Menuju konten utama

Satu WNI Korban Serangan Penembakan di Selandia Baru Masih Kritis

Korban bernama Zulfirmansyah masih kritis dan dirawat di ICU Christchurch Public Hospital, sementara anaknya sudah dalam keadaan yang lebih stabil.

Satu WNI Korban Serangan Penembakan di Selandia Baru Masih Kritis
Staf ambulans membawa seorang pria dari luar masjid di pusat Christchurch, Selandia Baru, Jumat, 15 Maret 2019. Mark Baker / AP

tirto.id - Duta Besar Republik Indonesia (RI) untuk Selandia Baru Tantowi Yahya menyampaikan bahwa seorang warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban dalam penembakan massal di dua masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, masih dalam kondisi kritis.

"Ada dua warga kita yang menjadi korban tembakan, bapak dan anak. Bapak dalam keadaan kritis karena tembakan berkali-kali, sementara anaknya kena tembakan satu kali," ujar Dubes Tantowi melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, pada Jumat (15/3/2019) dilansir Antara.

Sedikitnya 49 orang ditembak mati dan puluhan orang luka-luka pada serangan teror terhadap dua masjid terjadi di Selandia Baru, Jumat (15/3/2019) pagi waktu Indonesia.

Korban bernama Zulfirmansyah masih kritis dan dirawat di ICU Christchurch Public Hospital, sementara anaknya sudah dalam keadaan yang lebih stabil.

Kedua WNI tersebut tertembak di Masjid Linwood, salah satu masjid yang juga menjadi sasaran kelompok teroris tersebut.

Dari enam WNI yang diketahui sedang berada di Masjid Al-Noor saat serangan penembakan terjadi, lima orang telah melaporkan diri ke KBRI Wellington dalam keadaan sehat dan selamat.

Sementara satu orang atas nama Muhammad Abdul Hamid masih belum diketahui keberadaannya.

KBRI Wellington terus melakukan pemantauan dan menyiapkan bantuan konsuler terhadap peristiwa penembakan yang terjadi di Christchurch.

"Ada 344 WNI di Christchurch dan kami sedang kontak satu per satu. Kami terus melakukan komunikasi dengan polisi setempat dan warga kita di sana. Kami sendiri belum bisa ke sana karena semua penerbangan ke Christchurch dibatalkan, bandara ditutup dan baru dibuka besok," kata Tantowi lagi.

KBRI Wellington juga telah mengeluarkan surat imbauan kepada seluruh WNI di Selandia Baru agar tetap tenang dan waspada, serta mematuhi himbauan dari pihak keamanan Selandia Baru.

KBRI Wellington masih terus memonitor keadaan di lokasi kejadian, termasuk kondisi di Bandara Christchurch, untuk pengiriman bantuan dan tim konsuler ke Christchurch.

KBRI Wellington tetap membuka nomor hotline dengan nomor +64211950980, +6421366754, dan +64223812065 untuk menerima laporan dari WNI lainnya.

Kepolisian Selandia Baru sendiri telah merilis informasi mengenai jumlah korban, yakni 49 korban meninggal dunia, masing-masing 47 korban meninggal dunia di Masjid Al-Noor, tujuh orang meninggal di Masjid Linwood, dan satu orang meninggal di Christchurch Public Hospital.

Pemerintah Selandia Baru membuka hotline untuk para keluarga korban pada nomor 0800-115-019.

Pemerintah Selandia Baru melalui Perdana Menteri Jacinda Ardern telah mengutuk aksi penembakan tersebut dan menyebut tindakan keji ini sebagai aksi terorisme.

Pelaku penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru mengunggah aksinya di manifesto online untuk menjelaskan mengapa ia melakukan serangan massal tersebut.

Dilansir news.com.au, pria tersebut melakukan penembakan di Masjid Al Noor, Christchurch dan menyiarkan aksinya secara langsung. Pria itu yang mengidentifikasi dirinya sebagai Brenton Tarrant dari Australia, menyiarkan amarahnya dan menyalakan kamera sesaat sebelum melakukan penembakan.

Dalam manifesto online sebanyak 74 halaman itu, ia menggambarkan dirinya sebagai "orang kulit putih biasa".

Pria berusia 28 tahun ini menyebut ia dilahirkan "dari kelas pekerja, keluarga berpenghasilan rendah yang memutuskan mengambil sikap untuk memastikan masa depan bagi rakyat saya."

Ia mengatakan melakukan serangan itu untuk "secara langsung mengurangi tingkat imigrasi ke tanah-tanah Eropa."

Baca juga artikel terkait PENEMBAKAN SELANDIA BARU atau tulisan lainnya dari Maria Ulfa

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Maria Ulfa
Editor: Yulaika Ramadhani