Menuju konten utama

Sandiaga Ingin Beli Indosat, Untung atau Buntung?

Sandiaga ingin beli Indosat. Tapi kata Rudiantara, itu tak menguntungkan. Beda lagi dengan pelaku pasar yang menyebut itu akan menguntungkan dalam jangka panjang.

Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno mengikuti Debat Capres Putaran Ketiga di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/wsj.

tirto.id - Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno mengumbar niat membeli kembali (buy back) saham Indosat yang dijual di era Megawati Soekarnoputri. Selain ingin menunaikan janji yang pernah diucapkan Jokowi pada kampanye Pilpres 2014, kata Sandi, Indosat penting dimiliki kembali karena ia diperlukan untuk mendorong penyempurnaan Single Identity Number (SIN) dengan KTP-elektronik.

Sandiaga yakin keberadaan Indosat dapat memperkuat sistem big data yang bisa mendukung kebijakan tersebut.

"Bagaimana Indonesia bisa punya kedaulatan data sehingga nanti sistem integrasi SIN dengan big data bisa dikontrol oleh perusahaan-perusahaan seperti Telkomsel, Indosat," kata Sandiaga di Bukit Duri, Jakarta Selatan, semalam (21/3/2019).

Mayoritas saham pada emiten berkode ISAT itu kini dimiliki Qatar Telecom atas nama Ooredoo Asia Pte. Ltd. Persentasenya mencapai 65 persen atau setara 3.532.056.600 lembar saham. Pemerintah Indonesia menguasai 14,29 persen, dan publik 20,71 persen.

Kurang Menguntungkan

Usulan ini memang tampak 'nasionalis', sebagaimana jargon-jargon lain paslon 02, dan sekilas menguntungkan. Tapi tidak bagi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara. Menurutnya buy back Indosat kurang menguntungkan karena saat ini mereka tengah merugi.

"Kalau buy back artinya ada jual beli. Pertama, yang punya mau jual enggak? Kedua, mau jual berapa? Nah, kan kita tahu saham Indosat juga turun. Jadi harga pas beli dan harga sekarang beda. Apakah mau jual rugi?" ujar Rudiantara saat ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (21/3/2019).

Apa yang dikatakan Rudiantara benar belaka. Itu terlihat lewat laporan keuangan mereka tahun lalu. Perusahaan halo-halo itu menderita kerugian hingga Rp2,40 triliun. Padahal pada tahun sebelumnya, ISAT masih bisa mencatatkan laba bersih sebesar Rp1,13 triliun.

Pendapatan emiten tersebut turun cukup dalam hingga 22,68 persen year on year (yoy) sebesar Rp29,92 triliun di tahun 2017 ke Rp23,16 triliun di tahun 2018.

Penurunan itu disebabkan oleh merosotnya tiga sumber pendapatan tetap yakni pendapatan seluler, pendapatan multimedia, komunikasi data dan internet, serta pendapatan telekomunikasi tetap.

Pendapatan seluler ISAT melorot 26,38 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp18,02 triliun. Sementara pendapatan multimedia, komunikasi data dan internet terpangkas 3,10 persen menjadi Rp4,38 triliun. Adapun pendapatan telekomunikasi tetap Indosat anjlok sebesar 20,12 persen menjadi Rp729,4 miliar.

Lantaran itulah, menurut Rudiantara, rencana untuk mendukung sistem SIN dengan cara membeli kembali Indosat tidak realistis. Lagi pula, negara telah memiliki perusahaan telekomunikasi yang cukup sehat keuangannya serta cukup mendukung big data.

"Kita punya Telkomsel yang dimiliki oleh BUMN. Apa perlu lagi nambah? Kalau saya sih dari sisi bisnis saja. Apa orang mau jual rugi? Terus yang beli apa mau belinya kemahalan?" katanya.

Potensial, Tapi Jangka Panjang

Pendapat berbeda dikemukakan Direktur PT Indosurya Bersinar Sekuritas (salah satu anggota Bursa Efek Indonesia) William Surya Wijaya. Menurut dia penilaian untung-rugi dalam isu buy back Indosat sebenarnya tak bisa hanya didasarkan pada kinerja keuangan perusahaan dalam waktu satu tahun ke belakang.

Menurut dia, rencana membeli kembali saham Indosat harus dilihat dalam jangka panjang.

"Secara umum kalau dilihat dalam jangka panjang, prospeknya memang cukup besar (bagus) mengingat demografi Indonesia yang jumlahnya 200 juta lebih," kata William saat dihubungi reporter Tirto.

Kalau dilihat dari kaca mata pelaku pasar, kata dia, tentu secara fundamental saham berkode emiten ISAT itu belum layak dibeli. Sebab, saham perusahaan yang kinerja keuangannya negatif biasanya kesulitan untuk menguat.

Apalagi, jika dilihat dari enterprice value per EBITDA, saham ISAT juga masih terbilang mahal, yakni 4,9 kali. Mekanisme itu merupakan penghitungan untuk menilai mahal atau murahnya suatu saham.

Namun, menurut William, hal ini bukan berarti membeli perusahaan yang keuangannya terpuruk akan merugikan. Ia mencontohkan XL yang mengakuisisi Axis yang saat itu sedang didera kerugian.

"Tapi sekarang bagaimana keuangannya? Kan bukan karena beli rugi jadi rugi terus," ujar dia.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino
-->