Menuju konten utama

Sandi Lempar Batu, Sylvi Tak Nyambung, Djarot Serangan Balik

Sandiaga Uno selalu menyerahkan penyelesaian jawaban ke Anies Baswedan. Sylviana Murni kerap memberikan jawaban yang tidak nyambung dengan pertanyaan. Djarot meski hanya kebagian sedikit berbicara, tetapi berperan untuk menyerang balik.

Sandi Lempar Batu, Sylvi Tak Nyambung, Djarot Serangan Balik
Semua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur bersalaman usai debat ketiga Pilkada DKI Jakarta, Jumat (10/2). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Banyak orang mengatakan bahwa dua jilid debat Pilgub DKI Jakarta tidak memuaskan. Dalam sesi-sesi tanya-jawab, kata mereka memberi contoh, banyak jawaban yang tidak sinkron dengan pertanyaan, khususnya yang keluar dari mulut para calon wakil gubernur.

Namun, apakah anggapan itu benar? Tulisan ini akan menjawabnya lewat analisis atas sesi keempat dan kelima debat, ketika pasangan-pasangan calon saling timpuk dengan pertanyaan dan penyataan. Fokus analisis ialah para calon wakil gubernur, antara lain Sandiaga Uno, Sylviana Murni, dan Djarot Saeful Hidayat.

Nasi Uduk dan Bantuan untuk Sandi

Dalam sesi tanya-jawab debat pertama dan kedua, Sandiaga Uno hanya mengambil tiga kesempatan buat menjawab pertanyaan paslon lain.

Pada debat pertama, saat Djarot menanyakan asal anggaran pembinaan program UMKM, Sandi malah bercerita soal Ibu Nurhayati, pedagang nasi uduk di Bukit Duri. Apakah maksudnya nasi uduk ialah makanan ajaib yang membuat 200 ribu calon pengusaha jadi tak butuh modal? Hanya Sandi yang tahu.

Sandi juga tak menerangkan sisi teknis aturan “pelarangan mobil mewah memasuki Jakarta” sebagai jalan keluar masalah transportasi Jakarta yang ditanyakan Djarot, melainkan membicarakan aturan itu sebagai bagian dari edukasi. “To lead by example,” ujarnya. “Memaksa orang-orang kaya memakai kendaraan umum akan berdampak luar biasa, anak-anak muda dan kelas menengah akan meniru mereka.”

Sedangkan pada debat kedua, Sandi menjawab satu kali. Lagi-lagi pertanyaan diajukan Djarot. Mantan Walikota Blitar itu mempertanyakan inkonsistensi sikap Anies soal reklamasi. “Jadi, hendak menghentikan atau mengkaji?” ujarnya.

Alih-alih memberi kejelasan, Sandi malah menjawab seperti seorang komentator politik paruh waktu di lapo-lapo tuak: “Proses yang dilakukan sekarang sangat tidak terbuka, sangat tidak berkeadilan, jauh dari komitmen terhadap transparansi dan terhadap fairness, di mana nelayan tidak pernah dipikirkan dampaknya.”

Tetapi Sandi barangkali kurang yakin dengan komentarnya itu. Seperti seorang pegulat dalam pertandingan tag-team, ia mengetos tangan rekannya: “Kepada rakyat yang selama ini tidak merasakan keadilan yang dihadirkan untuk mereka, saya melihat bahwa ini adalah sebuah perjuangan untuk membela rakyat. Silakan Mas Anies.”

Sylviana Lihai Bertanya, Tidak Nyambung Menjawab

Dalam debat pertama dan kedua, tercatat ada empat kesempatan Sylvi menjawab pertanyaan paslon lain.

Saat ditanya Anies soal Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora), Sylvi malah merepet tentang pemberdayaan dan bantuan uang 1 miliar untuk 1 RW. Wajar bila kemudian Anies mengatakan, “Eh, jawaban Ibu Sylvi menarik tapi enggak nyambung." Kalimat itu kemudian menjalar di media-media sosial.

Anies kemudian mengulang kembali pertanyaannya tentang Timpora ini. Namun, jawaban Sylvi tetap melenceng: “Satu Jakarta ini kartu kita yang semua dokumen-dokumen kependudukan ada di sini dan nanti kita akan lihat apakah—" dan bel tanda waktu untuk menjawab pun habis.

Setelah Anies, giliran Ahok yang bicara: Bagaimana mengatasi kerentanan dana bantuan bergulir terhadap korupsi? Apakah program kartu Satu Jakarta itu jiplakan Jakarta One, program pasangan calon Ahok-Djarot?

"—itulah sebabnya saya mengeluarkan kartu Satu Jakarta. Karena saya melihat sendiri, saya tahu betul di dalam. Belum jalan," ujar Sylvi, melanjutkan jawabannya untuk Anies yang sempat terhenti.

Kelanjutannya tak kalah sedap: "Di sinilah yang saya ingin kita sepakat. Mas Agus dan saya, Mpok Sylvi, ingin mengeluarkan kartu Satu Jakarta yang akan terealisasi dengan nyata. Bukan sekedar me-launching saja dan mengeksposnya dalam media sosial, tapi kenyataanya tak berguna. Mudah-mudahan ini jadi solusi terbaik untuki warga Jakarta, yang makin insya Allah sejahtera. Insya Allah, kami amanah."

Pada debat kedua, porsi menjawab Sylvi tampaknya dikurangi oleh tim pendukung pasangan calon Agus-Sylvi. Ia hanya menjawab satu kali. Dan persis kejadian dalam debat pertama, Sylvi melenceng dari pertanyaan Sandi soal baik dan buruk reformasi birokrasi di era Ahok. Ia malah membicarakan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).

Anies pun kembali menyindir Sylvi: “Terimakasih, Bu Sylvi, buat penjelasannya tadi meski sebenarnya bisa lebih tajam lagi dalam menunjukkan di mana yang baik, di mana yang kurang dan perlu perbaikan.”

Dalam dua episode debat, pada sesi tanya-jawab antar paslon, Sylvi melontarkan empat serangan, dua kepada Ahok dan dua kepada Anies.

Pertanyaan dan pernyataan Sylvi kepada Ahok sukses memancing emosi sang sasaran. Pada debat pertama, ia bicara soal penggusuran di Bukit Duri:

“Saya jadi bingung. Bagaimana dengan Bukit Duri, kok bisa jadi menang ya? Apakah kemenangan itu semu, enggak bermakna? Kalau jadi seorang pemimpin, saya kira mesti mengevaluasi bahwa yang dilakukan ini menabrak hukum atau tidak.”

Ahok tiba-tiba gagap. Ia sama sekali tak membicarakan kemenangan warga Bukit Duri di pengadilan, tetapi malah mengomentari kata "menata" yang kerap dipakai pasangan calon Agus-Sylvi. Katanya, itu cuma istilah halus buat menggantikan "menggusur."

Ahok semakin bersemangat menggebuk pihak yang bertanya kepadanya: "Tapi ya sudahlah, namanya juga pengen jadi gubernur. Kita maklum. Kami kan petahana. Itu juga saya maklum, tapi saya sangat berharap siapa pun yang jadi gubernur akan mengedukasi rakyat. Jangan dibodohi. Kita pengin menang tapi kita menang dengan elegan, rakyatnya jadi cerdas."

Hasrat Ahok buat menggempur Sylvi juga tampak jelas pada debat kedua.

Sylvi bertanya kepada Ahok soal harmonisasi antara pemerintah provinsi dan DPRD, terutama mengenai kebijakan anggaran yang tertuang dalam UU Keuangan Negara No.17 tahun 2003. Ahok memang menjawab dengan benar, namun, di akhir penjelasannya ia berkata, “Kebetulan saya orang keuangan, lalu saya jadi bupati, jadi anggota DPRD. Saya kuasai sekali undang-undang keuangan daerah berbasis kinerja. Mungkin Bu Sylvi salah satu yang kurang mempelajari sistem berbasis kinerja itu.”

Pendukung Ahok bersorak. Sylvi membalas dengan cara memencongkan bibirnya sembari memamerkan jempolnya yang menunjuk ke bawah.

Infografik Aksi Saling Serang Cagub Cawagub DKI di Debat Pilkada

Djarot yang Bertugas Menyerang Balik

Djarot adalah cawagub yang paling sedikit bicara pada segmen tanya-jawab. Dalam dua kali debat, ia hanya kebagian tugas mengajukan tiga pertanyaan dan satu bantahan.

Djarot sepertinya dipasang oleh timnya untuk menyerang balik selama debat. Ketika Ahok dicecar oleh Agus dan Anies tentang reklamasi dan penggusuran, misalnya, Djarot datang buat menggembosi serangan-serangan itu.

Ia menunjukkan kepada publik bahwa Anies sebenarnya plin-plan soal reklamasi. “Pak Anies, saya kemarin mendengar ada inkonsistensi terkait dengan kebijakan program reklamasi, di satu sisi Pak Anies menyampaikan kebijakan itu akan dikaji, di lain sisi reklamasi harus dihentikan. Tolong berikan penjelasan,” katanya.

Pola serupa juga dilakukan Djarot ketika menghadapi Agus. “Ada program rumah untuk rakyat dengan cara dibangun tanpa digusur, kemudian disampaikan ada 390 hektar lahan di pemukiman kumuh di bantaran sungai yang akan dibangun,” katanya. “Bagaimana cara membangun tanpa memindahkan dan menertibkan bangunan, sehingga warga dari bantaran sungai dan daerah-daerah yang melanggar itu mendapatkan rumah yang layak.”

Namun, sebagaimana Sandi dan Sylvi, Djarot pun terpeleset saat menanggapi pertanyaan. Ketika Anies menanyakan mengapa Angka Partisipasi Murni (APM) Jakarta rendah, Djarot malah berjualan program Kartu Jakarta Plus (KJP).

Jawaban itu malah membuat Anies memukulnya lagi: “Program KJP sudah berjalan sudah hampir 5 tahun, namun, APM di Jakarta tetap rendah,” katanya.

Djarot mungkin punya dalih mengapa ia tenggelam pada sesi tanya-jawab. Dari 12 kesempatan berbicara dalam dua debat, 9 di antaranya ia lakukan pada sesi pembukaan dan penutupan, untuk menjawab pertanyaan panelis.

Faktor lainnya: Sebagian besar pertanyaan pada sesi tanya-jawab terarah kepada Ahok. Sebagai calon gubernur petahana dan kepala daerah yang telah bekerja lebih lama ketimbang Djarot, dalam sejumlah kesempatan Ahok memang berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya secara terang dan rinci.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAGUB DKI 2017 atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Themmy Aditya Nugraha & M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Dea Anugrah