Menuju konten utama

Sayidiman Suryohadiprojo: Perwira Intelek yang Kritis Pada Soeharto

Kisah salah seorang perwira Angkatan Darat angkatan 45 yang kiritis kepada Soeharto.

Sayidiman Suryohadiprojo: Perwira Intelek yang Kritis Pada Soeharto
Sayidiman Suryohadiprojo. FOTO/wikipedia/Buku Pelengkap IV Pemilihan Umum 1977

tirto.id - Ketika sedang bertugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Sayidiman Suryohadiprojo diminta untuk menulis semacam pengantar pada buku tentang Presiden daripada Soeharto. Mulanya, dia tak menganggap serius permintaan itu sebab merasa bukan orang dalam lingkaran Soeharto. Namun, suatu hari ia didatangi ajudan Soeharto yang menagih tulisan. Ia pun segera menulisnya secara tergesa-gesa.

“[Soeharto] baik sebagai strateeg militer maupun politik, sebagai family man yang membina keluarganya dengan setia dan seksama,” tulisnya seperti dikutip Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintah Otoriter Soeharto (2016:85-86)

Namun, ia juga tak lupa mengkritik. “Mengapa Pak Harto yang sudah begitu kuat masih menunjukkan sikap kurang percaya diri dengan bertindak secara berlebihan terhadap pihak-pihak yang tidak disukai.”

"Apakah tidak lebih baik ketika Pak Harto berada pada puncak kekuasaan dan karier mengikuti Deng Xioping dan Lee Kuan Yew, melepaskan diri dari pimpinan negara secara formal,” imbuhnya.

Seminggu kemudian, seperti diceritakan Salim Said, datang pesan dari Jakarta. Isinya mengabarkan bahwa Soeharto sudah membaca tulisannya dan akan memuatnya. Tapi tentu saja bagian kritik dan saran dihilangkan. Sayidiman menolak tulisannya disunat. Tapi ia tak bisa berbuat banyak. Toh, Sayidiman juga tahu, bahkan pernah bilang, bahwa kekuatan utama politik di Indonesia bukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ataupun Golongan Karya (Golkar), melainkan Soeharto.

Belakangan, seperti terdapat dalam Pak Harto: The Untold Stories (2011:91), Sayidiman mengatakan bahwa Soeharto tak pernah marah padanya. Atas kritiknya yang ia sampaikan, suatu hari Soeharto pernah bilang padanya: “Kalau ada rencana apa dan masalah apa, ya disampaikan langsung. Jangan diam-diam.”

Perwira Terpelajar

Sayidiman adalah anak dari Raden Tumenggung Bawadiman Kartohadiprodjo--pamongpraja yang pernah menjadi patih dan bupati. Maka itu, ia dan saudara-saudaranya bisa mendapat pendidikan fomal yang baik. Setelah lulus dari Europe Lager School (ELS), Sayidiman sempat belajar di Hogere Burger School (HBS). Namun, belum genap tiga tahun di HBS, Jepang keburu menduduki Indonesia dan HBS ditutup. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke SMP Taman Siswa.

“Di HBS pendidikan mementingkan materinya, sedangkan di Taman Siswa yang diutamakan jiwa kebangsaan,” tulis Sayidiman dalam Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI: Sebuah otobiografi (1997:19).

Pada zaman Jepang, ia sempat belajar di Sekolah Menengah Tinggi (setara SMA), sebelum akhirnya masuk Akademi Militer di Yogyakarta.

Sayidiman dikenal sebagai perwira intelek. Pada awal karier militernya, ia menjalaninya sebagai perwira tempur yang mengomandani satuan-satuan di Angkatan Darat. Dalam Sejarah TNI AD Jilid XIII: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1981:563) disebutkan, Sayidiman memperoleh ilmu kepemimpinan dari buku dan pendidikan, serta menerapkannya dalam keseharian.

Jika Akademi Militer kolonial Milik kerajaan Belanda alias Kononklijk Militaire Academie (KMA) di Bandung mencetak T.B. Simatupang, maka Akademi Militer Yogyakarta melahirkan Sayidiman Suryohadiprojo. Ia disebut-sebut sebagai salah satu lulusan terbaik Akademi Militer Yogyakarta pada zaman revolusi kemerdekaan.

“Tidak dapat dibantah bahwa AM (Akademi Militer) Yogyakarta mempunyai kekurangan-kekurangannya. Tetapi itu adalah hal yang normal bagi semua lembaga Republik kita waktu itu dan bahkan hingga kini,” ujar Sayidiman.

Bahkan menurutnya, Akademi Militer West Point dan Akademi Angkatan Laut di Annapolis milik Amerika Serikat pun ada saja kekurangannya.

Dalam Sejarah TNI AD Jilid XIII: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1981:575) disebutkan, Sayidiman lulus dari Akademi Militer Yogyakarta pada bulan November 1948 dengan rangking 3 untuk kecakapan. Berbekal pangkat Letnan Dua, ia ditempatkan sebagai komandan peleton pada Batalion Nasuhi, yang merupakan bagian dari Divisi Siliwangi.

Divisi asal Jawa Barat ini sempat berada di Yogyakarta dan baru kembali ke daerah asalnya setelah 19 Desember 1948. Divisi Siliwangi adalah divisi yang sangat sibuk dalam sejarah militer Indonesia.

Infografik Sayidiman Suryohadiprojo

Infografik Sayidiman Suryohadiprojo 21 Sept 1927 - 16 Januari 2021. tirto.id/Fuad

Selama bertugas di Siliwangi, Sayidiman sempat menjadi komandan kompi pada batalion 305 dari 1949 hingga 1951. Ia juga pernah jadi ajudan Panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Sadikin. Setelah belajar di luar negeri, Sayidiman menjadi isntruktur dan kemudian menjadi komandan batalion 309.

Bersama pasukannya, ia ikut dalam operasi penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Tapanuli. Kariernya terus meningkat setelah operasi di Sumatra. Ia sempat ditempatkan di Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek) Bandung sebagai Wakil Komandan Korps Taruna, lalu Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) sebagai perwira bagian organisasi SUAD II.

Pada 1965, Sayidiman sudah menjadi Wakil Asisten II dari Menteri Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel. Setelahnya, ia ditarik menjadi Panglima Kodam XIV Hasanuddin—yang membawahi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara--menggantikan Solichin GP. Jabatan itu ia emban dari 1968 hingga 1970. Setelah itu, Sayidiman bertugas di Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Departemen Pertahanan Keamanan.

Setelah 1970, perwira cerdas dengan banyak karya tulis ini tak pernah jadi panglima lagi. Dia termasuk pembantu Jenderal Soemitro di Kopkamtib, yakni Asisten III/operasional. Jabtannya yang paling menterang di bidang pertahanan adalah sebagai Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), sejak 14 Juni 1974 hingga 13 November 1978.

Lalu sejak 1979 hingga 1983, Sayidiman diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Jepang. Ia juga sempat mengajar di sebuah kampus di Jakarta. Ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) lahir, Sayidiman yang sudah pensiun tidak disia-siakan oleh para kolega B.J. Habibie.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh