Menuju konten utama

SBY: Pergantian Sistem Pemilu Bisa Timbulkan Chaos Politik

SBY menilai MK tidak memiliki domain dan wewenang menetapkan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.

SBY: Pergantian Sistem Pemilu Bisa Timbulkan Chaos Politik
Mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjukkan surat suara saat menggunakan hak suaranya dalam Pemilu serentak 2019, di salah satu TPS, di Singapura, Kamis (14/4/2019). ANTARA FOTO/Anung/aaa/foc.

tirto.id - Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merespons adanya isu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemilu 2024 akan menggunakan sistem proporsional tertutup.

Menurut SBY, jika hal itu terjadi akan menjadi isu besar dalam dunia politik di Indonesia. Ihwal perubahan sistem pemilu, menurut SBY, ada tiga pertanyaan besar yang menjadi perhatian publik, mayoritas parpol, dan pemerhati pemilu.

Pertanyaan pertama, menurut Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu terkait ada tidaknya kegentingan dan kedaruratan, sehingga sistem pemilu diganti ketika proses pemilu sudah dimulai. Menurut dia, pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa berujung kacau alias chaos.

"Ingat, DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kepada KPU. Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan chaos politik,” kata SBY dalam keterangannya diterima reporter Tirto, Senin (29/5/2023).

Pertanyaan kedua, lanjut SBY, terkait kebenaran sistem pemilu terbuka pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi. Sebab, berdasar konstitusi, domain dan wewenang MK adalah menilai apakah sebuah UU bertentangan dengan konstitusi atau tidak.

"Bukan menetapkan UU mana yang paling tepat, sistem pemilu tertutup atau terbuka?” ucap SBY.

Menurut SBY, MK tidak memiliki argumentasi kuat bahwa sistem pemilu terbuka bertentangan dengan konstitusi, sehingga diganti menjadi tertutup. Selain itu, mayoritas rakyat akan sulit menerimanya.

Ketiga, SBY menilai penetapan sistem pemilu menjadi wewenang pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang, bukan di tangan MK.

“Mestinya presiden dan DPR punya suara tentang hal ini. Mayoritas partai politik telah sampaikan sikap menolak pengubahan sistem terbuka menjadi tertutup. Ini mesti didengar,” tutur SBY.

SBY mengatakan dalam menyusun DCS, parpol dan caleg berasumsi sistem pemilu tidak diubah atau tetap menggunakan sistem terbuka.

Pasalnya, perubahan di tengah jalan oleh MK, bisa menimbulkan persoalan serius, terutama KPU dan parpol harus siap kelola “krisis” akibat perubahan tersebut.

Menghindari situasi 'chaos' tersebut, SBY menyarankan untuk pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.

"Lalu setelah pemilu 2024, presiden dan DPR duduk bersama untuk menelaah sistem pemilu yang berlaku, untuk kemungkinan disempurnakan menjadi sistem yang lebih baik dengan mendengarkan suara rakyat," pungkas SBY.

Sebelumnya, ahli hukum tata negara Denny Indrayana mengklaim mendapatkan informasi bahwa Mahkamah Konstitusi akan memutus sistem pemilu berjalan proporsional tertutup. Ia pun sampai mengatakan bahwa putusan hakim akan dissenting (berbeda).

"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting," kata Denny Indrayana dalam cuitan di akun twitter miliknya, Minggu (29/5/2023).

Denny pun menyinggung bahwa informasi tersebut bisa dipercaya. Namun ia memastikan bahwa pemberi informasi bukan lah hakim.

Menanggapi hal tersebut, Menkopolhukam sekaligus mantan Ketua MK Mahfud MD menilai pernyataan Denny sebagai pembocoran rahasia negara. Ia pun mendorong agar ada penyelidikan dari aparat.

"Putusan MK itu menjadi rahasia ketat sebelum dibacakan, tapi harus terbuka luas setetalah diputuskan dengan pengetokan palu vonis di sidang resmi dan terbuka. Saya yang mantan Ketua MK saja tak berani meminta isyarat apalagi bertanya tentang vonis MK yang belum dibacakan sebagai vonis resmi. MK harus selidiki sumber informasinya," tegas Mahfud.

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono memastikan persidangan gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait sistem Pemilu belum memasuki pembacaan putusan.

"Berdasarkan sidang terakhir tempo hari, tanggal 31 Mei baru penyerahan kesimpulan para Pihak. Setelah itu, perkara dibahas dan diambil keputusan oleh Majelis Hakim," Kata Fajar kepada Tirto, Senin (29/5/2023).

Fajar pun menilai pembacaan putusan baru bisa diucapkan ketika putusan siap dan dibacakan saat sidang dengan agenda putusan. Ia mengatakan belum ada pembahasan antar hakim konstitusi sehingga belum ada sebuah putusan terkait perkara ini.

"Kalau putusan sudah siap, baru diagendakan sidang pengucapan putusan. Jadi, dibahas saja belum," kata Fajar.

Baca juga artikel terkait SISTEM PEMILU atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto