Menuju konten utama

Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf: Kekerasan TNI-Polri Semakin 'Membudaya'

Satu tahun Jokowi-Ma'ruf, yang berlatar belakang sipil, mempertegas budaya kekerasan TNI-Polri dalam menghadapi masyarakat.

Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf: Kekerasan TNI-Polri Semakin 'Membudaya'
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kanan) memimpin rapat terbatas satu tahudi Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (9/1/2020). FOTO ANTARA/Puspa Perwitasari/aww.

tirto.id - Pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin berusia satu tahun per 20 Oktober kemarin. Salah satu 'pencapaian' mereka adalah normalisasi perluasan wewenang aparat--TNI dan Polri--ke ramah sipil. Perluasan kewenangan ini menjadi catatan kritis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Dalam Catatan 1 Tahun Pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin: Resesi Demokrasi (PDF), Kontras melihat ada upaya sistematis dai pemerintah untuk memperluas peran dan pengaruh anggota polisi--terutama yang masih aktif--ke dalam berbagai jabatan pada lembaga eksternal. Setidaknya ada 30 orang anggota kepolisian yang menempati jabatan di luar organisasi Polri selama satu tahun terakhir, baik yang sampai saat ini masih menempati jabatan tersebut maupun yang sudah tidak lagi aktif.

Jabatan-jabatan itu seharusnya ditempati oleh aparatus sipil negara (ASN).

"Fenomena ini memunculkan potensi masalah yang lebih luas seperti tergerusnya netralitas Polri, memperlemah pemerintahan sipil, dan rentan penyalahgunaan wewenang," tulis Kontras.

Salah satu efek dari perluasan kewenangan Polri adalah banyaknya kekerasan yang terjadi kepada warga sipil: penyiksaan, penganiayaan dan bentrokan dengan warga, serta salah tembak.

Metode penyiksaan untuk memperoleh pengakuan, misalnya, dilakukan dalam proses hukum biasa. Korbannya melimpah: dari 33 peristiwa, 22 orang tewas dan 9 luka-luka. Sementara angka penganiayaan dan kekerasan lainnya seperti bentrokan oleh Polri berjumlah 57 peristiwa dan mengakibatkan 102 orang luka-luka dan 2 tewas.

Ini semua belum termasuk langkah yang diambil Polri beberapa waktu lalu untuk mengaktifkan kembali Pamswakarsa dan melakukan pengintaian (surveillance) ke warga sipil yang menolak UU Cipta Kerja.

Perluasan kewenangan juga tidak hanya terjadi pada Polri, tapi juga TNI. Efeknya sama buruk. Kontras mencatat dalam satu tahun terakhir, 76 kekerasan dilakukan oleh TNI, didominasi oleh penganiayaan (40 kasus) dan penembakan (19 kasus). Semua kasus itu mengakibatkan: 43 orang tewas, 100 luka-luka, 3 ditangkap, dan 8 lainnya--tidak terdapat bekas fisik, misalnya diintimidasi.

"Berbagai peristiwa kekerasan yang kami temukan menunjukkan besarnya ketimpangan relasi kuasa antara aparat TNI dengan masyarakat sipil yang kerap berujung pada tindakan main hakim sendiri ketika ada masalah antara aparat TNI dengan masyarakat sipil," tulis Kontras.

Jika Polri hendak memiliki Pam Swakarsa, maka TNI juga diberikan jatah untuk memperluas kewenangan di ranah sipil lewat membentuk Komponen Cadangan lewat UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (UU PSDN).

Perluasan peran TNI juga tampak dalam perumusan Perpres Tugas TNI dalam Mengatasi Terorisme. Rancangan perpres ini memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada TNI untuk mengatasi terorisme, kata Kontras, terdiri dari fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan.

"Perluasan peran dan pengaruh militer selama satu tahun terakhir juga terjadi secara kultural, yakni melalui program pendidikan 'wajib militer' yang dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum perguruan tinggi," Kontras menambahkan.

Kontras juga membandingkan aturan-aturan yang dimiliki oleh Polri dengan kenyataan di lapangan. Hal ini penting untuk mengukur sudah sejauh mana Polri menaati aturannya sendiri.

Satu peraturan yang diuji adalah Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2008, khususnya di Pasal 10 huruf E, yang menyatakan: "Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan."

Faktanya: ada 33 Peristiwa penyiksaan oleh polisi dalam periode Oktober 2019-September 2020.

Contoh lain, di perkap yang sama, khususnya pasal 11 ayat 1 huruf J, tertulis: "Setiap petugas/anggota Polri dilarang menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan."

Kenyataannya: terdapat 475 peristiwa penembakan yang menewaskan 213 orang dan membuat 544 orang lainnya luka-luka.

"Penggunaan kekuatan dalam penanganan massa aksi yang masuk dalam pemantauan kami bersifat serampangan dan tidak sesuai dengan tahapan penggunaan kekuatan yang diatur dalam Perkap 1/2009 tentang penggunaan kekuatan senjata api," tulis Kontras.

Mengembalikan Hegemoni Aparat

Usai Orde Baru runtuh, salah satu tuntutan yang paling nyaring terdengar adalah penghapusan dwifungsi ABRI. Harapan TNI akan kembali ke barak dan Polri akan menjadi elemen keamanan biasa--bukan alat politik.

Masalahnya, menurut peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, salah satu kelemahan dari UU Kepolisian yang dibikin pada 2002 era Presiden Megawati Soekarnoputri justru membuat Polri yang berada di bawah langsung Presiden bisa menjadi lembaga yang terlalu kuat dan justru "memperlemah demokrasi".

"Dengan kewenangan sebagai ujung tombak penegakan hukum, kepolisian bisa menjadi kekuatan yang menjadi bumerang bagi pembangunan demokrasi yang dibayangkan pasca-Orde Baru," kata Bambang saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (20/10/2020) siang.

Bambang menilai Polri saat di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatar belakang militer tak menunjukkan kecenderungan menjadi alat kontrol dan kekuasaan. Padahal, kesempatan itu bukannya tak ada. "Namun, di era Pak Jokowi, di mana PDIP sebagai partai pengusung sekaligus pendukungnya, dan juga yang menyusun UU Kepolisian, potensi kepolisian menjadi alat hegemoni negara tadi kembali dimaksimalkan."

Polri di periode pertama Jokowi (2014-2019) masih dalam level coba-coba sebagai aktor hegemoni, katanya. Hal tersebut bisa dilihat lewat contoh kasus Cicak versus Buaya jilid III dan revisi UU KPK yang terbaru. "Dan periode kedua ini kecenderungan memanfaatkan potensi kekuatan makin dimaksimalkan," katanya.

Salah satu efeknya, seperti yang dijabarkan Kontras, adalah meningkatnya kekerasan ke masyarakat. "Kekerasan pada masyarakat dengan mengatasnamakan hukum: sah menurut hukum tetapi sebenarnya mencederai substansi demokrasi," katanya.

Bambang kemudian berefleksi: "Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana menata demokrasi kita ke depan. Apakah ini akan dibiarkan atau cukup sampai di sini? Bagaimana bila rezim berikutnya lebih buruk?"

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN JOKOWI-MARUF atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino