masih di bawah umur. Langkah preventif tersebut dilakukan untuk mereduksi angka kecelakaan lalu lintas.

Baca juga artikel terkait PEMBUATAN SIM atau tulisan lainnya dari Yudistira Perdana Imandiar

tirto.id - Otomotif
Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra