Menuju konten utama

Sandhy Sondoro Like Video Porno di Twitter Itu Biasa Saja

Apa yang dilakukan Sandhy dengan memberikan like pada video porno di Twitter adalah hal yang biasa.

Sandhy Sondoro Like Video Porno di Twitter Itu Biasa Saja
Penyanyi yang tergabung dalam Yamaha Music Project Sandhy Sondoro beraksi dalam Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2018 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (3/3). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Sandhy Sondoro ramai menjadi perbincangan warganet di media sosial Twitter lantaran akun pribadi miliknya @SondoroMusic diduga menyukai akun yang menampilkan video seorang laki-laki dan perempuan sedang berhubungan seksual.

Akibatnya hastag #SandhySondoroCabul sempat menjadi salah satu trending topic di media sosial Twitter.

Yang dilakukan Sandhy itu biasa saja

Dosen psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Koentjoro justru mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Sandhy adalah hal yang wajar.

“Yang dilakukan Sandhy ini hal privat dan biasa saja tapi karena ketahuan ya jadi konsumsi publik. Itu yang membully Sandhy apa tidak pernah lihat bokep juga?” ujar Koentjoro.

Senada dengan Koentjoro, Aktivis perempuan dan Sekretaris PKBI DIY Gama Triono juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan Sandhy dengan memberikan like pada video porno adalah hal yang biasa.

“Menurutku enggak apa-apa dan dari obrolanku dengan teman-teman remaja, mayoritas mereka sudah pernah nonton, bahkan sudah bosen,” ujar Gama.

Laki-laki dan perempuan punya hak yang sama soal seksualitas

Gama menambahkan, terkait dengan video porno menurutnya perempuan dan laki-laki punya hak yang sama terkait seksualitas. Sehingga bukan masalah jika perempuan dan laki-laki melihat video porno.

“Laki-laki dan perempuan itu punya hak yang sama dalam seksualitas. Punya preferensi, hasrat dan ketertarikan sendiri-sendiri terkait seksualitas (termasuk melihat video porno),” kata Gama.

Koentjoro juga sependapat dengan Gama, menurutnya perempuan dan laki-laki sah-sah saja melihat video porno hanya saja yang membedakan adalah norma atau nilai-nilai di masyarakat yang menganggap perempuan tabu atau tak elok melihat video porno.

“Laki-laki dan perempuan sama saja, cuman karena norma jadi perempuan dianggap tabu lihat video porno sementara laki-laki dianggap wajar nonton video porno,” ujar Koentjoro.

Koentjoro justru merespons soal pendidikan seks yang masih tak jelas di Indonesia sehingga ada kecenderungan orang menjadi penasaran dan ingin tahu soal seks melalui video porno.

“Masalahnya sekarang ini kan pendidikan seks tidak jelas jadi rasa penasaran orang, rasa pingin tahu tentang seks terus nonton video porno,” kata Koentjoro.

Mengontrol dorongan seksual yang lebih penting dari video porno

Koentjoro menambahkan yang terpenting dari melihat video porno atau masalah seks adalah kendali yang dilakukan oleh diri sendiri.

“Setelah nonton video porno ini kan yang penting kan bisa mengendalikan diri atau kalau tidak ya nonton video porno kemudian bisa berlanjut jadi kebutuhan dan timbul ketagihan. Setelah nonton video porno kan orang jadi cenderung onani atau melakukan hubungan seksual, karena seks ini kan salah satu kebutuhan dasar seperti makan, nah ini yang harus hati-hati,” tegas Koentjoro.

Sedangkan Gama juga beranggapan bahwa yang terpenting dari video porno adalah mengontrol dorongan seksual yang biasanya timbul setelahnya.

“Setelah nonton video porno, cara mengontrol dorongan seksual itu yang kemudian menjadi penting. Memaksa pasangannya untuk memerankan adegan dalam bokep lalu menjadikan bokep sebagai alasan untuk melakukan kekerasan, itu yang jadi masalah menurutku,” tegas Gama.

Gama justru menyoroti tentang industri video porno yang ada. Baginya yang menjadi masalah adalah tentang industri video porno yang berpeluang "menjerat perempuan".

“Yang jadi masalah itu dan menarik sebenarnya, kalo ada ulasan tentang industri video porno yang "menjerat perempuan", dilakukan tanpa izin (hidden cam), eksploitasi seksual anak-anak, nah, model-model video porno begini yang harus dilarang,” tegas Gama.

Sejarah video porno dari DVD hingga media sosial

Pada awal 2000-an, video porno, khususnya di Indonesia, tidak tersebar melalui Pornhub atau Xvideos. Judul-judul yang telah disebutkan di atas beredar melalui keping Video Compact Disc (VCD).

Alasannya sederhana. Pertama, internet belum berkembang. Kedua, keping VCD harganya relatif murah.

Tak hanya itu, VCD lebih cepat dan mudah digandakan, tak seperti medium home video sebelumnya seperti Laser Disc, atau kaset Betamax dan VHS. Untuk dua format terakhir, film-film porno (produk studio besar) sebetulnya sudah bisa diakses secara gelap di rental-rental video pada akhir 1980-an.

Kode yang biasanya diucapkan penyewa ke petugas rental untuk meminjam film porno biasanya adalah "film Donald Bebek" atau "film Unyil".

VCD, yang diciptakan Philips dan Sony, adalah versi murah dari DVD. Di negara-negara barat, VCD, yang hanya sanggup memuat sepersepuluh konten DVD, kurang berkembang. Namun, ini tak berlaku di Cina.

Sebagaimana diwartakan The New York Times, VCD masuk ke Cina pada pertengahan 1990-an. VCD kemudian berkembang karena tingkat pembajakan sangat tinggi di Cina dan harganya, lagi-lagi, jauh lebih murah dibandingkan DVD.

Pada 2000, disokong industri bajakan, Cina memproduksi sekitar 20 juta pemutar VCD. Jumlah keping VCD, jauh lebih banyak dari itu. Angka yang besar tersebut, kemudian menurunkan harga pemutar VCD dan keping VCD. Kala itu, pemutar VCD dijual di kisaran 70 dolar Amerika dan satu keping VCD dijual seharga 80 sen.

Keadaan di Indonesia tak berbeda jauh dibandingkan Cina. VCD populer di sini dan harganya jelas lebih murah dibandingkan DVD. Namun, untuk kasus video porno harganya lebih mahal. Video porno seperti “Bandung Lautan Asmara”, sebagaimana ditulis Detik, dapat dijual dari Rp75 ribu hingga Rp150 ribu.

Sekitar 2005, keping VCD kemudian mulai teralihkan. Bukan oleh DVD atau Bluray Disk, melainkan oleh ponsel.

Sebagaimana dilansir Statista, hanya sekitar tiga juta penduduk Indonesia yang berlangganan layanan selular pada tahun 2000.

Namun, lima tahun kemudian, pelanggan selular di Indonesia meningkat lebih dari 46 juta. Pertumbuhan tersebut membuat banyak orang tak memerlukan lagi perangkat khusus untuk memutar video. Berbekal ponsel, masyarakat dapat memutar video. Video porno pun menyebar melalui medium baru ini.

Namun perlu diingat, meskipun selular telah berkembang, koneksivitas masih terbatas. Telkomsel, selaku pemain terbesar di dunia selular Indonesia, baru menggenjot koneksivitas berbasis 3G pada 2007. Artinya, pada 2005, penyebaran video porno dilakukan dengan cara yang cukup “primitif”, yakni melalui koneksi infrared dan bluetooth.

Di tengah koneksi yang masih terbelakang inilah 3GP hadir. 3GP sendiri merupakan format video berkompresi rendah yang digarap Third Generation Partnership Project (3GPP). Karena kompresi yang rendah, file-file berekstensi ini memiliki ukuran yang kecil sehingga mudah ditransfer.

Seiring waktu, video porno kemudian tersebar melalui media sosial. Misalnya melalui WhatsApp dan Twitter. Twitter memang tidak memblokir penggunaan kata-kata mesum dan cabul di sistem pencariannya. Pada akun-akun penyebar konten cabul itu, Twitter hanya memberikan peringatan “Caution: This profile may include potentially sensitive content” yang mudah dilewati.

Baca juga artikel terkait SANDHY SONDORO atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH