Menuju konten utama

Satu Dasawarsa Chrome Menyedot Data-Data Pribadi Kita

Chrome telah berumur 10 tahun, selama itu pula perambah buatan Google ini menyedot data-data pribadi penggunanya.

Satu Dasawarsa Chrome Menyedot Data-Data Pribadi Kita
Ilustrasi aplikasi Google. Getty Images/iStock Editorial

tirto.id - “Kami semua di Google menghabiskan waktu menggunakan browser,” tulis Sundar Pichai, Chief Executive Officer (CEO) Google kala itu masih menjabat VP Product Management. Kenyataan itu lah yang mendorong Google meluncurkan Chrome, sebagai perambah web pada awal September, satu dasawarsa lalu.

Chrome merupakan perambah bikinan Google. Secara teknis, perambah ini dibuat menggunakan WebKit, browser engine, sebagai komponen utama perambah, bekerja untuk mengubah HTML atau struktur lain situsweb menjadi tampilan visual yang cantik yang dikembangkan Apple sejak 2001, yang jadi otak Safari.

Namun, semenjak April 2013 Chrome menggunakan Blink, browser engine yang secara khusus dikembangkan Google. Perubahan dari WebKit ke Blink, tulis Klint Finley pada Wired, terjadi karena adanya pembaruan “multi-process architecture” di WebKit yang berbeda dibandingkan versi sebelumnya. Multi-process architecture merupakan rancangan teknis yang memungkinkan tab dalam perambah bekerja sendiri-sendiri (sandbox).

Selain memanfaatkan Blink, Chrome dikembangkan dengan menggunakan V8, javascript engine yang memungkinkan perambah tersebut bekerja 10 kali lebih cepat dibandingkan Safari dan Firefox serta 56 kali lebih cepat dibandingkan Internet Explore 7.

Menurut Pichai, perambah tak dianggap penting bagi pengguna internet, tapi yang terpenting adalah situsweb atau layanan internet yang dijalankan menggunakan perambah. Namun, Google tak sembarang menciptakan perambah. Google percaya bisa menambah nilai bagi pengguna internet di seluruh dunia, dan pada saat bersamaan membantu menghadirkan inovasi pada dunia web.

Evan Martin, salah seorang tim pengembang Chrome, pada sesi wawancara dengan James Gray, jurnalis Linux Journal, mengatakan penambahan nilai dan menghadirkan inovasi diberikan melalui desain Chrome yang “sederhana dan mudah digunakan”.

Sebagai perusahaan internet, Google sangat tergantung pada perambah. Segala layanan Google seperti Search, Gmail, Maps, hingga YouTube bekerja melalui perambah. Matt Rosoff, Executive Editor Business Insider, dalam salah satu tulisannya mengatakan Chrome memang “tak menghasilkan pendapatan langsung bagi Google”. Namun “Chrome mendefinisikan standardisasi dunia web,” dan pada akhirnya membantu layanan-layanan Google yang lainnya sukses.

Pada 2008, belum genap setahun Chrome lahir, perambah tersebut tak memiliki pangsa pasar berarti. Setahun berselang, Chrome memperoleh pangsa pasar sebesar 3,01 persen di Amerika Serikat, dan meningkat dua kali lipat, menjadi 6,04 persen pada 2010.

Peningkatan pangsa pasar Chrome berbanding lurus dengan peningkatan pangsa pasar mesin pencari Google. Di Amerika Serikat, pada 2010, Google memperoleh 63,5 persen pangsa pasar. Setahun berselang, pangsa pasar mereka meningkat jadi 66,0 persen. Peningkatan ini terjadi karena Google menghadirkan konsep “omnibox” pada perambah buatan mereka. Omnibox merupakan konsep tempat mengetik url situsweb dan tempat mengetik kata kunci pencarian digabungkan di satu tempat. Konsep ini tidak dilakukan Safari, Firefox, maupun Internet Explore, yang memisahkan kolom url dan kata kunci pencarian.

“Chrome benar-benar menekan dunia web [...] Ketika pengguna internet menggunakan Chrome, mereka sesungguhnya menggunakan Google (sebagai mesin pencari) [...] Semua orang yang menggunakan Chrome telah terkunci menggunakan (layanan-layanan) Google,” cetus Patrick Pichette, yang jadi Chief Financial Officer kala Google melahirkan Chrome.

Selain apa yang diungkap di atas, melahirkan Chrome adalah investasi jangka panjang bagi Google, khususnya dalam hal menekan biaya promosi bagi layanan-layanan Google. Pada 2017, Google menggelontorkan uang tak sedikit untuk membuat Firefox, perambah buatan Mozilla Foundation, menjadikan Google sebagai default mesin pencari. Angka kerja sama tersebut diprediksi lebih dari $300 juta, nilai per tahun yang sebelumnya digelontorkan Yahoo pada Firefox.

Gelontoran uang yang tak sedikit bagi Firefox merupakan bagian dari Traffic Acquisition Cost yang mesti dikucurkan Google agar layanan mereka tetap digunakan pengguna. Menciptakan perambah, yang suatu saat dirancang untuk menguasai pangsa pasar, bisa menekan biaya Traffic Acquisition Cost. Pada 2017, Google merogoh kocek sebesar $5,5 miliar sebagai Traffic Acquisition Cost.

Infografik Chrome

Ancaman Privasi

Sampai kini, Chrome merupakan perambah nomor satu di dunia dengan perolehan pangsa pasar sebesar 59,69 persen. Namun, seperti perangkat lunak atau aplikasi komputer lainnya, ada isu privasi yang mengintai para pengguna Chrome.

Sebagaimana dikutip dari laman resmi Chrome, ada beberapa data digital pengguna yang “disimpan” Chrome, misalnya rekam jejak (history) kunjungan situsweb, informasi pribadi (password dan sebagainya), hingga cookies. Cookies merupakan file yang berisi informasi tentang situsweb yang disimpan di komputer. Saat pengguna login misalnya, informasi akan disimpan ke dalam cookies. Saat pengguna melakukan login kembali, pengguna tak perlu mengetik ulang username dan password karena karena sudah memiliki cookies.

Google pernah punya masalah untuk urusan cookies. Sebagaimana dilaporkan Slate, Google pernah menggunakan cookies yang tercipta dari Chrome untuk memata-matai penggunanya. Alih-alih digunakan untuk proses yang hanya digunakan layanannya sendiri, mereka menggunakan cookies untuk mengetahui situsweb mana saja yang dikunjungi pengguna lengkap dengan akun Google mana yang aktif saat itu digunakan.

Pada 2008, lembaga swadaya masyarakat bernama Consumer Watchdog mengatakan Google mengumpulkan kata kunci yang diketikkan pengguna di Chrome pada server mereka. Ini dikumpulkan dan dijadikan patokan fitur sugesti Chrome. Selanjutnya, pada 2015, Google dituduh memasang “alat perekam suara” pada Chrome sebagai bagian fitur Oke, Google” secara remote. Meskipun pemasangan itu merupakan bagian dari peningkatan fitur Chrome, alat perekam suara bisa digunakan mendengarkan segala percakapan pengguna di manapun.

“Tanpa persetujuan, Google telah memasang kode sendiri yang bisa menyalakan microfone dan secara aktif bisa mendengarkan segala suara di kamarmu,” kata Rick Falkvinge, pendiri Pirate Party, sebagaimana diwartakan The Guardian.

Sayangnya, tudingan Falkvinge bisa jauh berbeda dengan kenyataan di lapangan. Pada praktiknya saat pengguna memasang Chrome, di komputer maupun smartphone, pengguna disuguhkan soal "user agreement" yang wajib diisi oleh setiap calon pengguna. Dalam salah satu paragraf di user agreement, Chrome mengatakan "dalam hal menggunakan Chrome, Anda harus menyetujui persetujuan lebih dahulu. Jika tidak, Anda dilarang menggunakan Chrome."

Di salah satu bagiannya, Google mengatakan bahwa "Anda setuju untuk menggunakan data Anda sesuai dengan kebijakan privasi Google."

Ancaman privasi yang mengancam sukar dihindari pengguna internet. Mereka dihadapkan pada posisi menerima atau tidak memakai layanan sama sekali. Chrome, telah jadi standar dunia untuk berselancar di dunia maya telah menerapkan pola pengumpulan data pengguna sejak usia kelahirannya.

Baca juga artikel terkait GOOGLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra