Menuju konten utama

Sanggar Seni Rupa Tumbuh di Tengah Badai Revolusi Indonesia

Sanggar-sanggar seni rupa menjamur selama revolusi. Disatukan visi kerakyatan dan nasionalisme, sanggar seni menjadi tempat belajar pelukis generasi muda.

Sanggar Seni Rupa Tumbuh di Tengah Badai Revolusi Indonesia
Presiden Soekarno berkunjung ke Sanggar Pelukis Rakyat. FOTO/ivaa-online.org

tirto.id - Revolusi bukan hanya milik para politikus dan angkatan bersenjata. Para seniman juga terlibat di dalamnya. Pada bulan-bulan awal kemerdekaan, misalnya, para pelukis di Jakarta di bawah arahan Sudjojono ikut membantu propaganda proklamasi melalui poster-poster dan mural.

Kolaborasi antara pelukis dan pejuang adalah hal lazim kala itu. Sebutlah Affandi yang membikin poster propaganda “Boeng Ajo Boeng!” menyemangati pejuang di daerah-daerah. Atau Hendra Gunawan yang ikut tempur di front Karawang-Bekasi dan membawa pulang puluhan sketsa peristiwa perang.

Euforia di Jakarta dan Jawa Barat sedikit meredup kala ibu kota berpindah ke Yogyakarta pada awal 1946. Para seniman ikut pula hijrah dan memindahkan kegiatannya ke sana. Di Yogyakarta ini kegiatan mereka tak hanya membuat poster dan mural perjuangan, tetapi juga mendidik perupa-perupa yang lebih muda.

“Para pelukis sadar dengan panggilan untuk mengambil peran lebih nyata dan besar dalam perjuangan. Akan tetapi, karena pengetahuannya rata-rata belum memadai, mereka lebih mengandalkan semangat yang besar dan luapan intuisi. [...] Dalam romantika perjuangan dan kebutuhan untuk saling belajar, kehidupan sanggar dianggap bisa menyuburkan kreativitas dan memberi peran sosial kesenimanan mereka,” tulis M. Agus Burhan dalam Seni Lukis Indonesia Masa Jepang sampai Lekra (2013, hlm. 23).

Pada masa revolusi 1945-1949, selain menjamur lukisan-lukisan bertema perang, tumbuh pula sanggar-sanggar seni rupa baru.

Seniman Indonesia Muda

Sanggar-sanggar seni rupa yang berdiri selama revolusi fisik beragam bentuknya. Ada yang dibikin dengan visi dan struktur yang baku, ada pula yang hanya sekadar jadi tempat berkumpul dan latihan saja.

Sanggar seni rupa yang agaknya berdiri paling awal seturut catatan Agus Burhan adalah Poesat Tenaga Peloekis Indonesia (PTPI). Didirikan oleh pelukis Djajengasmoro pada 1945, pelukis-pelukis di sanggar ini umumnya adalah pembuat poster dan spanduk perjuangan (hlm. 22).

Lalu, pada awal 1946 ada sanggar Seni Rupa Masyarakat yang digawangi Affandi, Rusli, Hendra Gunawan dan Hariadi. Agaknya, sanggar Seni Rupa Masyarakat ini tak berumur panjang. Pasalnya, para pendirinya justru terserap ke sanggar besar yang berdiri kemudian dan disokong pemerintah: Seniman Indonesia Muda (SIM).

SIM digagas oleh Sudjojono dan mendapat dukungan dari Jenderal Djoko Sujono dari Biro Perjuangan. SIM yang mulanya bermarkas di Madiun dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan seluruh tenaga para seniman nasionalis. Di awal pendirian SIM, Sudjojono dibantu oleh Trisno Soemardjo, Soenindyo, Soedibio.

SIM tak sekedar sanggar pelukis, tapi juga menaungi beberapa cabang seni. Sudjojono dalam memoarnya Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya (2017, hlm. 88) menulis:

“SIM punya bagian sastra, seni rupa, drama, musik dan penerbitan, dengan alat-alat pembuat klise yang primitif. Juga Koesbini kemudian ikut kita dan Partosiswoyo (pianis yang berbakat sekali) turut kerja sama dengan kita. Kita pindah ke Solo menempati gedung bioskop “Miss Riboet” dekat Mangkunegaran. Di sinilah terbit pertama kali majalah kesenian yang dipimpin orang Indonesia seluruhnya dengan nama Seniman.”

Seniman-seniman hidup komunal di sanggar. Di Surakarta, seniman-seniman ini bahkan berbagi ruang dengan anggota laskar. Selain kegiatan-kegiatan mandiri, SIM hidup dari proyek-proyek dari pemerintah untuk membuat poster, spanduk, plakat, dan lukisan dokumentasi perang.

Menurut Agus Burhan, kegiatan kreatif mereka jadi lesu sejak Belanda mengagresi Indonesia pada 1947. Sejak pemerintahan PM Amir Sjarifuddin jatuh, sokongan pemerintah pun terhenti. Beberapa pelukisnya pun keluar karena menghendaki seni yang lebih bebas dari politik (hlm. 58).

Sanggar di Luar SIM

Meski besar dan disokong pemerintah, tak semua seniman lukis bertahan di SIM. Affandi dan Hendra Gunawan, misalnya, hanya sebentar bertahan di sana. Kedua karib ini memutuskan keluar dari SIM karena tak bisa sejalan dengan metode Sudjojono yang dogmatis dan kaku.

Pelukis-pelukis muda di SIM mulai diajar melukis dengan pendekatan realisme-fotografis. Mereka juga diwajibkan untuk menyelesaikan lukisannya langsung on the spot. Itu menjadi kecakapan dasar yang mesti dimiliki anggota SIM. Hendra menggugat metode ini, karena hanya memperkuat potensi mata, tapi mengurangi potensi rasa.

Keduanya keluar dari SIM dan kemudian membikin sendiri sanggar Pelukis Rakyat di Kampung Sentulharjo, Yogyakarta, pada 1947. Di sanggar baru ini Hendra punya metode sendiri. Ia mengandalkan sketsa untuk menangkap momentum. Sketsa itu lantas ia olah dengan imajinasi dan fantasi. Meskipun begitu, sebenarnya dari segi pemikiran Pelukis Rakyat dan SIM tetap sama-sama menonjolkan ide-ide kerakyatan.

Karena metodenya yang lebih bebas, sanggar Pelukis Rakyat cepat jadi populer. Kebanyakan anggotanya adalah pelukis-pelukis muda yang tak sanggup menempuh pendidikan formal karena kurang biaya. Mereka semua ditampung Hendra di sanggar yang sekaligus rumahnya itu. Mereka menghidupi diri dan kebutuhan sanggar dari mengerjakan proyek-proyek seni.

Hendra dan Affandi dibantu pelukis Sudarso mengurus sanggar. Dalam mengajar, mereka menerapkan metode lama yang telah dipraktikkan sejak masa Kelompok Lima pada dekade 1930-an: rajin-rajin blusukan. Selain mengasah teknik, pelukis-pelukis muda itu juga diajak berempati pada kehidupan kaum kere.

Infografik sanggar seni di masa revolusi

Di luar SIM dan Pelukis Rakyat, masih banyak sanggar-sanggar seni rupa lain yang berdiri kala revolusi berkecamuk. Tak hanya di ibu kota Yogyakarta, tetapi juga di beberapa kota lain di Indonesia.

Sebutlah Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) yang didirikan pelukis Sutikno dan Affandi di Jakarta pada 1948. Dari cacatan Agus Burhan, selain SIM, Surakarta juga punya sanggar Himpunan Budaya Surakarta (HBS) dan Sanggar Pelangi pada 1948.

Di Surabaya berdiri sanggar Keluarga Prabangkara pada 1950 dan Pik Gan Art Gallery. Di Bandung, pelukis Barli membikin Sanggar Djiwa Mukti. Di Medan, ada Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang dibikin Ismail Daulay dan Tino Sidin. Lalu di Bukittinggi, ada Seniman Indonesia Muda (SEMI) yang diinisiasi oleh Zetka dan A.A. Navis (hlm. 23-24).

Alternatif Belajar

Menurut Enin Supriyanto dalam Perjalanan Seni Lukis Indonesia (2004, hlm. 16), hampir semua sanggar-sanggar ini dihubungkan oleh sehelai benang merah: mengusung ide-ide kerakyatan dalam seni lukis. Karya-karya pelukis sanggar ini adalah ramuan ajaib yang memadukan ekspresi perorangan, komitmen sosial, dan nasionalisme.

Visi kerakyatan berbumbu nasionalisme memang menjadi semangat utama karya-karya lukis zaman itu. Tak kurang dari pelukis-pelukis besar seperti Sudjojono, Affandi, dan Hendra Gunawan melukis dengan visi ini. Kecenderungan ini agaknya adalah semangat zaman, sehingga seakan-akan tak ada tema lain yang mesti dikembangkan.

Gelagat ini bahkan sampai dikritik oleh Rivai Apin sebagai penyakit.

“Saya kira penyakit ini lahir dari anggapan, bahwa bila mereka tidak melukiskan revolusi mereka tidak akan dikatakan revolusioner dan bila tidak melukiskan rakyat jelata mereka bukanlah orang-orang sosialis,” tutur Rivai Apin sebagaimana dikutip Enin Supriyanto (hlm. 17).

Bagaimana pun, sanggar-sanggar ini muncul juga sebagai alternatif bagi anak-anak muda yang punya minat besar pada seni rupa. Pasalnya, di masa itu di Indonesia belum ada lembaga pendidikan resmi yang fokus pada bidang kesenian. Sanggar-sanggar inilah yang mematangkan pelukis-pelukis Indonesia seangkatan Oesman Effendi, Dullah, Zaini, Nashar, Widayat, dan Batara Lubis.

Baca juga artikel terkait SEJARAH SENI atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Windu Jusuf