Menuju konten utama

Sapeur, Biar Miskin Yang Penting Gaya

Anggota komunitas La Sape di Kongo hidup di tempat kumuh. Sebagian dari mereka pengangguran tetapi busana mereka berharga ribuan dolar.

Sapeur, Biar Miskin Yang Penting Gaya
Congo Dandies. Youtube/RT Documentary

tirto.id - Seorang warga Brazzaville, Kongo, menyatakan keluhan dengan nada suara yang menyiratkan amarah. Ia merasa seperti budak di negara miskin. Dia kesal melihat orang-orang di sekitarnya harus susah payah untuk mendapatkan air bersih padahal mereka tinggal di dekat sungai Kongo. Keluhan pria ini tayang dalam The Congo Dandies, film dokumenter yang diproduksi oleh Russia Today (RT).

Keluhan yang sama sebetulnya dialami pula oleh para Sapeurs, sebutan bagi anggota komunitas La Sape, singkatan dari Société des ambianceurs et des personnes elegantes atau Society of Atmosphere-setters and Elegant People. Sebuah komunitas pecinta fesyen. Luzolo, Sapeurs yang bekerja sebagai penjual DVD mengaku tidak memiliki pasokan air di apartemennya. Tetapi ia punya baju Dolce & Gabbana. Seorang Sapeurs tidak peduli terhadap permasalahan ekonomi. Mereka hanya memedulikan satu hal: tampil gaya.

Para Sapeurs berjalan di kawasan kumuh Brazzaville mengenakan setelan jas warna warni, topi, sepatu kulit, kacamata hitam, dan payung. Mereka tampil layaknya pria kelas atas Eropa yang mengenakan busana dan aksesori dengan material dan potongan yang tepat. Setiap akhir pekan, para Sapeurs berkumpul di tepi jalan yang dipadati pedagang kaki lima. Di sana mereka saling memamerkan busana yang dikenakan. Warga yang bukan bagian dari La Sape menilai Sapeurs berpenampilan terbaik. Tidak ada hadiah bagi yang pakaiannya paling apik. Sapeurs cuma butuh pengakuan bahwa mereka keren.

Tampilan yang dianggap keren membuat nama mereka dielukkan di tempat umum. Ini terjadi pada Maxime Pivot, yang pernah menyandang predikat Sapeurs terbaik. Bila ia datang ke pasar, para pedagang menyorakkan namanya. Pivot bagai selebritas. Para pedagang menyalami dan berusaha memegangnya.

Hal serupa terjadi pula pada seorang lansia bernama Severin Muengo. Di jalan, ia kerap diikuti oleh anak-anak. Namanya kerap dipanggil-panggil. Pada RT ia berkata bangga bahwa hal itu membuat dirinya merasa sebagai orang terkaya dan membuatnya merasa seperti di surga.

Muengo bangga memamerkan karung-karung berisi dasi dan syal, serta puluhan setelan jas yang menggantung di empat sisi dinding ruang penyimpanan baju di rumahnya. Ia mengaku meminjam uang sekitar US$6.000 - US$8.000 untuk membeli baju bermerek.

Di Kongo, praktik ini telah berlangsung sejak akhir tahun 1980-an. Dalam naskah yang terbit pada tahun 1988, New York Times menulis bahwa harga busana Sapeurs rata-rata tiga kali lipat lebih besar dari penghasilan bulanan mereka. Untuk Sapeurs yang tidak mampu membeli busana, tersedia jasa penyewaan baju. Bagi yang punya uang, baju bisa dibeli di sebuah toko yang menjual barang bermerek asal Paris seperti Yves Saint Laurent dan Yohji Yamamoto. Toko dimiliki oleh seorang Sapeurs yang kerap datang ke Paris untuk memborong busana guna dijual kembali.

Mereka pantang mengenakan busana tiruan karena jenis busana itu dianggap sebagai penghinaan dan tidak dibenarkan. Sapeurs di Kongo punya prinsip sapologie. Aljazeera menulis bahwa sapologie ialah ajaran agar Sapeurs tidak melakukan kekerasan serta ketidakadilan, tetap bahagia dan tampil elegan meski tak cukup makan.

Sapologie terkesan kontras dengan hal yang terjadi pada Sapeurs yang bermigrasi ke kota Paris. Merekalah cikal bakal La Sape yang jadi inspirasi gaya busana para Sapeurs di Brazzaville.

infografik lasape

Asal-Usul La Sape

Dalam "La Sape: Tracing the History and Future of the Congos' Well-Dressed Men" (2017), Hannah Rose Steinkopf-Frank menyebut bahwa pada tahun 1976 Jean Marc Zeita, remaja pria asal Kongo pindah ke kota Paris. Ia membentuk perkumpulan imigran muda asal Kongo bernama Aventuriers. Mereka meniru gaya penampilan orang Prancis. Gaya itu kemudian dibawa pulang ke kampung halaman, agar dianggap sukses. Mereka turut membawa berbagai busana dan majalah untuk referensi gaya.

Masalahnya: para Sapeur di Paris ini pun bukan orang kaya. Untuk bisa membeli pakaian mahal, mereka menceburkan diri ke perdagangan narkoba. Hannah, mengutip makalah "Dream and Drama: The Search for Elegance among Congolese Youth", menulis bahwa para Sapeur di Paris ini memanfaatkan pakaian rapi sebagai citra kesuksesan.

Tidak semua Sapeur di Kongo tahu kisah ini. Tiap Sapeur bisa punya cerita berbeda tentang asal usul La Sape. Ada yang menganggap La Sape muncul pada zaman koloni Prancis ketika tuan tanah memberi upah pada buruh dalam bentuk pakaian. Hector Mediavilla, fotografer yang pernah mendokumentasikan Sapeur di Kongo berkata bahwa warga lokal meniru gaya penampilan orang Prancis saat mereka dijajah.

“Bergaya ialah salah satu cara mengekspresikan diri dalam situasi yang serba terbatas. Sapeurs bicara tentang bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri di tengah situasi buruk,” katanya.

Gondola beranggapan bahwa dengan bergaya, para Sapeurs hendak melawan masyarakat Barat lewat kesan, ‘Mereka boleh menjajah kita tetapi kita berpenampilan lebih baik dari mereka.’

Pendapat lain menyebut La Sape dibentuk oleh Papa Wemba, musisi Kongo yang ingin tampil beda dari musisi lain. Oleh karena itu ia berbelanja barang bermerek di kota Paris dan tampil gaya dalam busana ribuan dolar. Selain menyanyi, ia kerap berpesan kepada kaum muda agar selalu tampil rapi dan bersih. Kepopuleran Papa Wemba jadi salah satu pengaruh utama bagi kelangsungan La Sape. Para Sapeur mengidolakan Papa Wemba. Pivot meneruskan semangat Papa Wemba dengan mendirikan kursus calon Sapeurs di Kongo.

Tak semua Sapeurs nyaman dengan gaya gemilang. Aime Champagne, Sapeur asal Kinshasa yang pindah ke London berkata bahwa sesungguhnya ia tak mau lagi berpenampilan seperti orang kaya padahal serba kekurangan. Namun ia terpaksa terus bergaya ala Sapeur agar tidak diprotes rekan-rekannya di Kongo.

Pada Aljazeera Charlie Schengen, Sapeur yang juga tinggal di London berkata bahwa La Sape telah membuat ia merasa kehilangan tradisi Kongo. “Ini sebuah kebodohan. Orang tidak mau sekolah dan hanya ingin belanja baju.”

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono