Menuju konten utama

"Saya Sangsi Indonesia Air Show Berhasil"

Pengalaman menggelar dua airshow skala internasional menjadi modal Indonesia untuk kembali melaksanakan acara serupa beberapa tahun ke depan. Namun, untuk mewujudkan acara sebesar Indonesia Air Show seperti 20 tahun lalu, butuh komitmen dan kemauan yang kuat. Bukan itu saja, infrastruktur tempat airshow juga jadi kendala Indonesia. Sehingga wajar saja rencana ini ditanggapi pesimistis oleh pelaku dirgantara.

Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman. tirto/Andrey Gromico

tirto.id - Ajang Indonesia Air Show (IAS) yang ke-3 diwacanakan bergulir pada 2018. Pameran kedirgantaraan skala internasional ini sudah lama terbenam selama 20 tahun. Rencana ini patut diapresiasi karena sudah sepantasnya sebagai negara produsen pesawat terbang seperti Indonesia punya pameran skala besar. Namun, menyelenggarakan airshow butuh banyak persiapan.

Singapura sebagai negara yang belum lama jadi tuan rumah acara ini mampu membuktikan bisa jadi penyelenggara yang sukses. Peluang Indonesia tetap ada, tapi banyak aspek yang harus dipikirkan seperti komitmen pemerintah, pendanaan, lokasi acara dan sebagainya. Ada kalangan yang pesimistis terhadap gagasan ini.

Berikut wawancara tirto.id bersama konsultan penerbangan dari Communicavia, Gerry Soejatman.

Bisa jelaskan perkembangan airshow di dunia hingga saat ini?

Airshow itu banyak tipenya. Ada kegiatan perdagangan sipil, perdagangan militer, gabungan perdagangan sipil dan militer serta ada kegiatan untuk publik. Kalau di Singapura Februari lalu, untuk perdagangan sipil dan kegiatan publik. Hari kerja buat perdagangan publik, sementara weekend untuk publik. Bedanya di hari publik itu, booth perdagangan ditutup semua.

Kalau airshow untuk publik itu banyak sekali, di Inggris misalnya, kegiatannya satu hingga dua minggu di musim panas. Ada juga airshow untuk kegiatan komunitas aerobatik antar sesama mereka.

Indonesia Air Show (IAS) sudah absen 20 tahun, apakah kita masih mampu menggelar ajang sebesar itu lagi?

Mampu ya mampu, tapi masalahnya untung enggak jika kegiatan airshow dilaksanakan. Memang dulu kita pernah buat airshow pada 1986 di Kemayoran dan 1996 di Soekarno Hatta. Kenapa bisa laksanakan meriah dan menguntungkan karena kegiatan seperti itu relatif jarang dilaksanakan dan lokasi acara belum padat seperti sekarang. Sekarang mau dibuat di mana?

Saya ambil contoh, Singapore Airshow Februari 2016 tidak semeriah dulu, karena kondisi perekonomian dunia stagnan dan banyak kegiatan airshow di berbagai belahan dunia saat ini. Namun, kegiatan kedirgantaraan terbesar di dunia saat ini adalah Paris Airshow di Le Bourget, Prancis dan Farnborough International Airshow, Inggris.

Ingat, kegiatan pertama Singapore Airshow rugi. Selain itu, Hong Kong juga punya acara kerdigantaraan, namanya Asian Aerospace International Expo, ibaratnya cabang dari Singapore Airshow dan pada akhirnya tutup. Selain itu, ada juga Airshow bertema khusus seperti bisnis aircraft di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia.

Bahkan Indonesia memiliki kegiatan dua tahunan yakni Indo Defence Expo dan merambah juga ke aerospace di Halim Perdanakusuma pada 2010. Kegiatan itu juga dihadiri berbagai negara internasional. Meski telah melaksanakan kegiatan kerdigantaraan, tapi tidak berbentuk seperti airshow.

Berapa biaya yang dibutuhkan dalam kegiatan airshow?

Butuh dana besar dalam kegiatan kerdirgantaraan skala internasional. Selain itu, kegiatan airshow harus mempunyai daya tarik sehingga para produsen, pebisnis dan pengunjung memiliki alasan untuk hadir dalam kegiatan itu.

Sekarang lihat Singapore Airshow 2016, jumlah penjualan mereka menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (transaksi bisnis Singapore Airshow 2014 capai 32 miliar dolar AS dan turun jadi 12,3 miliar dolar AS pada 2016).

Malaysia juga ada Langkawi Airshow, tapi kegiatannya bukan militer tapi lebih kegiatan untuk publik dan sedikit perdagangannya. Bahkan setiap tahun juga menyusut. Jadi, kalau orang bilang mau buat airshow, apakah Anda yakin?

Membuat acara sebesar airshow, butuh persiapan berapa lama?

Waktu dua tahun itu enggak lama lagi. Kalau acara 2018, artinya penyelenggara harus mengumumkan kegiatan Indonesia Airshow pada November 2016 kepada dunia internasional. Pengumuman mulai dari booth hingga promosi acaranya. Namun, saya sangsi berhasil kegiatan ini. Bukan tanpa alasan, sebab pameran-pameran kerdirgantaraan yang ada saja sepi.

Indonesia juga pernah buat airshow tingkat lokal seperti di Bandung dan Medan. Dua daerah rencananya mau buat acara setiap tahun dan penyelenggaranya adalah TNI AU. Dalam kegiatan lokal pasti ada korban. Ini juga harus dibenahi.

Selain itu, November 2016 Indonesia akan melaksanakan dua acara kerdigantaraan dengan waktu yang berdekatan, yakni Sabtu dan Minggu, lalu Sabtu dan Minggu depannya lagi. Memang spesialisasinya berbeda, tapi intinya tentang penerbangan. Hal ini seperti tidak ada koordinasi antar pihak penyelenggara. Harusnya kita memiliki satu agenda besar saja, jadi tidak terpecah-pecah daerah A dan B.

Anda sangsi rencana IAS 2018 akan berhasil, bukankah Indonesia punya pengalaman sukses di 1986 dan 1996?

Ingat, dulu Singapore Airshow juga belum ada. Selain itu, kegiatan Indonesia Airshow dilaksanakan 10 tahun sekali dan tidak semua negara dulu bisa melaksanakan acara besar itu. Bisa dikatakan dulu jarang kegiatan seperti ini, tapi sekarang tiap tahun itu pasti ada bahkan ada acaranya ada di tahun yang sama seperti Singapore Airshow (Februari 2016) dan London Airshow (September 2016).

Indonesia salah satu produsen pesawat terbang, apakah ini cukup jadi modal penyelenggara airshow?

Singapura memang tidak memiliki pabrik pembuat pesawat, akan tetapi industri komponen suku cadang penerbangan seperti avionik besar sekali. Bahkan lebih besar dibandingkan Indonesia.

Kalau kita, pabrik komponen suku cadang yang merakit juga PT DI. Memang dibuat banyak tapi pihak swasta yang terlibat dalam pembuatan komponen tersebut sangat sedikit sekali di Indonesia, karena itu industri penerbangan kita tidak akan maju.

Artinya pihak lain harus membantu buat komponen juga. Kalau Singapura, pembuatan komponennya banyak sekali dan itu untuk memasok ke seluruh dunia. Makanya, kegiatan Singapore Airshow lebih mudah karena mereka memiliki aerospace center di Asia. Sementara Indonesia tidak ada seperti itu.

Jadi peluang Indonesia bisa menggelar acara seperti Singapura Airshow, masih mungkin?

Ada persoalan baru bagi Indonesia. Acara airshow mau dibuat di mana? Bandara Halim Perdanakusuma sudah padat. Paling bisa dibuat di Polonia Medan yang dikelola TNI AU. Lalu pertanyaannya, orang mau enggak ke Medan? Jadi mau dibuat di mana lagi sekarang airshow sebesar itu. Bandung, bisa saja melaksanakan acara akbar tersebut karena tidak jauh dari Jakarta, tapi akan mengganggu penerbangan sipil. Persoalan lainnya adalah TNI AU biasanya membuat kegiatan ini untuk perkenalan kegiatan mereka, bukan misi dagang. Kalau Singapura itu misi dagang.

Ada wacana IAS 2018 akan melibatkan penyelengara acara airshow di Dubai dan Singapura, apa pendapat Anda?

Coba saja, enggak masalah, tapi ingat pada 2018 ada acara Singapore Airshow juga. Kemudian di tahun 2018 ada kegiatan Indo Defence Expo. Pemilihan waktu juga harus menjadi pertimbangan. Kalau bentrok dengan Singapore Airshow, kenapa enggak diundur atau dipilih pada 2019? Kalau bentrok dengan Indo Defence Expo enggak masalah karena itu murni militer, sementara kita perdagangan untuk sipil dan militer.

Selain itu, TNI AU sadar enggak jadwal-jadwal airshow dan militer airshow di dunia. Itu harus dilihat semua dan menjadi pertimbangan dalam menentukan tahun dan tanggal. Jika tidak maka hanya buang-buang uang saja kegiatan tersebut. Kita harus melihat produsen yang ikut airshow, ibarat mereka keliling dunia ini memliki jadwal padat. Jika ada kegiatan yang berdekatan atau bentrok, pasti mereka akan memilih antara A atau B.

Kegiatan Airshow itu menguntungkan?

Jangan berharap ke sana dulu. Itu sangat kecil menguntungkan, betul lho. Kalau belum untung mereka, berarti tak menemukan konsep yang tepat.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti